Farah Anton menggambarkan situasi dunia Islam abad pertengahan seperti ini :
Di Andalusia, Spanyol, di bawah pemerintahan Islam, bangsa Yahudi, Nasrani dan kaum muslimin saling bekerjasama mengembangkan ilmu pengetahuan, filsafat (hikmah) dan politik kemanusiaan. Mereka acap berdiskusi bersama untuk memberikan pencerahan cahaya filsafat (hikmah) dan teologi di bawah satu atap dan tanpa sekat-sekat primordial.
Toleransi antara pemeluk agama berkembang dengan sangat menakjubkan. Mereka bekerja bersama untuk membangun dan memajukan peradaban yang didasarkan atas prinsip-prinsip kemanusiaan. (Farah Anton, Ibn Rusyd Wa Falsafatuh, 58-59).
Di Baghdad, Khalif Al-Makmun (w. 833 M), dengan gairah yang meluap-luap mengembangkan filsafat Yunani. Terutama Aristotelianisme.
Dalam sebuah kesempatan ia mengatakan : “Para bijakbestari (filsuf dan sufi-falsafi) adalah manusia pilihan Tuhan, karena mereka mengerahkan seluruh hidupnya untuk memeroleh keutamaan-keutamaan jiwa dan menghidupkan akal pikiran atau intelektualitas manusia. Mereka adalah lampu-lampu dunia yang meletakkan dasar-dasar etika kemanusiaan. Andaikata mereka tidak hadir, dunia manusia berada dalam kegelapan dan kehancuran”. (Ibid, hlm. 220).
Dalam kerangka itu pula Al-Makmun, putra keturunan ibu asal Persia itu, mengerahkan para sarjana Nestorian dari Siria untuk menerjemahkan buku-buku para filsuf Yunani, terutama karya-karya Platon dan Aristoteles ke dalam bahasa Arab, lalu mendirikan perpustakaan yang dinamakan “Bait al-Hikmah”, (Rumah Kebijaksanaan). Ini sebuah perpustakaan terbesar di dunia kala itu. (Farah Anton, Ibn Rusyd Wa Falsafatuh, 58-59).
Tak lama sesudah itu sejumlah filsuf muslim dan para sufi awal memperkenalkan ke dalam dunia muslim lebih luas pikiran-pikiran dua filsuf terbesar Yunani di atas melalui filsuf Plotinus dan ajarannya: Neoplatonisme. Khususnya pemikiran Platon.
Mereka antara lain Dzunnun al-Misri (796-856 M), Abu Yazid al-Bisthami (w. 875 M), Husein Manshur al-Hallaj (w. 922 M), Abu Nashr al-Farabi (870-950 M), Ibnu Sina (w. 1037 M), Abu Hamid Al-Ghazali (w. 1111 M), Abd al-Qadir al-Jilani (w. 1166 M), Ibnu Rusyd al-Hafid (w. 1198 M), Al-Atthar (1221 M), Muhyiddin Ibn Arabi (1240 M), Jalal al-Din Rumi (w. 1273), Abd al-Karim al-Jili, Omar al- Khayyam (w.1131 M), Sa'di Syirazi ( w. 1291 M), Hafiz Syirazi (1390 M) untuk menyebut beberapa saja.
Syams al-Din Muhammad al-Syahrzuri (w. 1288 M), pada pendahuluan bukunya “Nuzhah al-Arwah wa Raudhah al-Afrah fi Tarikh al-Hukama wa al-Falasifah”, memberi saya pengetahuan ketika ia mengatakan :
“Zaman telah sepi dari kehadiran para bijakbestari seperti di atas itu. Umat manusia diliputi ketidakmengertian dan kebingungan. Maka bila engkau seorang terpelajar (intelektual) yang rajin dan pemikir yang memperoleh petunjuk Tuhan, seyogyanya mengikuti jejak mereka dan mencari-cari dengan serius kabar mereka”. (hlm. 3).
KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU
Terpopuler
1
DPR RI Setujui Usulan Kemenag soal Tambahan Anggaran untuk BOS Madrasah dan Tunjangan Profesi Guru
2
Dikukuhkan Rais 'Aam PBNU, Inilah Susunan Struktur Idaroh Aliyah JATMAN 2025-2030
3
Ketika 14 Siswa Tak Diakui Negara: Kebijakan Tambah Rombel 50 Siswa Mengandung Bom Waktu
4
Khutbah Jumat Singkat: Manfaatkan Sisa Umur dengan Melakukan Hal yang Bermanfaat
5
Pererat Ukhuwah, PCNU Kabupaten Bogor Gelar Istighotsah dan Silaturahmi Pendekar Pagar Nusa
6
Aklamasi, Nyai Hj Minyatul Ummah Terpilih Pimpin Fatayat NU Jawa Barat 2025–2030
Terkini
Lihat Semua