• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Persoalan Etis Kepemimpinan Hari Ini

Persoalan Etis Kepemimpinan Hari Ini
(Ilustrasi/NU Online)
(Ilustrasi/NU Online)

Oleh Herdi As’ari    
Kepemimpinan merupakan wacana yang memiliki daya gugah yang hebat, sehingga tidak akan pernah selesai untuk dibicarakan. Keterkaitan antara sumber daya materil maupun nonmateril untuk memenuhi hajat manusia dengan tabiat manusia yang secara naluri selalu ingin unggul dari pada yang lain, menempatkan isu kepemimpinan berada di maqam yang tinggi. Belum lagi kondisi zaman yang kian berubah, menuntut konsepsi tentang kepemimpinan pun harus kontekstual dengan perubahan yang ada.

Diskursus ihwal kepemimpinan telah berlangsung sejak lama, mungkin saja sejak manusia ada. Atau sekurang-kurangnya, memori sejarah kita tertuju pada waktu menjelang wafatnya Nabi Muhammad SAW. Betapa tidak, ketika umat Islam sedang dirundung kesedihan yang begitu mendalam, di saat yang bersamaan pula sebagian sahabat berdebat untuk menentukan siapa yang akan memimpin umat sepeninggal Nabi. Hal itu mengisyaratkan bahwa kepemimpinan adalah sesuatu yang kritikal sepanjang sejarah dan peradaban manusia.

Dalam konteks hari ini pun bagi sebagian kalangan, isu kepemimpinan menjadi panglima tertinggi melebihi isu-isu sosial lainnya. Memandang kepemimpinan sebagai titik tolak cara berpikir, akumulasi harapan, hingga aneka kepentingan. Maka dari itu, spirit kepemimpinan dalam setiap level yang berbeda jika dijalankan sebagaimana fungsinya, akan menjadi energi terbarukan dalam mewujudkan kemakmuran hidup manusia yang tak terbatas. Tetapi juga, jika kepemimpinan itu tak sampai pada esensi atau terjadi penyelewengan kewenangan, maka kepemimpinan itu pun akan menjelma menjadi monster dengan daya rusak yang hebat.

Di Indonesia misalnya, sebagai negara yang menganut sistem demokrasi, isu kepemimpinan ramai diperbincangkan orang ketika pelaksaan pemilihan umum (baca: pemilu). Selain sebagai perayaan tahunan yang telah terjadwal, pemilu juga disebut sebagai suatu proses seleksi untuk melahirkan pemimpin-pemimpin bervisi. Dengan harapan, pemimpin yang memiliki visi ke depan yang jelas akan membawa Indonesia ke era gemilang. Namun adakalanya, saat pemilu itu diisi oleh pihak-pihak yang kelebihan ambisi, maka pemilu itu menjadi permainan yang dengan sendirinya saling “mempermainkan” satu sama lain. Alhasil, yang ditelurkannya pun bukan pemimpin, tapi “pemain”.

Proses kompetisi yang tak sehat, seperti mendobrak koridor hukum dan moral, money politic, dan propaganda informasi yang tidak benar (hoaks) merupakan pembelajaran buruk bagi generasi ke depan. Contoh kasus, terlepas dari suksesnya pemilihan presiden (Pilpres) tahun 2014 secara teknis dan atau aturan yang ada, tetapi harus diakui juga bahwa Pilpres tersebut telah melahirkan pembelahan yang luar biasa di tengah masyarakat. Bagaimana tidak, output dari pesta demokrasi itu bukan hanya manusia, melainkan banalitas satwa (baca: cebong-kampret) yang sampai detik ini pun masih sering kita dengar. Kondisi demikian, bukan hanya kontraproduktif, tetapi juga akan mengancam ketahanan nasional ke depan, serta melunturkan nilai-nilai kemanusiaan.

Makna kepemimpinan

Secara garis besar pengertian kepemimpian merujuk pada dua hal yang hampir sama, namun sejatinya berbeda yaitu pemimpin dan kepemimpinan. Pertama, pemimpin (tanpa imbuhan ke-an), yakni sebagai orang atau person. Artinya, orang yang memiliki kualifikasi menjadi pemimpin. Dengan kata lain, kualitas kemampuan seseorang untuk memengaruhi orang lain sehingga apa yang ia inginkan dapat dilaksanakan. Kedua, kepemimpinan sebagai perfom (ance) adalah corak atau gaya yang digunakan seseorang dalam memimpin.

Dalam konteks kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara, seorang pemimpin haruslah ditempati oleh orang-orang terbaik. Mereka yang senantiasa memiliki kesesuaian anatara ucap dan tindakannya; mereka yang mampu menjernihjelaskan akal dan hatinya sehingga tidak saling berbenturan; serta mereka yang telah selesai dengan diri dan golongannya (kepentingannya). Dengan pendek kata, pemimpin haruslah orang yang bijaksana. Meminjam istilah Plato sebagai philosopher king.

