Taushiyah KOLOM KH ZAKKY MUBARAK

Fleksibilitas Ajaran Agama

Rabu, 30 Juli 2025 | 09:43 WIB

Fleksibilitas Ajaran Agama

Fleksibilitas Ajaran Agama. (Ilustrasi: Freepik).

Sebagai agama yang membimbing umatnya dalam segala aspek kehidupan, Islam dikenal sebagai agama yang memiliki fleksibilitas yang tinggi dan elastisitas. Dengan konsep ini, maka agama Islam mudah diterima oleh berbagai kalangan, baik kaum terpelajar, maupun masyarakat umum. Dengan ajaran itu juga, agama Islam dapat diterima oleh berbagai kalangan dari masa ke masa.


Dalam ajaran Islam dikenal konsep azimah (tuntutan) dan rukhsah (keringanan). Contoh azimah misalnya larangan memakan bangkai. Larangan ini bersifat mutlak, tidak bisa diganggu gugat, karena berdasarkan nash (teks) al-Qur’an.


Namun demikian, dalam situasi tertentu, pada saat tidak ada lagi makanan lain, maka memasuki wilayah darurat, timbulah rukhshah atau keringanan dengan diperbolehkannya memakan bangkai, karena tidak ada makanan sama sekali. Hal ini berdasarkan kaidah ushul fiqih 'Al-Dharurah Tubihul Mahdurat', keadaan darurat bisa memperbolehkan segala jenis larangan. Konsep mengenai darurat ini dapat mengembangkan pemahaman yang sangat luas, sehingga tidak menyulitkan umat manusia dalam segala kehidupannya. 


Hal itu terjadi juga dalam masalah-masalah kontemporer yang berkaitan dengan perkembangan sains dan teknologi, misalnya tentang transfusi darah, aborsi, transplantasi, dan berbagai isu-isu kontemporer lainnya. Setelah memasuki masa darurat yang membuat kesulitan menjadi kelonggaran, bisa meningkat lagi dari darurat kepada azimah kembali, yaitu berupa tuntutan, bahkan bisa berubah menjadi wajib. Hukum memakan bangkai adalah haram, karena tidak ada makanan lain dalam kondisi darurat, maka diberi rukhsah atau keringanan, yaitu diperbolehkan memakan bangkai. Bahkan, karena tidak ada makanan lain sama sekali, dan kalau tidak makan bangkai maka orang akan mati, maka kembali menjadi wajib memakannya.


Dengan demikian, dari larangan karena bersifat darurat, bisa berubah menjadi kebolehan dan berubah kembali menjadi kewajiban, dalam rangka mempertahankan kehidupan. Konsep darurat ini bisa dikembangkan dalam berbagai hal, misalnya dalam masalah aborsi, transplantasi, dan sebagainya. Sebagai contoh misalnya, ada seorang ibu yang tidak bisa melahirkan karena ada masalah, jika tidak digugurkan, maka ibunya meninggal, jika digugurkan, janinya meninggal, namun ibunya selamat.


Menjumpai kasus seperti itu, maka dijumpai dua macam madharat (bahaya) yang tidak bisa dihindari. Maka, diambilah madharat yang kecil, dan menghindari madharat yang lebih besar. Dalam hal ini, menggugurkan kandungan, merupakan madharat kecil, daripada mengakibatkan ibunya meninggal. Itu merupakan madharat yang lebih besar. Mengenai hal ini disebutkan dalam kaidah fiqih: Apabila dijumpai dua madharat yang tidak bisa dihindari, maka ambillah madharat yang lebih kecil (akhaffud dharurain).


Contoh lain misalnya, ada seorang yang ujung jari telunjuknya terkena tumor ganas. Kalau tidak dipotong, maka akan menyebar ke seluruh tubuh, maka diambilah jalan untuk memotong jari telunjuk itu supaya penyakitnya tidak menyebar ke seluruh tubuh yang mengakibatkan kematian. 


Namun demikian, semua ini harus ditangani oleh ahlinya, melibatkan dokter, keluarga yang bersangkutan, bahkan melibatkan tokoh-tokoh agama, sehingga langkahnya tidak keliru. Dalam keidah ushul fiqih disebutkan: Apabila urusan itu menjadi sempit, maka boleh diperluas, dan apabila sudah terlalu luas, urusan itu boleh dipersempit. Dari uraian ini, kita melihat adanya elastisitas dan fleksibelitas ajaran agama yang sangat sesuai dengan naluri manusia. 


Islam dikenal sebagai agama yang anti kebatilan dan condong kepada kebenaran. Ia juga dikenal sebagai agama yang ajarannya penuh dengan kemudahan dan kelonggaran bagi setiap orang yang mengamalkannya. Ibnu Abbas ra menginformasikan bahwa ketika Nabi Saw ditanya: Agama apakah yang paling dicintai oleh Allah Swt? Beliau menjawab: 


الْحَنِيفِيَّةُ السَّمْحَةُ


Artinya: "Agama yang ajarannya al-hanifiyyah (condong kepada kebaikan dan anti kebatilan) dan al-samhah (toleran dan mudah untuk diamalkan),". (HR. Bukhari, 23710).


Allah Swt mengarahkan umat manusia agar memudahkan segala sesuatu dan tidak boleh mempersulitnya. 


يُرِيدُ ٱللَّهُ بِكُمُ ٱلۡيُسۡرَ وَلَا يُرِيدُ بِكُمُ ٱلۡعُسۡرَ 


Artinya: "Allah menghendaki kemudahan bagimu, dan tidak menghendaki kesulitan bagimu,". (QS. Al-Baqarah, 02:185).


Allah Swt Maha Mengetahui tentang keadaan makhluk-Nya, maka umat manusia dibimbing agar dapat melaksanakan syariat-Nya sesuai dengan kemampuan mereka masing-masing.


يُرِيدُ ٱللَّهُ أَن يُخَفِّفَ عَنكُمۡۚ وَخُلِقَ ٱلۡإِنسَٰنُ ضَعِيفٗا  


Artinya: "Allah hendak memberikan keringanan kepadamu, dan manusia dijadikan bersifat lemah," (QS. Al-Nisa, 04:28).


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, salah seorang Mustasyar PBNU