• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Rabu, 8 Mei 2024

Taushiyah

KOLOM KH ZAKKY MUBARAK

Kaum Cendekiawan dan Ilmu

Kaum Cendekiawan dan Ilmu
Kaum Cendekiawan dan Ilmu.
Kaum Cendekiawan dan Ilmu.

Memasuki abad ilmu pengetahuan modern dan teknologi, perkembangan dunia, akan diwarnai dengan perubahan-perubahan dalam berbagi aspek kehidupan. Peradaban dunia akan semakin bebas dan terbuka, sehingga pertukaran peradaban dan budaya antar bangsa akan berjalan tanpa mengenal batas wilayah ataupun negara. Peradaban antar bangsa akan terjadi proses saling mempengaruhi satu sama lain, yang terkadang bisa menimbulkan bentrokan dan persaingan yang tidak sehat.


Akibat benturan antar peradaban dunia itu, langsung ataupun tidak langsung, akan menimbulkan perubahan norma dan nilai masyarakat kita, yang sering berbeda dengan ajaran agama.


Menyadari kenyataan sebagaimana disebutkan di atas, maka peran cendekiawan Muslim sangat menentukan dalam mengantiasipasi berbagai perkembangan dan benturan peradaban antar bangsa di dunia. Kaum cendekiawan akan menjadi penggagas dalam pembentukan masyarakat masa depan. Para cendekiawan selayaknya mengarahkan pengembangan ilmu pengetahuan dan pendayagunaan fungsinya untuk membangun suatu peradaban umat yang kokoh sesuai dengan pesan-pesan Islam.


Dengan ilmu yang dimiliki dan kemampuan yang terus berkembang, kaum cendekiawan akan selalu menjadi peletak dasar bagi pembentukan perilaku umat manusia pada masa yang akan datang.


Al-Qur’an banyak mengisyaratkan mengenai pentingnya peran kaum cendekiawan, terletak dalam berbagai ayat-Nya. Sebagai contoh bisa dikemukan:


إِنَّ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ وَٱخۡتِلَٰفِ ٱلَّيۡلِ وَٱلنَّهَارِ لَأٓيَٰتٖ لِّأُوْلِي ٱلۡأَلۡبَٰبِ ٱلَّذِينَ يَذۡكُرُونَ ٱللَّهَ قِيَٰمٗا وَقُعُودٗا وَعَلَىٰ جُنُوبِهِمۡ وَيَتَفَكَّرُونَ فِي خَلۡقِ ٱلسَّمَٰوَٰتِ وَٱلۡأَرۡضِ رَبَّنَا مَا خَلَقۡتَ هَٰذَا بَٰطِلٗا سُبۡحَٰنَكَ فَقِنَا عَذَابَ ٱلنَّارِ 


“Sesungguhnya dalam penciptaan langit dan bumi, dan silih bergantinya malam dan siang terdapat tanda-tanda bagi orang-orang yang berakal,  (yaitu) orang-orang yang mengingat Allah sambil berdiri atau duduk atau dalam keadan berbaring dan mereka memikirkan tentang penciptaan langit dan bumi (seraya berkata): "Ya Tuhan kami, tiadalah Engkau menciptakan ini dengan sia-sia, Maha Suci Engkau, maka peliharalah kami dari siksa neraka”. (Q.S. Ali Imran, 3: 190-191).


Apabila kita memperhatikan ayat tersebut, dapat dipahami bahwa cendekiawan yang islami tidaklah semata-mata melakukan pengembangan secara maksimal terhadap nalarnya belaka, tetapi juga harus melakukan penamajamn kalbu dan pengembangan rohaniah.


Dengan keseimbangan yang serasi antara pengembangan nalar dan penajaman kalbu, nisaya dapat dilahirkan kaum cendekiawan yang menyadari status dirinya, tidak termasuk kelompok ilmuwan yang lalai. Mereka akan mengembangkan ilmu yang dimilkinya, mengajarkannya kepada orang lain, menghayati dan mengamalkannya dalam kehidupan sehari-hari. Cendekiawan seperti ini, akan menjadi panutan yang berwibawa bagi anggota masyarakatnya.


Mengenai hubungan ilmuwan atau cendekiawan dan orang-orang awam diklasifikasikan oleh Imam al-Ghazali dalam empat bagian, yaitu:


(1) Kaum ilmuwan yang menyadari status dirinya sebagai ilmuwan, karena itu ia selalu mengembangkan ilmu yang dimilikinya, berusaha memahami dam menghayati secara maksimal, diajarkan kepada orang lain dan dipraktekkan dalam kehidupan sehari-hari. Al-Ghazali mengomentari kepada kelompok pertama ini, merupakan kelompok yang terbaik, yang umat manusia diperintahkan untuk mengikuti mereka. Kelompok ilmuwan seperti in digambarkan sebagai lampu yang bersinar terang, yang menyinari kegelapan disekitarnya.


