Opini

Indonesia Tanpa Pendidikan Swasta Ibarat Gurun yang Kosong

Sabtu, 19 Juli 2025 | 11:34 WIB

Indonesia Tanpa Pendidikan Swasta Ibarat Gurun yang Kosong

Ilustrasi. (Foto: NU Online/freepik)

Oleh Supendi Samian

Pendidikan merupakan fondasi utama dalam membentuk karakter, wawasan, dan kemajuan suatu bangsa. Di tengah keterbatasan akses dan ketidakadilan kolonial dalam sistem pendidikan sebelum kemerdekaan, hadirnya lembaga-lembaga pendidikan swasta — terutama yang berbasis keagamaan, kultural, dan kebangsaan — menjadi cahaya harapan bagi rakyat Indonesia.

 

Lembaga pendidikan swasta telah lahir jauh sebelum Indonesia merdeka, berdiri atas dasar keprihatinan, semangat kemandirian, dan panggilan moral dari para tokoh bangsa dan ulama. Mereka mendirikan sekolah bukan untuk mencari keuntungan, melainkan sebagai bentuk perjuangan dan pengabdian kepada bangsa dan agama.

 

1. Lahirnya Pendidikan Swasta Sebelum Kemerdekaan

Beberapa contoh nyata:

 

Taman Siswa (1922) didirikan oleh Ki Hajar Dewantara, merupakan sekolah swasta yang bertujuan mendidik kaum pribumi agar mampu berpikir merdeka dan mencintai bangsanya.

 

Muhammadiyah (1912) mendirikan berbagai sekolah modern berbasis Islam untuk mencerdaskan umat dan melawan kebodohan serta keterbelakangan.

 

Pondok Pesantren — sudah ada sejak abad ke-18 hingga ke-19, menjadi tempat pendidikan keislaman dan perjuangan, seperti Pondok Pesantren Tebuireng (1899) oleh Hadratussyaikh Hasyim Asy’ari yang melahirkan ulama dan pejuang bangsa.

 

Katolik dan Kristen — seperti Zending, juga membuka sekolah-sekolah swasta di berbagai daerah, terutama di Indonesia Timur.

 

Semua lembaga ini hadir tanpa subsidi negara, murni atas dasar keikhlasan dan keinginan untuk membebaskan rakyat dari kebodohan dan penindasan.

 

2. Perjuangan Tulus dan Mandiri

Lembaga pendidikan swasta membiayai operasional sekolah melalui:

 
  • Gotong royong masyarakat
  • Donasi para tokoh
  • Wakaf dan dana umat
  • Dedikasi para guru dan pengelola tanpa pamrih
 

"Sekolah-sekolah swasta itu ibarat sumur di tengah padang tandus, menjadi sumber ilmu dan harapan saat negeri ini belum memiliki sistem pendidikan yang adil.”

 

3. Kontribusi Strategis dalam Kemerdekaan

Para lulusan lembaga pendidikan swasta menjadi tokoh nasional, pejuang kemerdekaan, dan pendidik yang menyebarkan semangat cinta tanah air, seperti:

 
  • Ki Hajar Dewantara​​​​​​​
  • KH. Ahmad Dahlan​​​​​​​
  • KH. Hasyim Asy’ari​​​​​​​
  • KH. Wahid Hasyim
 

...dan ribuan tokoh lokal lainnya.

Mereka mencetak generasi yang tangguh, berpikir merdeka, dan mampu membela tanah air secara moral maupun fisik.

 

Indonesia Tanpa Sekolah Swasta: Ibarat Gurun yang Kosong

Pendidikan hanya milik penjajah dan elite

 

Rakyat tetap dalam kebodohan

 

Tidak akan lahir generasi pejuang dan pemikir bangsa

 

Kehampaan nilai moral dan spiritual

 

"Ibarat gurun yang kosong, tanpa air, tanpa pohon peneduh, tanpa kehidupan — begitulah Indonesia tanpa sekolah swasta."

