Opini

Menyoal Fenomena #KaburAjaDulu

Jumat, 21 Februari 2025 | 07:00 WIB

Menyoal Fenomena #KaburAjaDulu

Menyoal Fenomena #KaburAjaDulu. (Ilustrasi: NU Online Jabar/Rizqy).

Di era kecanggihan teknologi dan informasi yang begitu pesat, sebuah pesan, baik yang bersifat verbal maupun non verbal akan dapat tersampaikan dengan cepat. Beruntung jika pesan yang disampaikan itu berisikan narasi positif, sehingga si penerima pesan akan langsung mengkonsumsinya dengan tanpa harus mencari siapa, dari mana, dan apa motif pesan itu disampaikan. Dalam situasi ini, si penerima pesan, boleh bahkan akan lebih baik jika pesan yang  diterimanya itu dapat diteruskan, di-share kepada penerima yang lain. Begitupun seterusnya. 


Namun, kondisinya akan berbeda jika pesan yang diterima berisikan narasi negatif, tidak wajar, dan mengandung multi tafsir. Jika ini yang terjadi, maka si penerima pesan harus terlebih dahulu memastikan pesan yang dimaksud tak sesuai dengan kenyataan sebelum ia meneruskannya kepada yang lain. Tegasnya, si penerima pesan harus tabayun (melakukan konfirmasi/verifikasi), atau cek & ricek akan kebenaran pesan atau informasi yang diterimanya itu. 


Jika informasi bersifat benar, tidak menyalahi norma, dan bermanfaat maka pesan itu boleh bahkan harus diteruskan. Namun, jika tidak sesuai dengan fakta kebenarannya, misalnya hoaks, maka tak baik untuk diteruskan. Sebaliknya, si penerima pesan dalam kondisi ini harus segera men-counter pesan itu dan akan lebih baik lagi memastikan bahwa pesan itu tidak banyak dikonsumsi orang. 


Fenomena hastag #KaburAjaDulu yang menggema hari-hari ini harus disikapi dengan cermat, jika tidak akan berakibat fatal. Harus dipastikan hashtag itu bukan berasal dari oknum-oknum yang tidak bertanggung jawab. Harus dipastikan juga hashtag #KaburAjaDulu tidak ada kaitannya dengan hastag-hastag terdahulu yang pernah digelorakan terkait dengan pesimisme anak bangsa. 


Jika dicermati, kata 'Kabur' pada hastag #KaburAjaDulu mengandung beberapa penafsiran. Biasanya, kata 'Kabur' sering diasumsikan untuk suatu kondisi seseorang yang sedang prihatin akan kondisi kehidupannya. Kata 'Kabur' juga kadang diasumsikan untuk seseorang yang realita kehidupannya sedang tidak sesuai dengan sesuatu yang diharapkannya, meskipun realita itu sesuai dengan norma. Oleh karenanya, tidak ada pesan baik yang keluar dari pedanan kata 'Kabur'. Sederhananya, kata 'Kabur' selalu bermakna konotatif. 


Jika yang menjadi alasan anak bangsa menggelorakan hastag #KaburAjaDulu adalah karena kondisi perekonomian, sosial, dan keadilan yang belum menyeluruh, apa bedanya dengan kondisi-kondisi Indonesia sebelumnya. Memang harus diakui, ketimpangan sosial, kesejahteraan masyarakat, pemerataan pendidikan, penegakan hukum masih menjadi fokus pemerintah sedari dulu. Seharusnya anak bangsa ikut berpartisipasi dalam membangun Indonesia, meningkatkan kompetensinya, serta bersama-sama mengawasi kinerja pemerintah, bukan malah menggelorakan narasi yang seolah-olah bumi pertiwi ini tidak pantas untuk dipijak lagi. 


Jika toh pada kenyataannya, anak bangsa harus ke luar dari negeri ini, seyogianya keluar karena satu tujuan mulia, keluar bukan karena putus asa, melainkan keluar atas nama duta bangsa, keluar untuk meng-upgrade kemampuan diri dan hanya untuk sementara. 


Banyak tokoh/anak bangsa kita yang dari dulu hingga sekarang berada dan berkompetisi di luar, tetapi mereka tetap berkontribusi bagi bangsa. Namun, jangan sampai, Anda keluar untuk meng-upgrade diri, namun pulang ke tanah air malah memporak-porandakan tatanan kehidupan sosial yang sudah digariskan oleh para pendiri/pendahulu bangsa. 


Peran Pemerintah 


Ada atau tidak adanya hastag #KaburAjaDulu,  pemerintah tetap berkewajiban menciptakan stabilitas nasional. Kebutuhan yang menjadi urgensi masyarakat harus tetap diprioritaskan. Ciptakan dan perbanyak lapangan pekerjaan, tingkatkan kesejahteraan masyarakat, dan yakinkan kepada masyarakat bahwa bumi pertiwi ini, bumi yang nyaman, tentram dan tetap aman. 


Pemerintah juga perlu melakukan penguatan berupa pembinaan-pembinaan kepada anak bangsa, khususnya generasi muda terkait dengan  wawasan kebangsaan. Dengan memahami pentingnya mencintai tanah air, setidaknya benih-benih non nasionalisme tidak akan muncul. 


Menyikapi fenomena ini, siapa pun orangnya yang merasa peduli akan negerinya, harus cermat membaca dan meyakinkan bahwa hastag #KaburAjaDulu memang berasal dari sedikit keresahan anak bangsa yang belum memahami sepenuhnya permasalahan bangsa, bukan berasal (inisiatif) dari sekelompok orang/identitas yang tidak ingin negeri ini sejahtera. Jika memang berasal dari mereka yang tidak ingin sejahtera, disinilah perlunya peran pemerintah untuk mengantisipasinya. 


Dengan demikian, dalam menganalisis fenomena #KaburAjaDulu, tidak cukup hanya mengamati sebab kronologisnya saja, tetapi yang paling penting juga adalah dapat mengungkap makna di balik itu semua sebagaimana Levi-Strauss (2007) sebutkan. Makna dapat diungkap melalui sebuah interpretasi, baik yang terlihat di permukaan maupun di luar permukaan sesungguhnya. 


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut