Taushiyah

Catatan Pinggir tentang Lima Ayat Pertama Surat Al-Baqarah

Senin, 20 September 2021 | 14:00 WIB

Catatan Pinggir tentang Lima Ayat Pertama Surat Al-Baqarah

Ketua Badan Pengawas Rahima Jakarta, KH Helmi Ali. (Foto: Istimewa).

Oleh: KH Helmi Ali
Lima ayat pertama surat Al-Baqarah menjelaskan tentang kelompok orang yang bertakwa, yakni mereka yang percaya kepada yang ghaib (dan tentu kepada Yang Maha Ghaib juga) menegakkan sholat (selalu punya waktu, minimal lima kali dlm sehari, melepaskan diri dari realitas, masuk ke alam ghaib, fokus memeriksa diri, menghadap kepada Yang Maha Ghaib); membelanjakan rezeki yg diberikan kepadanya dan berbagi, menerima al Qur'an sepenuh hati, menghormati kitab-kitab yang diturunkan sebelumnya, dan sepenuhnya yakin dengan hari akhirat. 

Dua ayat berikutnya tentang orang-orang yang tidak percaya. Mereka mengambil posisi yang  jelas berbeda. Mengunci dan menutup diri, itu dua kategori kelompok orang. Tetapi ada kategori, kelompok orang, yg ketiga, yg biasa disebur munafiq. Dan itu digambarkan dalam tiga belas ayat berikutnya. Bahkan, yang masuk dalam kategori (ketiga) ini, adalah orang-orang yang menyatakan diri beriman, tetapi pada dasarnya tidak. Mereka disebut penipu, bahkan menipu diri sendiri (dengan dan karena semua kebohongannya). 

Dalam diri termasuk juga didalam hati, orang-orang yg masuk dalam kategori ini, ada penyakit yg semakin lama semakin bertambah. (Ada berbagai penyakit hati, tetapi bertumpu pada dan atau dempet dengan keserakan, keserakahan tidak pernah terpuaskan, sehingga terus menerus bertambah). Itu yang merusak. Mereka itu adalah yang melakukan pengrusakan (merusak keseimbangan alam) di muka bumi ini. Tetapi menyangkal dengan keras. Bahkan mengklaim bahwa merekalah yang melakukan perbaikan (tentu dengan berbagai argumentasi, baik yang konyol maupun yang canggih yang, katanya, dilakukan untuk kemakmuran bersama, untuk kemanusiaan, dan sebagainya). 

Mereka melakukan pengrusakan di muka bumi karena  ketidakmampuannya membaca tanda-tanda, baik secara tertulis maupun tak tertulis yang terbentang dalam realitas kehidupan dihadapan. Mungkin juga karena tidak mau membaca,  tidak mau merenungkan realitas kehidupan yang sesungguhnya penuh makna, yang memungkinkan orang lebih memahami makna tanda yang tertulis. Bahkan yang pada akhirnya membawa pemahaman yang lebih baik serta lebih menyeluruh atas ajaran agama itu. 

Kelompok ini tampaknya hidup di dua tempat. Mereka hidup di tengah dan berbaur bersama dlm masyarakat beriman; tetapi juga membangun komunitas tersendiri. Jika berada ditengah masyarakat beriman mereka  berprilaku sebagaimana layaknya orang yg beriman, menggunakan aksesoris, simbol-simbol dan bahkan fasih berbicara dg bahasa agama. Mereka tampaknya mempunyai kemampuan meyakinkan bhw mereka sama, atau bagian dari masyarakat beriman. Tetapi jika bersama-sama dlm komunitasnya, mereka melecehkan orang2  beriman (yang memang lugu). Mereka, kata al Qur'an, membeli petunjuk dengan kesesatan. 

Tetapi (perumpamaan) mereka itu sesungguhnya  seperti orang yang menyalakan api (dengan semua gagasan dan mimpi-mimpinya). Mereka mempunyai gagasan tentang masa depan yang memang menggiurkan, tetapi kemudian (karena cara yang digunakan, eksploitatif, tidak mempertimbangkan secara menyeluruh keseimbangan alam, kemanusiaan yang mengakibatkan keseimbangan alam rusak) maka ketika terjadi sesuatu (bencana yg mematikan) karena pendekatan mereka (melakukan pengrusakan atas bumi) maka api itu padam tiba-tiba (kehilangan arah). Dalam kondisi seperti itu keadaan mereka seperti orang yang berjalan dalam kegelapan. Seperti petinju yang mabuk pukulan; tidak tahu arah, kehilangan fokus, sehingga limbung, tungkainya tidak cukup kuat menunjang tubuhnya, dan (bisa) terjungkal, jika tdak diselamatkan. 

Ketika terjadi persoalan (bencana), mereka memang berhenti, sejenak terhenyak. Mencoba meraih apa saja (dari gagasan yang muncul) yang dianggapnya bisa mengatasi keadaan. Akan tetapi (karena kondisinya memang parah, menyeluruh) ternyata tidak efektif.  Tetapi suara-suara yang sungguh jernih (karena tidak sesuai dengan kerangka pandang mereka) tidak digubris, dianggap kembali itu membawa ke masa lalu, dan itu artinya tidak realistik. Sebab, kita sudah terlanjur menginjakkan kaki para masa depan. Maka keadaan bisa menjadi lebih rusak. Kalaupun keadaan terbaiki sifat sementara, kedepan mungkin lebih parah.

Mereka, kelompok ini, sebenarnya takut dengan situasi yang dihadapi. Tetapi egois dan tidak mau melIhat realitas, tidak mau mendengarkan, dan tidak mau membangun komunikasi berbagai arah. Problemnya  mereka itu tidak hanya menyeret pihak lain kedalam ketakutan mereka; tetapi menyeret kita kedalam persoalan (bencana) yang muncul akibat ulah mereka. 

Entahlah, saya membacanya seperti itu. Boleh jadi saya salah membaca. Tetapi secara sepintas, perbandingan jumlah ayat yang mengambarkan kelompok orang-orang itu, sudah menunjukkan sesuatu. Orang-orang bertaqwa atau beriman digambarkan dengan lima ayat, dan orang-orang tidak percaya, hanya dua ayat. Tetapi kategori ketiga, digambar dg tigabelas ayat. Paling banyak mendapat catatan. Karena  itu penting untuk dikenali. Mungkin sulit mengenalinya dg baik, karena mereka pandai membawa diri (bisa hidup dalam dua tempat yg berbeda), pandai berbicara, dan memiliki kemampuan memanipulasi keadaan. Gagasan2nya selalu atas nama kemanusiaan, kemakmuran bersama, dan seringkali diungkap dg bahasa agama.  

Namun entahlah, saya tidak tahu. Hanya Allah yang melimpah ruah rahmatNya dan berkesinambungkan kasih sayang-Nya yang mengetahui segala sesuatunya. Semoga Allah tidak mencabut penglihatan dan pendengaran kita. 

Penulis merupakan Ketua Badan Pengawas Rahima, Jakarta

Editor: Muhammad Rizqy Fauzi