Opini

Di Balik Angka Pengangguran Tinggi: Apakah Pendidikan Indonesia Siap Menghadapi Era Industri 4.0?

Sabtu, 26 Juli 2025 | 08:30 WIB

Di Balik Angka Pengangguran Tinggi: Apakah Pendidikan Indonesia Siap Menghadapi Era Industri 4.0?

Di Balik Angka Pengangguran Tinggi: Apakah Pendidikan Indonesia Siap Menghadapi Era Industri 4.0? (Ilustrasi: Freepik).

Menteri Energi dan Sumber Daya Mineral RI, Bahlil Lahadalia menyampaikan bahwa dirinya khawatir jika universitas atau perguruan tinggi akan menjadi pabrik pencetak pengangguran intelektual di Indonesia. Menurutnya, rasa was-was ini bisa terjadi apabila tidak ada lapangan kerja yang disiapkan untuk mahasiswa yang lulus dari perguruan tinggi.


Hal tersebut disampaikan oleh Bahlil pada saat menjadi pembicara dalam Sidang Senat Terbuka Wisuda ke-54 PEM AKAMIGAS, Kamis, 17 Juli 2025.


Apa yang disampaikan oleh Menteri ESDM ini seolah membuka kembali memori kejadian chaos atau kericuhan yang terjadi di acara Job Fair yang diadakan di Gedung Convention Center Presiden University, Jababeka, Cikarang Utara, pada Selasa, 27 Mei 2025 lalu. Kericuhan ini disebabkan oleh membludaknya jumlah pencari kerja yang ingin menghadiri job fair tersebut, sementara lowongan pekerjaan yang tersedia terbatas.


Data Badan Pusat Statistik (BPS) menyebutkan bahwa per Februari tahun 2025, angka pengangguran di Indonesia 7,28 juta orang. Data ini adalah angka pengangguran yang dimaksud yakni penduduk usia 15 tahun ke atas yang tidak bekerja namun sedang mencari pekerjaan; mempersiapkan usaha baru; sudah diterima bekerja/sudah siap berusaha tetapi belum mulai bekerja/berusaha; atau merasa tidak mungkin mendapatkan pekerjaan (putus asa). Atau jika di prosentasekan adalah sekitar 4,86%, atau meningkat 1,11% dibanding periode yang sama yakni Februari tahun 2024.


Sementara itu, Kementerian Ketenagakerjaan (Kemnaker) RI mencatatkan jumlah angka PHK sepanjang tahun 2025 sampai bulan Juni mencapai 42.385 pekerja. Angka ini naik sekitar 32,19% dari periode yang sama di tahun lalu yakni sebanyak 32.064 pekerja. Sementara data berbeda disampaikan oleh Asosiasi Pengusaha Indonesia (Apindo), yang mencatat angka PHK yang jauh lebih tinggi, yakni sekitar 73.992 kasus per 10 Maret 2025. 


Tingginya angka pengangguran dan fenomena PHK yang memiliki tren meningkat dari waktu ke waktu, sekaligus mengambarkan bagaimana sulitnya mencari pekerjaan di Indonesia saat ini. Bahkan banyak ditemukan kasus tenaga kerja lulusan pendidikan tinggi,  seperti diploma dan sarjana yang terpaksa menjadi menjadi pembantu rumah tangga, pengasuh anak, sopir, bahkan office boy


Kondisi demikian, bisa jadi yang mendasari pernyataan Menteri Perlindungan Pekerja Migran Indonesia (P2MI) Abdul Kadir Karding, yang menyarankan agar masyarakat untuk bekerja di luar negeri. Hal ini disampaikannya saat menghadiri peresmian Migrant Center di Gedung Prof. Soedarto, Universitas Diponegoro (Undip), Semarang beberapa waktu lalu.


Disrupsi Ekonomi


Sekira tahun 2020, dunia dihebohkan dengan sistem ekonomi baru yang dikenal istilah disrupsi ekonomi. Sistem ini mengenalkan adanya perubahan fundamental dan signifikan dalam struktur ekonomi akibat perkembangan tekhnologi informasi yang sedemikian cepat, inovasi teknologi yang melebihi kemampuan berpikir manusia. Sebuah sistem yang diperkenalkan akan mampu mengubah cara produksi, distribusi, dan konsumsi barang dan jasa yang disebut-sebuh akan sangat ekonomis alias menekan biaya pokok produksi, serta akan menemukan keseimbangan baru di pasar ekonomi dunia. Era disrupsi ekonomi ditandai dengan munculnya beragam model bisnis baru, pergeseran dalam industri, dan perubahan perilaku konsumen.


