• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Taushiyah

Kolom Buya Husein

Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (7)

Kiai Sahal dan Gagasan Fikih Sosial (7)
KH MA Sahal Mahfudh. (Foto: NUO).
KH MA Sahal Mahfudh. (Foto: NUO).

Inklusifitas Kiai Sahal: Menolak Mutabar Ghair Mu’tabar.
Pikiran menarik Kiai Sahal yang lain adalah keterbukaannya terhadap semua pikiran orang lain. Ia tak hendak membatasi sumber-sumber pengetahuan di satu sisi, dan tidak hendak memutlakkan kesalahan pikiran orang lain hanya karena tidak menyetujui pandangannya untuk suatu kasus dan tidak memutlakkan kebenaran suatu aliran pemikiran yang diikutinya, di sisi yang lain.

 

Kebenaran bisa ada di mana-mana. Keberagaman pandangan Imam mazhab  atas suatu masalah harus dihargai, dihormati.

 

Para Imam sendiri saling memberikan penghormatan dan tidak mengklaim pendapatnya sebagai paling benar. Perbedaan adalah rahmat. Kiai Sahal menyebut kaedah: “Al-Ijtihad La Yunqadh bi al-Ijthad”. Hasil ijtihad seseorang tidak bisa dibatalkan oleh ijtihad orang yang lain. Katanya : “Hasil ijtihad seorang fuqaha mungkin tidak pas pada ruang dan waktu tertentu, tetapi sesuai dengan ruang dan waktu yang berbeda. 

 

Atas dasar itu, Kiai Sahal acap kali keluar dari cara pandang para ulama di dalam organisasinya sendiri Nahdlatul Ulama. Salah satunya adalah soal “al-Kutub al-Mu’tabarah” dan “Ghair al-Mu’tabarah”. Ia menganggap pemilahan ini tidak senafas dengan semangat fiqh sebagai produk Ijtihad dan dengan begitu hal itu juga berarti ada pandangan yang mengunggulkan pendapat Imam dan merendahkan pendapat Imam lainnya. Saya kira pemilahan tersebut juga sama dengan membatasi prinsip ilmu pengetahuan sendiri yang selalu terbuka sekaligus membatasi anugerah Tuhan yang memberikan ilmu pengetahan kepada siapa saja yang dikehendaki-Nya. 
Kiai Sahal kemudian memberi contoh.

 

Dalam pandangan mayoritas ulama kitab-kitab karya Ibnu Taimiyah dan murid utamanya : Ibnu al Qayyim al-Jauziyiah, adalah ghair mu’tabarah (tidak bisa atau tidak boleh dirujuk), karena kedua ulama besar ini mengharamkan tawassul, praktik-praktik tarikat, kewalian, ziarah kubur dan lain-lain. Semua masalah ini adalah bagian dari tradisi dan amalan sehari-hari warga NU. Kiyai Sahal mengatakan:

 

“Saat itu saya sudah menentang pendapat ini. Waktu itu saya menggunakan kaedah atau pepatah Arab :”Ambillah yang jernih dan tinggalkan yang keruh”(khudz ma shafa watruk ma kadar). Para kiai waktu itu tidak setuju pendapat saya dan mereka mengambil sikap saddan li al dzari’ah (preventif). Dengan alasan supaya umat tidak terjerumus maka kitab-kitab itu dilarang saja. Karena saya kalah suara, saya tidak bisa berbuat lebih. Padahal yang namanya pendapat tentu bisa salah bisa benar, karena itu jangan menggunakan pendekatan like and dislike ini mu’tabar, itu tidak,”.

 

Ini tentu saja merupakan kritik tajam Kiai Sahal yang lain.

 

KH Husein Muhammad, salah seorang Mustasyar PBNU


Taushiyah Terbaru