Hikmah

Menyadari Hakikat Harta dalam Islam dan Mengelolanya dengan Bijak

Jumat, 8 Agustus 2025 | 16:00 WIB

Menyadari Hakikat Harta dalam Islam dan Mengelolanya dengan Bijak

Harta (Ilustrasi: NU Online/freepik)

Harta dalam perspektif Islam bukan semata-mata kekayaan materi, melainkan titipan dari Allah SWT yang harus dikelola dengan baik, bijak, penuh tanggung jawab, dan berorientasi pada kemaslahatan dunia dan akhirat. Harta adalah sarana ibadah, bukan tujuan akhir kehidupan.


Secara naluriah, manusia cenderung tertarik kepada harta karena mampu memberikan kesenangan dan ingin dimiliki, baik dalam bentuk materinya maupun manfaatnya. Islam memberi perhatian besar terhadap harta, yang dibuktikan dengan penyebutan kata al-mal atau harta sebanyak 86 kali dalam Al-Qur’an.
 

Hakikatnya, harta yang dimiliki bukanlah hak mutlak milik manusia. Harta merupakan bagian dari rezeki yang telah Allah takdirkan dan diukur sesuai kehendak-Nya. Allah SWT berfirman dalam QS. Al-Hijr: 20:
 

وَجَعَلْنَا لَكُمْ فِيْهَا مَعَايِشَ وَمَنْ لَّسْتُمْ لَهٗ بِرٰزِقِيْنَ ۝٢٠


Artinya: "Kami telah menjadikan di sana sumber-sumber kehidupan untukmu dan (menjadikan pula) makhluk hidup yang bukan kamu pemberi rezekinya."
 

Dalam QS. Asy-Syura: 27, Allah menegaskan:
 

وَلَوْ بَسَطَ اللّٰهُ الرِّزْقَ لِعِبَادِهٖ لَبَغَوْا فِى الْاَرْضِ وَلٰكِنْ يُنَزِّلُ بِقَدَرٍ مَّا يَشَاۤءُۗ اِنَّهٗ بِعِبَادِهٖ خَبِيْرٌۢ بَصِيْرٌ ۝٢٧
 

Artinya: "Seandainya Allah melapangkan rezeki kepada hamba-hamba-Nya, niscaya mereka akan berbuat melampaui batas di bumi. Akan tetapi, Dia menurunkan apa yang Dia kehendaki dengan ukuran (tertentu). Sesungguhnya Dia Mahateliti lagi Maha Melihat (keadaan) hamba-hamba-Nya."


Dalam ajaran Islam, kepemilikan harta bersifat relatif. Allah adalah pemilik sejati segala sesuatu, termasuk harta. Manusia hanya berperan sebagai pengelola yang harus bertanggung jawab. Kepemilikan harta dalam Islam terbagi dua, yaitu pribadi dan sosial. Harta pribadi tidak boleh mengabaikan hak orang lain, khususnya kaum dhuafa.


Harta bukan sekadar alat pemenuhan kebutuhan, tetapi juga instrumen untuk beribadah dan berkontribusi sosial. Harta akan dimintai pertanggungjawaban di hadapan Allah, sebagaimana sabda Rasulullah SAW:
 

تَزُوْلُ قَدَمَا عَبْدٍ يَوْمَ الْقِيَامَةِ حَتَّى يُسْأَلَ عَنْ أَرْبَعٍ عَنْ عُمُرِهِ فِيْمَا أَفْنَاهُ وَعَنْ جَسَدِهِ فِيْمَا أَبْلَاهُ وَعَنْ عِلْمِهِ مَاذَا عَمِلَ فِيْهِ وَعَنْ مَالِهِ مِنْ أَيْنَ اكْتَسَبَهُ وَفِيْمَا أَنْفَقَهُ


Artinya: "Kedua kaki seorang hamba tidaklah beranjak dari tempat hisabnya pada hari kiamat hingga ia ditanya mengenai 4 hal: (1) umurnya, untuk apakah ia habiskan, (2) jasadnya, untuk apakah ia gunakan, (3) ilmunya, apakah telah ia amalkan, (4) hartanya, dari mana ia peroleh dan dalam hal apa ia belanjakan." (HR Ibnu Hibban dan at-Tirmidzi).


Perencanaan harta yang baik harus dilakukan sesuai koridor syariah, menghindari riba (bunga), gharar (penipuan), dan maysir (judi). Allah memperingatkan dalam QS. Al-Baqarah: 275:


اَلَّذِيْنَ يَأْكُلُوْنَ الرِّبٰوا لَا يَقُوْمُوْنَ اِلَّا كَمَا يَقُوْمُ الَّذِيْ يَتَخَبَّطُهُ الشَّيْطٰنُ مِنَ الْمَسِّۗ ذٰلِكَ بِاَنَّهُمْ قَالُوْٓا اِنَّمَا الْبَيْعُ مِثْلُ الرِّبٰواۘ وَاَحَلَّ اللّٰهُ الْبَيْعَ وَحَرَّمَ الرِّبٰواۗ


Artinya: "Orang-orang yang memakan (bertransaksi dengan) riba tidak dapat berdiri, kecuali seperti orang yang berdiri sempoyongan karena kesurupan setan. Demikian itu terjadi karena mereka berkata bahwa jual beli itu sama dengan riba. Padahal, Allah telah menghalalkan jual beli dan mengharamkan riba."


Islam mendorong umatnya untuk mengembangkan harta melalui usaha halal, berinvestasi secara syariah, serta mendistribusikannya untuk kepentingan umat melalui zakat, infak, dan sedekah. Kekayaan dalam Islam tidak diukur dari jumlah harta, tetapi dari kekayaan jiwa (ghinan nafsi).


Sebagai penutup, Rasulullah SAW pernah memberi nasihat kepada Abu Dzar al-Ghifari sebagaimana tercantum dalam kitab Nashaihul ‘Ibad karya Syekh Muhammad bin Umar Nawawi al-Bantani:


يَا أَبَا ذَرٍّ، جَدِّدِ السَّفِيْنَةَ فَإِنَّ اْلبَحْرَ عَمِيْقٌ، وَخُذِ الزَّادَ كَامِلاً فَإِنَّ السَّفَرَ بَعِيْدٌ، وَخَفِّفِ اْلحِمْلَ فَإِنَّ العَقَبَةُ كَئُوْدٌ، وَأَخْلِصِ اْلعَمَلَ فَإِنَّ النَاقَدَ بَصِيْرٌ


Artinya: "Wahai Abu Dzar, perbaharuilah kapalmu karena laut itu dalam; ambilah bekal yang cukup karena perjalanannya jauh; ringankan beban bawaan karena lereng bukit sulit dilalui, dan ikhlaslah beramal karena Allah Maha Teliti."


Pesan ini menjadi pengingat agar umat Islam mampu merencanakan dan mengelola harta dengan baik, menjadikannya sarana ibadah, dan bekal menuju kehidupan akhirat. Semoga Allah menganugerahkan harta yang berkah dan bermanfaat.

Tulisan ini dikutip dari artikel Muhammad Faizin Penulis, sebagaimana dimuat di NU Online.