Ngalogat Neraca Langit: Meneladani Nabi dalam Laku Bisnisnya

Pedagang yang Dipercaya Langit

Senin, 25 Agustus 2025 | 07:00 WIB

Pedagang yang Dipercaya Langit

Pedagang yang Dipercaya Langit

Banyak orang mengira meneladani Nabi Saw sebatas pada laku ibadah: shalat yang khusyuk, doa yang indah, atau dzikir yang panjang.


Padahal, jika kita membaca sirah dengan jujur, warisan Nabi yang tak kalah penting adalah etos kerjanya. Sebelum beliau berdiri di mimbar dakwah, sebelum ayat pertama diturunkan di gua Hira, Nabi Muhammad Saw lebih dulu dikenal di pasar. Pasar itulah madrasah pertamanya, dagang itulah ruang latihannya, dan kejujuran itulah ijazah pertamanya.


Beliau tumbuh dalam masyarakat yang menuhankan laba, namun di tengah riuh teriakan tawar-menawar, beliau justru menawarkan sesuatu yang lebih mahal dari emas: kepercayaan. Itulah sebabnya masyarakat Mekkah menjulukinya al-Amīn, yang terpercaya. Julukan ini bukan lahir dari khutbah, melainkan dari neraca, dari timbangan yang tak pernah beliau curangi, dari janji yang tak pernah beliau khianati.


Kita hidup di zaman ketika banyak orang beragama di masjid, namun lupa beragama di pasar. Shalat berjamaah dijaga, tapi kejujuran dalam kontrak kerja sering dikhianati. Padahal Nabi Saw menunjukkan: pasar adalah sajadah yang sama sucinya dengan masjid. Bedanya hanya lantai: satu beralas pasir, satu beralas sajadah. Tapi keduanya sama-sama di bawah pandangan Allah.


Warisan Nabi ini jarang disorot. Kita sibuk meneladani ritual, tetapi sering lupa meneladani profesionalitas. Nabi tidak hanya mengajarkan shalatlah seperti aku shalat, tetapi juga berdaganglah seperti aku berdagang, dan keduanya sama-sama ibadah.


Dalam sejarah, beliau ikut kafilah dagang sejak usia belia. Dari perjalanan ke Syam, beliau belajar bahwa pasar bukan sekadar tempat mencari untung, tetapi ruang membangun keadilan. Di sana, beliau menjadikan kejujuran sebagai modal utama. Nabi memahami: dagang tanpa amanah hanya melahirkan keuntungan semu, sementara kejujuran adalah harta yang tak bisa dibeli.


 وَيْلٌ لِّلْمُطَفِّفِينَ. الَّذِينَ إِذَا اكْتَالُوا عَلَى النَّاسِ يَسْتَوْفُونَ. وَإِذَا كَالُوهُمْ أَو وَّزَنُوهُمْ يُخْسِرُونَ


Artinya: “Kecelakaan besarlah bagi orang-orang yang curang, (yaitu) orang-orang yang apabila menerima takaran dari orang lain mereka minta dipenuhi, dan apabila mereka menakar atau menimbang untuk orang lain, mereka mengurangi.” (QS. al-Muṭaffifīn: 1–3).


Ibn Katsir menafsirkan bahwa ayat ini turun untuk mengecam pedagang yang merugikan orang lain dengan kecurangan dalam timbangan, perbuatan itu termasuk ẓulm (kezaliman) yang akan menghapus berkah harta dan mendatangkan murka Allah.


Sementara itu, al-Ṭabari menekankan bahwa ancaman “wayl” di awal ayat berarti “kebinasaan” atau “neraka khusus” bagi pelaku kecurangan. Artinya, integritas dalam perniagaan bukan sekadar etika sosial, tetapi urusan akidah dan keselamatan akhirat.


