Ahmad Arip
Kolomnis
UNESCO (United Nations Educational, Scientific and Cultural Organization) sejak tahun 2000, tepatnya pada tanggal 21 Februari, telah menetapkan Hari Ibu Internasional. Organisasi internasional di bawah naungan PBB yang berfokus pada pendidikan, ilmu pengetahuan, dan kebudayaan ini meyakini bahwa keberagaman budaya dan bahasa sangat penting untuk keberlanjutan masyarakat.
Secara global, 40 persen penduduk tidak memiliki akses pendidikan dalam bahasa yang mereka gunakan atau pahami. Tulisan ini melanjutkan dari edisi sebelumnya “Bahasa Sunda Tak Akan Punah Selama Masih Ada Pesantren”.
Apakah bahasa Ibu itu sama dengan bahasa daerah?
Bahasa ibu atau dalam bahasa Inggris disebut mother tongue adalah bahasa pertama yang dipelajari seseorang sejak lahir, umumnya digunakan di lingkungan keluarga dan intim. Bahasa ini memainkan peran kunci dalam pembentukan identitas linguistik dan budaya individu serta menjadi dasar bagi perkembangan kemampuan bahasa selanjutnya.
Sedangkan bahasa daerah merujuk pada bahasa yang digunakan oleh komunitas di suatu wilayah geografis tertentu. Bahasa daerah mencerminkan nilai budaya, sejarah, dan tradisi lokal, serta berfungsi sebagai simbol identitas kultural dalam konteks regional.
Dalam banyak situasi, bahasa yang menjadi bahasa ibu seseorang juga merupakan bahasa yang lazim digunakan dalam komunitas atau daerah tempat ia tinggal. Oleh karena itu, kedua istilah ini sering dianggap sama karena keduanya erat kaitannya dengan identitas budaya dan penggunaan bahasa dalam kehidupan sehari-hari. Misalnya, di banyak daerah, anak-anak belajar bahasa lokal sejak kecil di rumah, sehingga bahasa tersebut berperan sebagai bahasa ibu mereka. Namun, perbedaan bisa muncul dalam konteks multibahasa atau lingkungan urban, di mana bahasa ibu yang digunakan di rumah berbeda dari bahasa yang mendominasi interaksi sosial secara lebih luas.
Yang sangat mengejutkan, menurut Bromham et al. (2022) dalam artikel "Global predictors of language endangerment and the future of linguistic diversity" yang diterbitkan di Nature Ecology & Evolution, peningkatan rata-rata tahun pendidikan formal secara signifikan berkontribusi terhadap peningkatan risiko hilangnya bahasa daerah. Hal ini terjadi karena sistem pendidikan formal yang sering kali menekankan penggunaan bahasa nasional atau bahasa global sebagai media pengajaran, sehingga mengurangi ruang dan dukungan bagi pengembangan serta pelestarian bahasa lokal. Akibatnya, generasi muda cenderung mengadopsi bahasa dominan yang diajarkan di sekolah, yang mengakibatkan penurunan jumlah penutur asli dan terputusnya transmisi bahasa ibu antar generasi. Secara sederhana, pendidikan formal turut berkontribusi terhadap hilangnya bahasa daerah.
Baca Juga
Menyoal Fenomena #KaburAjaDulu
Di sisi lain, terdapat tantangan dalam loyalitas masyarakat modern terhadap bahasa daerah. Banyak yang mempertanyakan apakah perlu mempertahankan atau mewariskan bahasa tersebut kepada generasi berikutnya. Ada pula pandangan negatif, seperti anggapan bahwa bahasa daerah identik dengan kekunoan, tidak mendukung kemajuan, atau bahkan dianggap tidak "keren" dalam arus informasi media sosial. Bahkan, dalam lingkungan keluarga, dialog antara orang tua dan anak sering kali tidak menggunakan bahasa daerah. Menurut Litbang Kompas (2020), hal ini menyumbang hingga 51% sebagai alasan utama penurunan penggunaan bahasa daerah. Lebih lanjut, laporan Pikiran Rakyat pada 1 Mei 2024 menekankan pentingnya interaksi orang tua dengan anak menggunakan bahasa daerah sebagai benteng identitas budaya.
Berbeda dengan hal tersebut, pendidikan non-formal seperti pesantren atau madrasah diniyah masih menunjukkan loyalitas tinggi terhadap bahasa daerah. Seperti yang pernah diungkapkan oleh Budayawan Nasional Acep Zamzam Noor, selama masih ada pesantren, Bahasa Sunda (sebagai contoh bahasa daerah) tidak akan punah. Di pesantren, meskipun ilmu Islam yang dipelajari menggunakan bahasa Arab termasuk penghafalan kitab jurumiyah dan alfiyah sebagai pegangan pokok, pengantarnya selalu menggunakan bahasa daerah. Selain itu, nadzom-nadzom (syair atau lagu) berbahasa daerah yang diciptakan oleh para ulama turut mempermudah pemahaman dan pengingatan ajaran Islam, baik dalam bidang tauhid, fiqh, tajwid, dan lain sebagainya. Meskipun tidak semua pesantren demikian, sebagian besar khususnya di Pulau Jawa, masih menggunakan bahasa daerah.
