Di tengah kehidupan modern yang semakin materialistis, banyak orang menyamakan semua bentuk harta sebagai rezeki, tanpa memedulikan cara memperolehnya. Uang hasil korupsi, penipuan, suap, atau bentuk kezaliman lainnya sering dianggap sebagai berkah, bahkan digunakan untuk sedekah dan ibadah.
Padahal, menurut ajaran agama Islam, harta yang diperoleh dari cara haram tidak hanya tidak berpahala ketika dibelanjakan untuk ibadah, tetapi justru bisa mendatangkan dosa. Fenomena ini menunjukkan adanya kekeliruan dalam memahami hakikat rezeki.
Islam mengajarkan bahwa Allah SWT telah menjamin rezeki setiap makhluk yang ada di bumi, sebagaimana ditegaskan dalam Al-Qur’an:
وَمَا مِن دَابَّةٍ فِي الْأَرْضِ إِلَّا عَلَى اللَّهِ رِزْقُهَا وَيَعْلَمُ مُسْتَقَرَّهَا وَمُسْتَوْدَعَهَا كُلٌّ فِي كِتَابٍ مُّبِينٍ
Artinya: "Tidak satu pun hewan yang bergerak di atas bumi melainkan dijamin rezekinya oleh Allah. Dia mengetahui tempat kediamannya dan tempat penyimpanannya. Semua (tertulis) dalam Kitab yang nyata (Lauh Mahfuz)". (QS Hud: 6).
Menurut Syekh Wahbah Az-Zuhaili, ayat ini menunjukkan bahwa menjamin rezeki bagi seluruh makhluk merupakan tanggung jawab Allah. Namun, rezeki itu disediakan bagi makhluk yang mau bergerak atau bekerja untuk meraihnya. (At-Tafsirul Munir, jilid XII, hal. 20).
Nabi Muhammad SAW juga menegaskan bahwa rezeki manusia telah ditetapkan sejak dalam kandungan, sebagaimana dikutip oleh Imam An-Nawawi:
وَذَلِكَ عَقِبَ الْأَرْبَعِينَ الْأُولَى وَحِينَئِذٍ يَكْتُبُ رِزْقَهُ وَأَجَلَهُ وَعَمَلَهُ وَشَقَاوَتَهُ أَوْ سَعَادَتَهُ
Artinya: "Dan itu (terjadi) setelah empat puluh (hari) pertama. Pada saat itu (malaikat) menulis rezekinya, ajalnya, amalnya dan celaka atau beruntungnya". (Al-Minhaj Syarah Shahih Muslim bin Al-Hajjaj, jilid XVI, hal. 190).
Artinya, siapapun yang mau bekerja akan mendapatkan rezeki, besar maupun kecil. Hal ini penting disadari, termasuk oleh para pejabat publik yang sudah memiliki penghasilan tetap, sehingga tidak perlu menambah harta dengan cara yang haram.
Namun demikian, tidak semua rezeki bernilai sama. Bagi seorang muslim, rezeki harus dipastikan kehalalannya, baik dari sisi zat maupun cara memperolehnya. Islam tidak hanya mendorong umatnya untuk bekerja, tapi juga menekankan pentingnya mencari nafkah yang halal, sebagaimana tercantum dalam surat Al-Mulk ayat 15:
هُوَ الَّذِي جَعَلَ لَكُمُ الْأَرْضَ ذَلُولًا فَامْشُوا فِي مَنَاكِبِهَا وَكُلُوا مِن رِزْقِهِ وَإِلَيْهِ النُّشُورُ
Artinya: "Dialah yang menjadikan bumi untuk kamu dalam keadaan mudah dimanfaatkan. Maka, jelajahilah segala penjurunya dan makanlah sebagian dari rezeki-Nya. Hanya kepada-Nya kamu (kembali setelah) dibangkitkan".