Etos ini berlanjut ketika beliau bekerja sama dengan Khadijah. Tidak ada catatan sejarah yang menyebut beliau pernah menipu, mengurangi timbangan, atau berkhianat pada mitra bisnisnya. Justru Khadijah terpikat bukan semata karena kecerdasan Muhammad, tetapi karena integritasnya yang teguh. Dari integritas itulah lahir pernikahan yang penuh berkah, sebuah pertemuan antara bisnis dan cinta yang dirajut oleh kejujuran.


Di titik inilah kita belajar: warisan Nabi bukan hanya berupa mushaf yang kita baca, tetapi juga lapak dagang yang beliau wariskan sebagai teladan. Mushaf mengajarkan nilai, lapak mengajarkan laku. Keduanya tak bisa dipisahkan.


Bayangkan jika umat Islam menyalin teladan ini: menjadi pedagang, pengusaha, dokter, guru, arsitek, penulis, atau buruh yang menimbang dengan neraca langit, bukan sekadar neraca laba. Maka kerja menjadi dzikir, bisnis menjadi ibadah, dan pasar menjadi jalan menuju surga.


Al-Qur’an sendiri mengabadikan perniagaan sebagai metafora iman:


 إِنَّ اللَّهَ اشْتَرَىٰ مِنَ الْمُؤْمِنِينَ أَنفُسَهُمْ وَأَمْوَالَهُم بِأَنَّ لَهُمُ الْجَنَّةَ


Artinya: “Sesungguhnya Allah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka.” (QS. at-Taubah: 111).


Ayat ini menegaskan: bisnis bukan sekadar urusan dunia, tapi bisa menjadi akad agung dengan Tuhan.


Sayangnya, kini kita sering mewarisi sebagian saja dari Nabi: doa tanpa kerja keras, ibadah tanpa integritas. Padahal warisan Nabi yang paling nyata justru melekat dalam keseharian: cara beliau berniaga, cara beliau bekerja, cara beliau menjadikan profesi sebagai ibadah.


Etos kerja Nabi tidak lahir dari ruang hampa. Ia berakar pada keyakinan bahwa Allah selalu hadir dalam setiap transaksi. Inilah murāqabah, kesadaran bahwa Allah menyaksikan. Maka bagi Nabi, berdusta dalam timbangan sama berat dosanya dengan lalai dalam shalat. Menipu dalam kontrak sama buruknya dengan meninggalkan zakat.


Pelajaran ini relevan di tengah krisis integritas hari ini. Banyak orang ingin sukses cepat, meski harus menipu. Banyak yang ingin kaya, meski harus merampas hak orang lain. Padahal Nabi menunjukkan: yang membuat beliau mulia bukan sekadar laba, melainkan reputasi amanah. Itulah modal yang bahkan lebih besar daripada modal finansial.


Meneladani Nabi berarti menyalin bukan hanya caranya bersujud, tetapi juga caranya berdagang. Menyalin bukan hanya cara beliau berdo'a, tetapi juga cara beliau menepati janji. Sebab ibadah tanpa integritas hanyalah ritual kosong, dan bisnis tanpa kejujuran hanyalah fatamorgana.


Di sinilah letak neraca langit: kita menimbang bukan dengan hitungan laba rugi semata, melainkan dengan timbang rasa, timbang moral, timbang iman. Setiap rupiah diuji bukan hanya oleh pasar, tetapi juga oleh malaikat pencatat.


Maka, meneladani Nabi dalam laku bisnisnya adalah menghidupkan kembali pasar sebagai ruang ibadah. Inilah warisan agung yang terlupa. Jika kita sanggup menyalinnya, maka hidup kita akan menjadi akad suci: antara bumi yang kita pijak, dan langit yang menimbang.


"Bukan harta yang Nabi wariskan,
melainkan jalan yang penuh amanah.
Pasar hanyalah persinggahan,
tapi surga adalah tujuan.
Mari ikuti kafilah ini,
sebab masih banyak jejak Nabi
yang menanti untuk kita teladani…"


Bersambung


KH Yayan Bunyamin, Ketua MDS Rijalul Ansor Jawa Barat