Jika ada yang beranggapan bahwa pesantren itu kuno atau kampungan karena bergulat dengan kitab kuning, hal tersebut patut dikoreksi. Pesantren mengkaji kitab kuning sebagai bagian dari sumber ilmu pengetahuan, karena kitab tersebut ditulis oleh para ulama dengan pengetahuan yang sudah berskala global. Setiap hari, para santri mengkaji kitab-kitab yang ditulis oleh akademisi dunia, di mana keilmuan yang disajikan sudah diakui dan sanad keilmuannya dapat dipertanggungjawabkan hingga kepada Rasulullah SAW. Dengan demikian, para santri sejak awal telah terlibat dalam mendalami pengetahuan dunia. Para kiyai pesantren juga memiliki peranan penting terhadap peradaban dunia terkhusus setelah runtuhnya khilafah turki Usmani pada tahun 1924 yang direspon dengan mendirikan organisasi Nahdlatul Ulama.
Selain itu juga sumbangsih para santri dan kiyai terhadap perjuangan dan mempertahankan kemerdekaan Indonesia sangat besar, sehingga lahirlah hari santri nasional setiap 22 Oktober sebagai hari untuk memperingati perjuangan besar tersebut. Penyebutan terhadap ulama juga setiap daerah memiliki khasnya seferti untuk di sunda ajengan, akang, pangersa, aceng, aang, dan sebagainya. Lebih-lebih lagi banyak pesantren yang meskipun memiliki nama resmi (dalam bahasa arab lumrahnya), lebih dikenal oleh khalayak melalui nama daerah asalnya, seperti Pesantren Cipasung, Sukamanah, dan Sukahideng. Dari sini, sudah terlihat bahwa bahasa daerah adalah bagian dari jati diri dan identitas mereka.
Bahkan, menurut hadist Nabi Muhammad SAW, niat adalah inti dari setiap perbuatan. Banyak ulama berpendapat bahwa niat dalam beberapa peribadatan, lebih baik menggunakan bahasa daerah daripada bahasa Arab.
Konsep "trigatra bangun bahasa" di mana bahasa Indonesia diutamakan, bahasa daerah dilestarikan, dan bahasa asing dikuasai menjadi landasan penting dalam pelestarian bahasa. Kontribusi pesantren terhadap pelestarian bahasa daerah sangat besar, bahkan telah menjadi sebuah cara pandang dan identitas. Laporan RTI International dalam Kemendikbudristek (2021) menyebutkan bahwa penggunaan bahasa ibu di lembaga pendidikan memberikan setidaknya enam manfaat: keterjangkauan akses pendidikan, peningkatan literasi dan hasil belajar, akselerasi performa belajar bahasa asing, efisiensi biaya pendidikan, peningkatan rasa percaya diri siswa, serta pemicu partisipasi aktif masyarakat dan konservasi budaya.
Banyak juga kalangan yang menyarankan agar pendidikan menerapkan sistem multibahasa, minimal dua bahasa atau lebih. Pesantren pun sudah banyak yang menggunakan dua bahkan empat bahasa, seperti bahasa daerah, bahasa Indonesia, bahasa Arab, dan bahasa Inggris. Masyarakat multibahasa dan multikultural hadir melalui bahasa mereka yang tidak hanya mentransmisikan pengetahuan, tetapi juga melestarikan budaya tradisional secara berkelanjutan.
Terpopuler
1
Mengenal KH Muhammad, Pejuang NU Sampai Akhir Hayat dari Pesantren Fauzan Garut
2
Gandeng Bagana Kota Bekasi, YPI Al-Marzukiyah Gelar Pendidikan Mitigasi Bencana Gempa Bumi
3
Ketua TP2GP: Dokumen Pengusulan KH Abbas Lebih Lengkap dari Tokoh Lain
4
Konsolidasi Jelang Pelantikan, PCNU Garut Laksanakan Rapat Pleno Pengurus Baru
5
Jamaah Haji Diminta Taat Aturan di Masjidil Haram dan Masjid Nabawi, Ini Sejumlah Larangannya
6
Ketua PWNU Jabar: KH Abbas Abdul Jamil Layak Diusulkan sebagai Pahlawan Nasional
Terkini
Lihat Semua