KDM, Musyawarah Itu Indah dan Membawa Berkah Menuju Jabar Istimewa
Kamis, 24 Juli 2025 | 21:49 WIB
Oleh Supendi Samian
Kepemimpinan dalam konteks pemerintahan daerah bukan sekadar jabatan struktural, melainkan amanah besar yang mengandung tanggung jawab moral, sosial, politik, dan spiritual. Seorang pemimpin dituntut tidak hanya memiliki visi kuat dan keberanian dalam bertindak, tetapi juga kearifan dalam membaca realitas masyarakat yang majemuk.
Dalam konteks ini, sosok Kang Dedi Mulyadi, tokoh yang dikenal dengan gaya blusukannya, ketegasannya dalam mengambil kebijakan, serta keberpihakannya kepada rakyat kecil, telah menorehkan banyak kesan di hati masyarakat Jawa Barat.
Namun demikian, dalam praktiknya, tidak sedikit pihak yang menilai bahwa pendekatan kebijakan yang diambil cenderung bersifat personal dan top-down, atau dikenal sebagai gaya kepemimpinan one man show. Hal ini menjadi persoalan ketika keputusan-keputusan penting tidak melalui proses dialog dan musyawarah yang cukup dengan para representasi masyarakat, seperti DPRD, ormas Islam dan non-Islam, ulama, budayawan, tokoh adat, serta kelompok strategis lainnya.
Padahal, dalam sistem pemerintahan demokratis dan dalam nilai-nilai luhur budaya serta ajaran Islam, musyawarah merupakan fondasi yang tidak dapat diabaikan. Musyawarah bukan hanya mekanisme formalitas birokrasi, tetapi juga ruh dalam pengambilan keputusan yang menjamin keberpihakan pada kepentingan bersama, bukan hanya pada sudut pandang pemimpin semata.
Dalam Islam, musyawarah adalah perintah langsung dari Allah SWT, yang tercantum dalam Al-Qur’an dan diperkuat oleh teladan Nabi Muhammad SAW. Dalam budaya Sunda pun, nilai musyawarah terpatri dalam filosofi hidup yang menjunjung tinggi kebersamaan, harmoni, dan kearifan lokal.
Ketika seorang pemimpin tidak membuka ruang partisipatif dalam merumuskan kebijakan, maka besar kemungkinan kebijakan yang lahir tidak selaras dengan kebutuhan dan nilai-nilai masyarakat. Terlebih dalam konteks sosial Jawa Barat yang plural, sarat dengan nilai-nilai keagamaan dan adat istiadat, pendekatan sepihak justru berpotensi menimbulkan resistensi, salah paham, dan bahkan perpecahan.
Maka dari itu, kajian ini berusaha menggali secara mendalam pentingnya menghindari gaya kepemimpinan one man show dan mendorong praktik musyawarah dalam setiap kebijakan publik. Dengan mengangkat perspektif agama, budaya, sosial, dan politik, serta mengambil pelajaran dari dinamika kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi.
Tulisan ini ingin menegaskan bahwa kebijakan yang baik saja tidak cukup, namun harus juga ditempuh melalui cara yang baik — yaitu musyawarah. Melalui pendekatan inilah diharapkan dapat terbangun suasana kebatinan yang kondusif dan konstruktif dalam membangun Jawa Barat yang Istimewa, berkeadaban, dan berkarakter.
Kepemimpinan adalah amanah yang sangat berat dalam pandangan agama, budaya, dan konstitusi. Seorang pemimpin dituntut untuk tidak hanya mengandalkan kekuatan personal, tetapi juga kebijaksanaan kolektif melalui musyawarah.
Baca Juga
Barak Militer Vs Pesantren
Dalam konteks ini, gaya kepemimpinan Kang Dedi Mulyadi — yang dikenal tegas, turun langsung ke masyarakat, namun sering dinilai melakukan pendekatan one man show — perlu dikaji secara lebih mendalam dalam prespektif multidimensional.