Sebagai manusia beragama Islam dan percaya akan eksistensi Tuhan, kiranya akan sepakat bahwa setiap kita adalah pemimpin bagi diri kita sendiri. Mengendalikan dan memimpin diri sendiri agar selalu berbuat kebajikan dan menghindari segala bentuk kerusakan sejatinya lebih sulit dibandingkan mengubah dunia dengan segala isinya. Laki-laki Muslim berat melaksanakan salat berjamaah di masjid, bukan karena jarak yang terlampau jauh, atau karena sibuk dengan berbagai kegiatan, melainkan karena terbentangnya jarak antara kesadaran dengan karunia Tuhan pada dirinya. Begitupun pemimpin korup dan dzalim, bukan tidak memiliki pengetahuan tentang tanggungjawabnya, melainkan telah absennya Tuhan di hati mereka. Demikian orang bijak berfatwa. 

Secara ontologis, manusia diciptakan sebagai representasi Tuhan di dunia (khalifah fil ard), sehingga manusia dituntut untuk selalu berbuat yang terbaik, di samping menghindari kerusakan dan permusuhan. Konsekuensi logis dari itu semua bahwa seluruh tindak-tanduk manusia selama di dunia ini akan dipertanggungjawabkan, tanpa ada yang tertinggal sedikitpun. Pilihannya dua: selamat atau celaka. Tentu kita dapat mengajukan diskresi, pada akhirnya berpulang pada kebijaksanaan Tuhan.

Berikutnya kepemimpinan sebagai sifat, yaitu nuansa atau corak kepemimpinan yang membedakan antara satu pemimpin dengan pemimpin yang lainnya. Hal ini sangat dipengaruhi oleh kondisi psikologis dan sosiologis seseorang. Kondisi psikologi berkaitan dengan keadaan mental yang mengiringi perilaku seseorang, sedangkan kondisi sosiologis berkelindan dengan latar belakang pendidikan, keturunan (family), taraf ekonomi, kepentingan politik, serta kondisi lingkungan secara umum. Maka, kita kenal di dunia ini banyak sekali gaya kepemimpinan, di antaranya gaya kepemimpinan otoriter, militeristik, laissez faire, demokratis, dan seterusnya.

Keterangan-keterangan di atas menggambarkan dengan jelas ihwal kepemimpinan bukan hanya sekadar berbicara soal teknis-prosedural, misalnya tentang protokol yang harus dijalankan para pemimpin, ber-ijazah tinggi, kunjungan ke luar negeri, pandai berpidato atau berceramah, mampu mempengaruhi banyak orang, dan lainnya, melainkan juga kepemimpinan harus dinafasi oleh tanggungjawab etis dan moral. Sehingga pertanyaan yang diajukan bukan lagi dia sebagai apa, tetapi mengapa dan bagaimana, serta apa tujuan ia memimpin?

Persoalan & solusi
Isu kepemimpinan hari ini nampaknya surplus berbicara hal-hal teknis, sementara minus wacana soal etis. Prodaknya sering kita saksikan bahwa tidak sedikit perilaku para pemimpin tersebut lebih rendah dari mereka yang bukan pemimpin (publik). Banyak contoh di beberapa kasus, misalnya, para pejabat sosial yang “menjarah” bantuan sosial, polisi yang disidik, hakim yang diadili, jaksa yang dituntut, ekonom yang memelaratkan, dan seterusnya. Belum lagi liberalisasi hukum, yang  menyebabkan orang akan mendapatkan keadilan hanya dengan “membayar”, atau kapitalisasi politik, sehingga yang berpeluang menang hanya mereka yang bermodal. Menguapnya etika dan moral dalam struktur dan gelanggang sosial hari ini berpotensi merubuhkan seluruh bangunan kemanusiaan.

Ada beberapa hal yang menurut hemat penulis penting direnungkan oleh kita semua, wabil khusus bagi pejabat publik dalam memandang dan menjalankan suatu kepemimpinan kaitannya dengan persoalan etika. Sekurang-kurangnya adalah tentang kesabaran, integritas, kepunyaan rasa malu, mengikis ego sektoral, kemampuan berkomunikasi yang baik, ketegasan, serta merekonstruksi cara pandang tentang kepemimpinan itu sendiri. 