 

Pendidikan swasta telah terbukti menjadi tulang punggung dalam sejarah pendidikan Indonesia, terutama di masa-masa sulit saat negara belum hadir secara sistematis. Namun ironisnya, dalam era modern, terdapat kecenderungan kebijakan yang justru melemahkan eksistensi dan peran strategis sekolah swasta. Salah satu contohnya adalah penerapan sistem zonasi, yang sering kali memusatkan siswa ke sekolah negeri tanpa mempertimbangkan kapasitas, persebaran, dan keberadaan sekolah swasta di sekitarnya.

 

Menurut Prof. Dr. Darmaningtyas, pakar kebijakan pendidikan dari INDEF dan Yayasan Taman Siswa:

 

"Sistem zonasi jika tidak dikaji secara kontekstual, bisa menjadi bentuk diskriminasi kebijakan terhadap pendidikan swasta. Negara semestinya adil, tidak boleh membiarkan sekolah negeri tumbuh dengan menenggelamkan sekolah swasta.”

 

Banyak sekolah negeri menerima siswa sebanyak-banyaknya, bahkan melampaui kapasitas, hanya karena dorongan memenuhi kuota zonasi. Akibatnya, sekolah swasta — terutama yang kecil dan telah berdiri puluhan tahun melayani daerah terpencil — kehilangan peserta didik dan mengalami penurunan kualitas serta keberlangsungan.

 

Dr. Doni Koesoema, M.Ed., tokoh pendidikan karakter Indonesia, juga mengingatkan bahwa:

 

"Sekolah swasta harus dilihat sebagai mitra negara, bukan pesaing. Mereka punya sejarah panjang melayani bangsa, dan sudah sepatutnya mendapat dukungan anggaran dan kebijakan afirmatif, bukan justru dimatikan secara perlahan oleh kebijakan sektoral."

 

Kenyataannya, di banyak wilayah pedesaan dan pelosok, sekolah negeri jenjang SMP dan SMA belum hadir merata. Justru sekolah-sekolah swastalah — baik berbasis agama, pesantren, maupun lokal — yang selama ini menjadi garda terdepan pendidikan rakyat. Oleh karena itu, jika negara ingin mewujudkan visi Indonesia Emas 2045 yang unggul dalam SDM, maka penguatan sekolah swasta harus menjadi prioritas nasional.

 

Keadilan dan Kewajiban Negara:

1. Realisasi Anggaran Afirmasi untuk Sekolah Swasta

Sejalan dengan amanat Pasal 31 UUD 1945, negara berkewajiban membiayai dan mendukung semua bentuk pendidikan tanpa diskriminasi.

 

Skema anggaran BOS dan BOP harus ditingkatkan dan dipermudah bagi sekolah swasta, terutama yang berada di daerah 3T (terdepan, terluar, tertinggal).

 

2. Revisi Implementasi Sistem Zonasi

Sistem zonasi seharusnya mendorong keadilan akses, bukan sentralisasi siswa ke sekolah negeri.

 

Zonasi perlu memperhatikan keberadaan sekolah swasta di sekitar zona dan memberi opsi pilihan kepada masyarakat.

 

3. Kolaborasi Bukan Kompetisi

Sekolah negeri dan swasta harus didorong untuk berkolaborasi dalam pengembangan mutu, bukan saling mematikan.

 

Negara perlu menjadikan sekolah swasta sebagai partner resmi dalam penyusunan kebijakan pendidikan lokal dan nasional.

 

4. Pemetaan Pendidikan Desa dan Wilayah

Dalam banyak desa, terutama di luar Jawa, keberadaan sekolah negeri sangat minim, sementara sekolah swastalah yang terus bertahan.

 

Pembangunan pendidikan nasional harus berbasis data spasial dan sosial, bukan sekadar kuota dan zonasi.

 

Bangsa yang besar adalah bangsa yang menghargai jasa para pendidik dan lembaga-lembaga pendidikan yang telah berjuang sebelum negara berdiri. Sekolah swasta tidak hanya berjasa di masa lalu, tapi juga sangat relevan dalam membentuk SDM unggul masa depan. Maka dari itu, tanpa dukungan dan keberpihakan nyata dari negara, sekolah swasta bisa redup — dan itu berarti masa depan bangsa pun akan kehilangan fondasi yang kuat.