Ibnu Katsir menafsirkan ayat ini sebagai anjuran untuk berusaha mencari makanan halal meskipun harus menjelajah ke tempat-tempat yang jauh. (Tafsir Al-Qur’an Al-Adhim, jilid VIII, hal. 199)
Sebaliknya, Islam juga memberikan peringatan keras terhadap pencarian rezeki dengan cara yang haram. Al-Baghawi dalam menafsirkan surat As-Shaffat ayat 24 mengutip sabda Nabi SAW:
لَا تَزُولُ قَدَمَا ابْنِ آدَمَ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعَةِ أَشْيَاءَ : عَنْ شَبَابِهِ فِيمَا أَبْلَاهُ، وَعَنْ عُمُرِهِ فِيمَا أَفْنَاهُ، وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيمَ أَنْفَقَهُ، وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ بِهِ
Artinya: "Dua telapak kaki anak Adam tidak bisa bergeser pada hari kiamat hingga ia ditanya tentang empat hal, yaitu tentang masa mudanya untuk apa saja ia lalui, tentang umurnya untuk apa saja ia habiskan, tentang hartanya dari mana diperoleh dan dibelanjakan, serta tentang ilmunya apa yang telah dia perbuat dengan ilmunya". (Tafsir Al-Baghawi, jilid IV, hal. 29).
Harta haram, meski digunakan untuk ibadah seperti umrah atau sedekah, tetap tidak diterima oleh Allah SWT. Muhammad bin Abdullah Al-Jardani menukil hadits riwayat Muslim dari Abu Hurairah RA:
إِنَّ اللَّهَ طَيِّبٌ لَا يَقْبَلُ إِلَّا طَيِّبًا
Artinya: "Sesungguhnya Allah itu Maha Baik dan tidak menerima kecuali sesuatu yang baik."
Ia juga mengutip hadits lain:
مَنْ كَسَبَ مَالاً حَرَامًا فَتَصَدَّقَ بِهِ لَمْ يَكُنْ لَهُ فِيْهِ أَجْرٌ وَكَانَ إِثْمُهُ عَلَيْهِ
Artinya: "Siapapun yang memperoleh harta haram, kemudian ia sedekahkan, maka tidak ada pahala baginya. Dan (bahkan) dosa atasnya"
Sufyan Ats-Tsauri menegaskan, membelanjakan harta haram untuk taat kepada Allah diibaratkan seperti mencuci pakaian dengan air kencing. (Al-Jawahirul Lu’luiyah Fi Syarhil Arbain An-Nawawiyah, hal. 109)
Ancaman paling berat pun dijelaskan dalam hadits Nabi SAW berikut:
لَا يَدْخُلُ الْجَنَّةَ لَحْمٌ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ، وَكُلُّ لَحْمٍ نَبَتَ مِنْ سُحْتٍ فَالنَّارُ أَوْلَى بِهِ
Artinya: "Daging yang tumbuh dari harta haram tidak akan masuk surga. Dan setiap daging yang tumbuh dari harta haram, maka neraka lebih utama dengannya". (Al-Mu’jam Al-Awsath, jilid VII, hal. 378).
Pada akhirnya, seorang muslim harus meyakini bahwa rezeki telah dijamin oleh Allah SWT. Tinggal manusia yang memilih cara untuk meraihnya, apakah dengan jalan halal yang diridhai, atau dengan jalan haram yang berujung murka. Sebab, setiap rezeki akan dipertanggungjawabkan, bukan hanya nilainya, tetapi juga asal-usulnya.
Tulisan ini dikutip dari artikel Muhammad Tantowi, sebagaimana dimuat di NU Online.
Terpopuler
1
Dua Doorprize Umrah Meriahkan Manasik Haji II Muslimat NU Kabupaten Bandung
2
6.000 Jamaah Ikuti Manasik Haji Akbar Muslimat NU Kabupaten Bandung
3
Wamenag: Urusan Haji Bukan Lagi Tugas Kemenag, Kini Fokus pada Layanan Keagamaan dan Pendidikan
4
GP Ansor Harap Musda KNPI Depok Jadi Titik Balik Gerakan Pemuda
5
DKM Nurul Hidayah Salurkan Beasiswa untuk Siswa RT 11 dan 12 Bojonggede
6
LPBINU Bandung Sosialisasikan Literasi Bencana untuk Penyandang Disabilitas
Terkini
Lihat Semua