Revolusi industri 4.0 disebut-sebut sebagai sebuah pendekatan atau metode untuk menyongsong era disrupsi ekonomi. Revolusi Industri 4.0, yang menekankan adanya kemajuan teknologi seperti Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi secara massif diperkenalkan dan diajarkan diberbagai belahan dunia.


Pemerintah Indonesia, dengan leading sektor Kementerian Perindustrian meluncurkan kabijakan "Making Indonesia 4.0", yang peluncurannya dipimpin langsung oleh Presden Joko Widodo waktu itu. Making Indonesia 4.0 merupakan program pemerintah dalam menyiapkan Indonesia untuk menghadapi era industri digital 4.0 yang difokuskan pada 7 sektor industri yakni makanan-minuman, tekstil, otomotif, kimia, elektronik, alat kesehatan dan farmasi yang menyumbang 70% PDB industri, 65% ekspor industri, dan 60% tenaga kerja industri Indonesia.


Bahkan untuk memperluas cakupan Making Indonesia 4.0, pemerintah menuangkannya dalam Peraturan Presiden (PP) No. 18 Tahun 2020 tentang Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) Tahun 2020-2024. Di dalamnya terdapat rencana pengembangan Industri 4.0 untuk 5 sub sektor prioritas dengan target di 2024 yaitu jumlah perusahaan dengan nilai INDI 4.0 lebih dari 3.0 menjadi 60 perusahaan, dengan pertumbuhan PDB industri pengolahan menjadi 8,1% dan kontribusinya ke PDB 21,0%.


Salah satu dampak positif langsung dari distrupsi ekonomi adalah meningkatnya transaksi digital di Indonesia. Data Bank Indonesia (BI) mencatat bahwa pada Januari 2025 nilai pembayaran digital sudah mencapai 3,5 miliar transaksi atau tumbuh 35,3% (yoy) yang didukung oleh seluruh komponennya. Volume transaksi pada aplikasi mobile dan volume transaksi pada internet juga terus meningkat, dimana masing-masing tumbuh sebesar 29,7% (yoy) dan 19,8% (yoy). Volume transaksi pembayaran digital melalui QRIS tetap tumbuh pesat sebesar 170,1% (yoy) didukung peningkatan jumlah pengguna dan merchant.


Dari sisi infrastruktur, volume transaksi ritel yang diproses melalui BI-FAST mencapai 338,5 juta transaksi atau tumbuh 41,5% (yoy) dengan nilai mencapai Rp870,9 triliun pada Januari 2025. Adapun volume transaksi nilai besar yang diproses melalui BI-RTGS turun sebesar 9,0% (yoy) menjadi 799,3 ribu transaksi dengan nilai Rp15.880 triliun pada Januari 2025.


Bugble Disrupsi Ekonomi


Selain dampak positif, disadari atau tidak disadari disrupsi dan revolusi industri juga berdampak negatif secara langsung. Keseimbangan baru pasar akibat pemberlakukan revolusi industri 4.0 melalui penerapan Internet of Things (IoT), kecerdasan buatan (AI), big data, dan otomatisasi, telah mendorong para raksasa industri untuk menguasasi pasar di Indonesia. 


Hal ini juga sesuai dengan kaidah dan prinsip-prinsip pasar bebas, dimana dalam sebuah kompetisi pasar akan membentuk keseimbangan baru sebagai mana teori Leon Walras, yang menyebutkan bahwa keseimbangan pasar atau market equilibrium merupakan sebuah kondisi sistem ekonomi ketika terjadi keseimbangan permintaan maupun penawaran antara jumlah produk atau jasa, pada harga tertentu. Dengan kata lain, keseimbangan pasar atau market equilibrium merupakan kestabilan yang terjadi antara harga yang ditawarkan produsen dan produk yang diminta konsumen. Jika keseimbangan dalam pasar telah tercapai, semua harga akan cenderung stabil.


Keseimbangan baru dalam disrupsi ekonomi ditandai dengan perubahan perilaku konsumen, perubahan harga, serta revolusi industri (IoT, AI, big data, otomatisasi) sebagai faktor produksi secara langsung berdampak pada:


Pertama, runtuhnya industri dan perusahaan menengah karena kalah dalam kompetisi. Kekalahan dalam kompetisi ini disebabkan mereka belum atau tidak siap dengan perubahan faktor produksi dan tidak bisa mengikuti perubahan perilaku konsumen. Akibatnya perusahaan dan industri skala menengah dan kecil banyak yang gulung tikar karena tidak mampu berkompetisi dengan raksasa industri yang tentunya jauh lebih siap menyongsong era disrupsi dan revolusi industri 4.0, sehingga berdampak langsung pada PHK.