 

Sebagaimana disampaikan KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur):

 

"Membangun peradaban bangsa itu tidak cukup hanya dengan negara, tapi dengan masyarakat yang sadar, termasuk melalui pendidikan swasta."

 

Negara tidak boleh membiarkan ketimpangan ini terus berlanjut. Menuju Indonesia Emas 2045, tidak boleh ada dikotomi antara negeri dan swasta. Yang ada adalah kebersamaan membangun peradaban dan kemanusiaan.

 

Pendidikan swasta di Indonesia bukanlah entitas pelengkap dari sistem pendidikan nasional, tetapi justru merupakan pilar awal dan utama dalam membentuk kesadaran kebangsaan, membangun kemandirian intelektual, serta menanamkan nilai-nilai keimanan, kebangsaan, dan perjuangan. Sejarah mencatat bahwa sebelum bangsa ini merdeka secara politik, masyarakat Indonesia telah lebih dahulu merdeka secara pikiran dan akhlak melalui lembaga-lembaga pendidikan swasta.

 

Sekolah-sekolah seperti Taman Siswa (1922) yang diprakarsai oleh Ki Hajar Dewantara, sekolah-sekolah Muhammadiyah (sejak 1912) oleh KH. Ahmad Dahlan, dan pondok pesantren-pesantren seperti Tebuireng (1899) oleh KH. Hasyim Asy’ari, adalah contoh konkret pendidikan swasta yang berlandaskan nilai perjuangan dan ketulusan. Mereka mendidik anak bangsa bukan hanya untuk pintar, tetapi untuk menjadi manusia merdeka yang bertanggung jawab terhadap nasib bangsanya.

 

Prof. Dr. H.A.R. Tilaar, tokoh pendidikan nasional, menekankan bahwa:

 

"Pendidikan swasta memainkan peran strategis dalam pluralitas sistem pendidikan Indonesia. Ia fleksibel, adaptif, dan sering kali menjadi lebih responsif terhadap kebutuhan lokal dibandingkan pendidikan negeri.”

 

Penting juga ditegaskan oleh Dr. Bambang Soegeng, M.Ed., bahwa:

 

"Kelembagaan pendidikan swasta di Indonesia adalah bukti nyata bagaimana masyarakat sipil mampu mengorganisasi pendidikan secara mandiri, jauh sebelum negara hadir secara sistematis.”

 

Di sisi lain, menurut Prof. Dr. Anies Baswedan (mantan Mendikbud RI):

 

"Pendidikan swasta adalah bagian tak terpisahkan dari narasi besar kemerdekaan. Mereka mendidik, bahkan ketika negara belum ada; mereka mencerdaskan, bahkan tanpa anggaran dari negara."

 

Tanpa kehadiran pendidikan swasta, perjalanan bangsa Indonesia dalam membangun sumber daya manusia akan mengalami kekosongan ideologis dan keterlambatan dalam mencetak generasi berkarakter. Pendidikan swasta bukan hanya menyuplai alternatif, tetapi memberikan corak, jiwa, dan arah yang khas dalam perjalanan bangsa. Oleh karena itu, negara wajib memberikan pengakuan, dukungan, dan perlindungan yang adil terhadap pendidikan swasta sebagai mitra strategis dalam mencerdaskan kehidupan bangsa, sebagaimana tercantum dalam Pasal 31 UUD 1945 yang menjamin hak setiap warga negara untuk mendapatkan pendidikan.

 

Akhirnya, Indonesia tanpa pendidikan swasta ibarat gurun yang kosong — gersang dari nilai, sepi dari keberagaman, dan hampa dari semangat perjuangan. Maka, menguatkan pendidikan swasta berarti merawat akar sejarah dan menyuburkan masa depan bangsa.

 

Penulis adalah Ketua STIDKI NU Indramayu