Seorang teman pernah berkata bahwa perbedaan antara pengurus (baca: pejabat publik) dengan warga biasa adalah level kesabaran. Menurutnya, tingkat kesabaran pejabat haruslah berkali lipat besarnya, dari pada warga biasa. Aforisma tersebut menerangkan bahwa ketika seseorang telah memutuskan untuk menjadi pejabat publik, maka saat itu pula ia memikul hajat orang banyak. Di lain pihak, masyarakat merupakan kumpulan individu yang memiliki kekhasan masing-masing. Berbeda watak, pembawan, tingkat pendidikan, berbeda pula horison harapan yang diinginkannya. Dengan demikian kesabaran menjadi penghubung antara keadaan faktual seorang pemimpin dengan idealitas kemauan masyarakat yang beragam itu.

Agaknya dewasa ini, nilai kesabaran menjadi barang langka. Sulit kita temui di lingkungan birokrat dan pejabat pemerintahan kita. Sebagian pejabat, hanya sibuk dengan diri dan kelompok-kepentingannya, abai terhadap “majikan” yang telah memilihnya. Ketersinggungan lebih mewarnai mentalitas mereka, dari pada memupuk kesabaran. Sikap reaktif yang menggebu untuk memenjara lebih kontras dari pada sikap permisif untuk mencari solusi bersama. Sehingg tak jarang kita menyaksikan di televisi dagelan hukum yang mengundang gelak tawa. 

Setelah kesabaran, integritas menjadi ruh dalam setiap bentuk dan gerak kepemimpinan. Integritas secara sederhana berarti kesesuaian antara niat, ucapan dan tindakan. Pemimpin yang baik seharusnya tidak banyak berjanji tentang suatu hal, tetapi lakukan hal tersebut dengan sebaik-baiknya dan sesegera mungkin. Kepercayaan tumbuh bukan dari banyaknya janji, melainkan tugas yang diselesaikan secara benar dan tuntas, sebelum orang berharap banyak.

Rasa malu ketika akan dan atau telah melakukan suatu pelanggaran, juga menjadi ciri pemimpin yang baik. Rasa malu merupakan rem yang dibentuk dari kesadaran terdalam pada diri seseorang, sekaligus sebagai pengontrol kedisiplinan dalam bekerja. Ironi yang sangat memilukan ketika menyaksikan para oknum pejabat yang sudah mengenakan rompi orange, masih bisa dadah-dadah dan tersenyum renyah di depan kamera. 

Fenomena lain yang masih mendarah-daging ialah ego sektoral. Anekdot berbahasa Sunda menyebutnya: Papada hayang boga jasa. Fenomena ini ditandai dengan kebiasaan bekerja karena ingin diperhatikan atasan. Selain itu juga, berebut klaim atas sebuah pencapaian (prestasi), namun di lain pihak segera sembunyi tangan tatkala ada suatu permasalahan. Ciri lainnya, ketakterhubungan komunikasi. Sering kita saksikan bersama tak sedikit masyarakat yang dibuat bingung dengan pelayanan sektor publik, seperti kependudukan, kesehatan, dan yang lainnya. Pelayanan ala olahraga pingpong masih sering kita dapati.

Berikutnya tentang cara komunikasi. Dalam berkomunikasi, seorang pemimpin tak cukup dengan bekal retorika-gramatikal, tetapi juga harus menyentuh secara emosional. Sulit terjadi keterhubungan antara pemimpin dengan rakyatnya, jika gaya komunikasi pemimpin tersebut kaku. Sebagian pejabat hari ini (dengan pretelan gelar akademik) merasa bangga dengan narasi teori yang tinggi-tinggi, sehingga tak pernah sampai dan berpijak pada bahasa masyarakat yang sederhana. Sebagian lagi, kehilangan narasi kreatif, sehingga tak jarang keterangan-keterangan mereka malah menuai kontroversi di tengah masyarakat. Apa yang mereka katakan, berbanding-terbalik dengan apa yang dikerjakan, atau juga tak menimbang baik-buruk apa yang diucapkannya itu.

Pemimpin juga harus tegas. Tegas berbeda dengan pemarah atau arogan, tetapi tegas artinya berbuat dan memutuskan sesuatu sesuai dengan aturan yang berlaku. Pendek kata, tegas adalah sikap konsistensi terhadap peraturan yang ada. Seorang pemimpin tak boleh terintervensi oleh siapapun dan atas dasar apapun yang dapat melanggar hukum. Ia harus menjadikan dirinya sebagai leader, bukan sebagai “dealer”.

Terakhir adalah perlunya kita untuk merekonstruksi cara pandang tentang kepemimpinan, agar kepemimpinan tidak selalu bernuansa material-transaksial. Lebih penting bahwa kepemimpinan harus dipahami sebagai cara pandang dan cara berperilaku dalam upaya mengangkat harkat martabat sesama. Bahwa harus dipahami juga, kepemimpinan hakikatnya adalah upaya yang gigih dalam membentuk kepribadian.* 

Penulis adalah Mahasiswa Magister Prodi Sejarah Peradaban Islam Universitas Islam Negeri Sunan Gunung Djati Bandung


Opini Terbaru