Sebagai contoh nyata, tutupnya beberapa industri keuangan di Indonesia khsusunya di sektor pasar modal. Tercatat beberapa perusahaan keuangan gulung tikar dan hengkang dari Indonesia. Mulai dari Schrodes, PT Citigroup Sekuritas Indonesia (CSI), PT Morgan Stanley Sekuritas Indonesia (asal Amerika Serikat/AS), (PT Merrill Lynch Sekuritas Indonesia (asal AS), PT Deutsche Sekuritas Indonesia (asal Jerman), PT Nomura Sekuritas Indonesia (asal Jepang), dan PT Credit Suisse Sekuritas Indonesia. Selain itu, ada beberapa bank asing yang secara resmi juga sudah meningglkan Indonesia. Mereka diantaranya adalah Citibank, NA, Standard Chartered, dan Commonwealth Bank, dimana mereka telah menjual dan mengalihkan bisnis costumer banking-nya kepada bank-bank lain.


Kedua, lembaga pendidikan mulai dari sekolah sampai dengan perguruan tinggi juga cenderung gagap, dalam merespon disrupsi dan revolusi industri 4.0. Hal ini terlihat dengan tidak adanya perubahan signifikan dalam kurikulum pendidikan berbasis kompetensi yang mengarah pada kompetensi di era disrupsi dan revolusi industri 4.0. Akibatnya para lulusan sekolah dan perguruan tinggi sulit terserap oleh pasar tenaga kerja, yang saat ini menghendaki kompetensi baru terkait dengan penguasaan skill di era disrupsi dan revolusi industri 4.0. Dampak nyatanya tentu angka pengangguran yang akan terus meningkat, seriing dengan berkurangnya lapangan kerja akibat tutupnya industri kelas menengan dan kecil, serta tidak adanya kompetensi lulusan yang linier dengan kebutuhan industri di era disrupsi dan revolusi industri 4.0.


Dari dua hal tersebut di atas, mengambarkan bahwa Indonesia belum sepenuhnya siap dengan penerapan disrupsi dan revolusi industrii 4.0 disemua sektor kehidupan masyarakatnya. Ini juga tergambar dari nilai Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) yang memiliki kesejangan atau disparitas yang sangat tinggi. 


DKI Jakarta menjadi provinsi dengan nilai Indeks Pembangunan Teknologi Informasi dan Komunikasi (TIK) tertinggi di Indonesia, yaitu sebesar 7,73 pada tahun 2023. Sementara itu, provinsi dengan Indeks Pembangunan TIK terendah adalah Papua, yaitu sebesar 3,44 pada tahun 2023. Sementara nilai Indeks Pembangunan TIK tahun 2023 oleh ITU (International Telecommunication Union), dari skala 0-100 nilai Indonesia untuk Indeks Pembangunan TIK 2021 sebesar 80,1 (peringkat 80 dari 169 negara) dan Indeks Pembangunan TIK 2022 sebesar 82,8 (peringkat 82 dari 170 negara). Di antara negara-negara ASEAN, posisi Indonesia cukup moderat. Singapura, Brunei Darussalam, Malaysia, Thailand, dan Vietnam memiliki Indeks Pembangunan TIK yang lebih unggul (BPS, 2023).


Hal inilah yang menjadi PR besar bagi pemerintahan Prabowo-Gibran untuk mencari solusi paradigmatic terkait dengan fenomena pengangguran, PHK dan sulitnya mencari pekerjaan di Indionesia. Berbagai kebijakan pemerintah, mulai dari program Makan Bergizi Gratis (MBG), Koperasi Desa/Kelurahan Merah Putih, hilirisasi, hingga proyek-proyek investasi Danantara memang tidak sepenuhnya salah. Namun sepertinya kebijakan ini hanya bersifat jangka pendek untuk menjaga daya beli dan stabilitas ekonomi saja. Bagaimanapun kebijakan dan program ini sepertinya masih belum mampu menyentuh persoalan mendasar dan paradigmatik dari akar penyebab meningkatnya pengangguran, PHK dan sulitnya mencari kerja di Indonesia saat ini.


Sehingga dibutuhkan kebijakan dan langkah-langkah radikal dan berani dari pemerintah untuk membangun kesiapan paradigma, insfrastruktur, sistem ekonomi, dan tata kelola ekonomi masyarakat di era disrupsi dan revolusi industri 4.0. Kebijakan dan langkah radikal ini penting sekaligus dalam rangka melakukan perlindungan terhadap industri menengah dan kecil, ditengah-tengah keseimbangan baru pasar sebagaimana yang sudah dijelaskan tersebut di atas. Langkah ini menjadi penting untuk menyelamatkan ekonomi Indonesia dalam jangka panjang.


Dr Eko Setiobudi, SE, ME, Ketua National Industrial Watch (NIW) dan Ketua Tanfidziyah Ranting NU Desa Limusnunggal, Kecamatan Cileungsi, Kabupaten Bogor