• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Opini

Menyoal Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Nusantara

Menyoal Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Nusantara
Menyoal Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Nusantara
Menyoal Tradisi Keagamaan Masyarakat Islam Nusantara

Masyarakat Islam Nusantara bisa dikatakan sebagai tipe masyarakat yang bersifat komunal. Setidaknya itulah realita yang saat ini kita rasakan. Bagaimana tidak dikatakan komunal, setiap peristiwa-peristiwa yang dianggap penting dalam agama Islam selalu dihubungkan dengan perayaan-perayaan yang istimewa.


Tak elok rasanya jika peristiwa penting yang menghiasi perjalanan agama Islam tidak diperingati sebagaimana mestinya. 


Misalnya, setiap tiba di bulan-bulan penting seperti Muharram, Safar, Rabiul Awal (Mulud), Rajab, Sya’ban (Rewah), Ramadhan, Syawal, dan Dzulhijjah (Rayagung) ada saja peristiwa-peristiwa lokal yang menghiasi waktu-waktu istimewa di bulan-bulan Islam tersebut. Dari bulan-bulan itu, masyarakat Islam Nusantara kemudian mengenal Muharraman, Safaran, Muludan, Rajaban, Rewahan, Likuran, Syawalan (Halal bi halal), dan Rayagungan


Kegiatan-kegitan komunal tradisional itu tetap hidup tumbuh dan lestari di tengah-tengah masyarakat berkelindan bersamaan dengan rutinitas keagamaan mereka sehari-hari meskipun sebagian pihak ada saja yang masih menyangsikan legitimasi (keabsahan) kegiatan-kegiatan tersebut. Meskipun demikian, hal itu tidak serta dapat menggoyahkan keyakinan mereka dan malah menganggapnya sebagai propaganda-propaganda menyesatkan yang dapat mengganggu tatanan kehidupan yang sudah berjalan.


Bagi mereka, kegiatan-kegiatan komunal seperti yang telah disebut di atas dipandang sebagai wahana untuk mengungkapkan rasa syukur dan rasa suka cita atas apa yang telah terjadi dalam keberlangsungan dan kesempurnaan agama Islam. Mereka juga memandang, melaksanakan rutinitas perayaan-perayaan tersebut merupakan sebagai perwujudan kepatuhan terhadap para leluhurnya. Menurutnya, mana mungkin para pendahulunya ketika membuat perayaan-perayaan tersebut ditujukan untuk membodohi generasi-generasi penerusnya. 


Selain itu juga, perayaan-perayaan keagamaan yang sifatnya komunal di atas dipandang sebagai kreasi budaya yang mempunyai beragam nilai dan makna. Bagi mereka, tradisi-tradisi yang kini berkembang sebagaimana disebutkan di atas menjadi sesuatu yang dianggapnya tidak lebih dari sebuah ‘baju’, atau sebuah ‘wadah’ yang tidak bertentangan dengan ‘isi’, yaitu Islam itu sendiri. 
Tradisi-tradisi itu juga dipandang sebagai laku budaya yang tidak mungkin akan dapat mendegradasikan, menggantikan atau mengorbankan substansi Islam itu sendiri, melainkan justru untuk memperkaya Islam menjadi agama yang mampu dan siap beradaptasi dengan khasanah budaya-budaya tertentu. 


Melaksanakan tradisi-tradisi komunal di atas juga dipandang sebagai pengingat atas perjuangan para pendahulu yang telah mampu menyelaraskan, mengharmonikan, serta membumikan nilai-nilai budaya lokal dengan Islam. Sebagaimana kita ketahui bersama, Islam merupakan agama baru dan pendatang bagi masyarakat Nusantara. Wallahu’alam.


Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut


Opini Terbaru