Gaya Kepemimpinan One Man Show
Gaya kepemimpinan one man show seringkali lahir dari niat baik dan semangat kuat untuk perubahan cepat. Namun, kebijakan yang tidak dikonsultasikan secara luas dengan stakeholder, seperti DPRD, Ormas Islam dan Non-Islam, Ulama, Budayawan, dan Tokoh Masyarakat, bisa berdampak pada:
*Tidak sesuainya kebijakan dengan nilai lokal masyarakat.
*Potensi penolakan sosial.
*Terganggunya harmoni budaya dan agama.
*Runtuhnya legitimasi politik jangka panjang.
Contoh konkret seperti keputusan penataan ruang publik atau relokasi, meski niatnya baik, kerap menuai pro dan kontra karena kurangnya proses musyawarah yang transparan.
Pentingnya Musyawarah dalam Perspektif Agama
*Al-Qur'an Musyawarah adalah perintah yang jelas dalam Islam: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (taat) kepada Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka; dan mereka menafkahkan sebagian dari rezeki yang Kami berikan kepada mereka." (QS. Asy-Syura: 38)
Hadis Nabi Muhammad SAW Nabi Muhammad SAW bersabda: "Tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah." (HR. Thabrani)
*Kaidah Fikih: "Tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun bil maslahah”
(Kebijakan pemimpin terhadap rakyatnya tergantung pada kemaslahatan bersama).
Artinya, musyawarah adalah syarat kemaslahatan dan keabsahan sebuah keputusan.
Perspektif Budaya Sunda: Musyawarah dan Kearifan Lokal
Dalam budaya Sunda, dikenal prinsip "Silih asah, silih asih, silih asuh", yang mengedepankan dialog, kasih sayang, dan pembelajaran bersama. Budaya rembug warga, ngabuburit rembugan, dan leuweung nu kudu dijaga menggambarkan betapa musyawarah dan keharmonisan adalah jantung masyarakat Sunda.
Perspektif Politik dan Demokrasi
*Dalam sistem demokrasi, keputusan publik wajib melalui mekanisme representatif. Fungsi DPRD bukan hanya sebagai penyeimbang eksekutif, tetapi sebagai wakil rakyat yang sah. Melibatkan Ormas, LSM, Ulama, Budayawan, dan Tokoh Adat akan:
*Meningkatkan legitimasi kebijakan.
Meminimalisasi resistensi.
*Memperkuat partisipasi rakyat dalam pembangunan.
Saran untuk Membangun Jabar Istimewa
*Bangun forum musyawarah tetap: Gabungan dari DPRD, Ormas Islam/Non-Islam, Ulama, Budayawan, dan Tokoh Masyarakat.
*Setiap kebijakan besar didahului dengan konsultasi publik.
*Transparansi dalam perencanaan dan implementasi program.
*Budayakan musyawarah sebagai identitas kepemimpinan lokal.
Kepemimpinan bukan sekadar soal kecepatan bertindak, tapi juga kedalaman dalam menimbang. Gaya one man show, meski tampak efektif sesaat, akan kehilangan daya tahan jika tak diiringi dengan musyawarah. Baik menurut sang pemimpin belum tentu baik menurut masyarakat dalam kerangka sosial, budaya, agama, dan politik.
Membangun Jabar Istimewa tak cukup dengan niat mulia dan aksi tunggal. Ia butuh suasana kebathinan yang hidup dalam musyawarah, seperti pesan Al-Qur’an, sunnah Rasulullah, fikih siyasah, dan filsafat Sunda. Inilah jalan kepemimpinan paripurna.
Kepemimpinan adalah amanah besar yang memerlukan kebijaksanaan, kesabaran, serta keterbukaan hati dan pikiran dalam mendengarkan suara rakyat. Pemimpin yang baik tidak hanya dilihat dari keberanian dan ketegasannya dalam bertindak, tetapi juga dari kemampuannya merangkul semua unsur masyarakat dalam semangat kebersamaan dan musyawarah.