(2) Ilmuwan yang tidak menyadari status dirinya bahwa mereka adalah kelompok cendekiawan. Mereka tidak mengembangkan ilmunya secara maksimal, tidak mengajarkan kepada orang lain dan tidak banyak mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Ilmuan dalam kelompok in disebut ilmuan yang lalai akan tugas-tugasnya dan tidak menyadari kedudukannya di tengah-tengah masyarakat. Kepada kelompok ini, kita diperintahkan agar mengingatkan mereka, sehingga dapat menyadari status dirinya dengan baik, mengembangkan dan menghayati ilmunya dan mengamalkan dalam kehidupan sehari-hari. Kelompok ini harus diingatkan mengenai peran dominan mereka dalam membentuk masa depan suatu umat.


(3) Kelompok orang-orang awam atau orang-orang bodoh yang menyadari akan kebodohan dan ketidak mengertianya, karena itu mereka akan berusaha meningkatkan dirinya dengan belajar dan meminta petunjuk kepada kelompok cendekiawan yang dapat membimbing mereka. Kelompok ini masih dianggap bagus, karena dengan usaha yang sungguh-sungguh dan belajar yang giat, sedikit demi sedikit kebodohannya akan sirna. Dengan demikian masa depan mereka masih memiliki harapan dan kemajuan-kemajuan di bidang peradaban. Adalah kewajiban bagi setiap diri kaum cendekiawan untuk membimbing mereka dan mentransfer ilmu yang dibutuhkan secar maksimal. Tranfer ilmu itu diharapkan, dilakukan seefesien dan sebijaksana mungkin, sehingga tidak menyulitkan dan tidak memberatkan. Hal ini dilakukan karena orang awam biasanya mudah tersinggung dan merasa berat untuk meningkatkan kemampuan nalarnya secara drastis.


(4) Kelompok yang paling parah, yaitu kelompok orang-orang awam atau orang-orang bodoh yang tidak menyadari kebodohannya. Mereka ini disebut al-Ghazali sebagai Jahil Murakkab atau kebodohan yang bertumpuk-tumpuk. Mereka merupakan suatu kelompok yang meracuni masyarakat di sekelilingnya, sehingga sering menimbulkan kerusakan da kekacauan. Karena kebodohan yang tidak diasadarinya, membuat mereka demikian dungu untuk memahami sesuatu, sehingga tidak segan-segannya untuk menyebarkan fitnah dan permusuhan. Mengenai kelompok ini, al-Qur’an menjelaskan :


وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ لَا تُفۡسِدُواْ فِي ٱلۡأَرۡضِ قَالُوٓاْ إِنَّمَا نَحۡنُ مُصۡلِحُونَ 


“Dan bila dikatakan kepada mereka: "Janganlah kamu membuat kerusakan di muka bumi. Mereka menjawab: "Sesungguhnya kami orang-orang yang mengadakan perbaikan". (Q.S. Al-Baqarah, 2: 11).


Demikian ucapan mereka bila diingatkan supaya tidak berbuat kerusakan dan kegoncangan di tengah-tengah masyarakat, mereka tidak menyadari perbuatan buruknya malah mengaku senatiasa berbuat baik. Al-Qur’an selanjutnya menjelaskan hakikat dan kenyataan mereka dalam ayat berikutnya:


أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلۡمُفۡسِدُونَ وَلَٰكِن لَّا يَشۡعُرُونَ 


“Ingatlah, sesungguhnya mereka itulah orang-orang yang membuat kerusakan, tetapi mereka tidak menyadari”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 12).


Mengenai ketidaksadaraan orang bodoh akan kebodohan sendiri, disebutkan dalam ayat selanjutnya:


وَإِذَا قِيلَ لَهُمۡ ءَامِنُواْ كَمَآ ءَامَنَ ٱلنَّاسُ قَالُوٓاْ أَنُؤۡمِنُ كَمَآ ءَامَنَ ٱلسُّفَهَآءُۗ أَلَآ إِنَّهُمۡ هُمُ ٱلسُّفَهَآءُ وَلَٰكِن لَّا يَعۡلَمُونَ 


“Apabila dikatakan kepada mereka: "Berimanlah kamu sebagaimana orang-orang lain telah beriman". Mereka menjawab: "Akan berimankah kami sebagaimana orang-orang yang bodoh itu telah beriman?" Ingatlah, sesungguhnya merekalah orang-orang yang bodoh, tetapi mereka tidak mengetahui”. (Q.S. Al-Baqarah, 2: 13).


Peran cendekiawan muslim sangat penting dalam membangun peradaban masa depan sesuai dengan pesan-pesan Islam. Pada hakikatnya mereka itu adalah pemimpin yang berwibawa dan berpengaruh di lingkungan masyarakatnya.


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, salah seroang Mustasyar PBNU


Taushiyah Terbaru