Gaya kepemimpinan one man show, meskipun kadang muncul dari niat baik untuk bertindak cepat dan efektif, tetap perlu dikritisi jika mengabaikan prinsip-prinsip kolektifitas dan representasi masyarakat. Dalam ajaran Islam, musyawarah bukan sekadar sarana, tetapi merupakan nilai pokok dalam tata kelola kehidupan umat manusia.
Allah SWT menegaskan dalam Al-Qur’an: "Dan (bagi) orang-orang yang menerima (taat) kepada Tuhannya dan mendirikan salat, sedang urusan mereka (diputuskan) dengan musyawarah antara mereka..." (QS. Asy-Syura: 38).
Nabi Muhammad SAW pun memberi teladan, meskipun beliau seorang utusan Allah, namun dalam banyak urusan, beliau tetap bermusyawarah dengan para sahabatnya: "Tidak akan kecewa orang yang bermusyawarah.” (HR. Thabrani).
Dalam pandangan fikih siyasah, pemimpin tidak boleh memaksakan kehendaknya jika bertentangan dengan kemaslahatan umum. Kaidah menyatakan: "Tasharruful imam ‘ala ra’iyyatihi manuthun bil maslahah" (Kebijakan seorang pemimpin terhadap rakyatnya harus didasarkan pada kemaslahatan bersama).
Senada dengan nilai-nilai Islam, filsafat hidup Sunda juga menjunjung tinggi prinsip kebersamaan dan harmoni dalam setiap tindakan. Leluhur Sunda mengajarkan: "Rembug téh kudu disorang heula, saméméh lampah dicorang." (Musyawarah harus didahulukan, sebelum sebuah tindakan dijalankan)
"Silih asah, silih asih, silih asuh" (Saling mengasah ilmu, saling menyayangi, dan saling membimbing)
"Ulah matak bendu batur, ulah ngarempak rasa." (Jangan membuat orang lain marah, jangan melanggar perasaan orang lain)
"Pamimpin téh kudu nyurahan hate batur, lain maksa rasa pribadi." (Pemimpin itu harus menyelami hati rakyat, bukan memaksakan kehendaknya sendiri)
Nilai-nilai tersebut menggambarkan bahwa kepemimpinan sejati tidak berjalan sendirian, tapi hadir sebagai representasi ruh kolektif rakyatnya.
Oleh karena itu, untuk membangun Jawa Barat yang istimewa, pemimpin harus mampu merajut sinergi antara keberanian dalam bertindak dan kearifan dalam bermusyawarah. Melibatkan DPRD, ormas Islam dan non-Islam, ulama, budayawan, tokoh adat, serta masyarakat luas adalah bentuk ketaatan pada ajaran agama, pelestarian budaya leluhur, dan praktik demokrasi yang beradab.
Mari kita rawat tradisi musyawarah sebagai jantung kepemimpinan. Sebab seperti pesan leluhur Sunda:
"Nu ngajadi nagara téh lain nu loba kawasa, tapi nu bisa ngahiji jeung rasa rahayatna."
(Yang membangun negara bukan yang paling berkuasa, tapi yang bisa menyatu dengan perasaan rakyatnya.)
Penulis adalah Pengurus PWNU Jawa Barat
Terpopuler
1
Pesantren Babakan Ciwaringin Angkat Suara, Soroti Sejumlah Kebijakan Dedi Mulyadi
2
Hilal Terlihat, LF PBNU Umumkan Awal Shafar 1447 H Jatuh pada Sabtu 26 Juli 2025
3
NU Care LAZISNU dan Fatayat NU Kedokanbunder Jalin Silaturahmi ke Radar Indramayu
4
Peluncuran Koperasi Merah Putih: Solusi Nyata atau Sekadar Simbol Pembangunan?
5
Ratusan Jamaah Padati Masjid PWNU, Ikuti Gelaran Halaqah JATMAN Jawa Barat
6
Sambangi PWNU Jabar, PCNU Cianjur Bahas Penguatan Kelembagaan hingga Program Keumatan
Terkini
Lihat Semua