• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Taushiyah

KOLOM KH M NUH ADDAWAMI

KH M Nuh Addawami: Karakteristik Ahlussunnah wal Jamaah (2)

KH M Nuh Addawami: Karakteristik Ahlussunnah wal Jamaah (2)
Mustasyar PBNU, KH M Nuh Addawami. (Foto: NUJO).
Mustasyar PBNU, KH M Nuh Addawami. (Foto: NUJO).

Oleh: KH M Nuh Addawami
Di masa masih hidup di dunia Rasulullah SAW menerima risalahnya itu relatif mudah, tidak sulit seperti setalah wafatnya, apalagi setelah inqiradz para sahabatnya. Di masa Rasulullah SAW masih hidup di dunia, bagi yang ingin menerima risalahnya hanya tinggal bertanya kepadanya dan langsung mengikuti apa-apa yang dikatakan, dikerjakan atau apa yang direstuinya. 

 

Sedangkan pada masa setelah wafat beliau SAW terutama setelah inqiradz para sahabatnya apalagi dalam masalah baru seiring dengan perkembangan zaman, kesulitan menerima risalah itu amat terasa sekali, sehingga para penerimanya memerlukan kecermatan yang kuat dalam memahami Al-Qur’an dan Sunnah, berijtihad dan beristinbat yang akurat menurut kaidah yang dapat dipertanggungjawabkan keabsahanya menurut ukuran prinsip-prinsip risalah Rasulullah SAW itu sendiri. Dengan logika yang benar berbekal pembendaharaan ilmu yang cukup jumlah dan jenisnya, berlandaskan mental / akhlak dengan niat semata-mata mencari kebenaran yang diridlai Allah SWT.

 

Hal semacam itu diperlukan karena keadaan kalamullah dan kalam rasul-Nya itu adalah kalam yang sangat bilaghah sesuai dengan muqtadhal hal dan muqtadhal maqam, keadaan lafadz-lafadz nya beraneka ragam, ada lafadz Nash, ada lafadz dzahir, ada lafadz mujmal, ada lafadz bayan, ada lafadz muawwal, ada lafadz ‘Am, ada lafadz Khash, ada lafadz muthlaq, ada lafadz muqayyad, ada najaz, ada kinaayah selain lafadz haqiqah, ada pula Nasikh dan Mansukh, dan lain sebagainya. 

 

Oleh karena itu, bagi siapa saja yang menerima risalah Rasulullah SAW pada masa setelah wafat baginda Nabi Muhammad SAW setelah inqiradz para sahabatnya RA memerlukan: 

 
  1. Mengetahui dan menguasai bahasa Arab sedalam-dalamnya, karena Al-Qur’an dan sunnah selaku materi risalah itu diturunkan Allah dan disampaikan Rasulullah SAW dalam Bahasa arab yang Fusahah dan balaghah yang bermutu tinggi, pengertian luas dan dalam mengandung hukum yang harus diterima. Yang perlu diketahui dan dikuasinya bukan hanya arti bahasa semata-mata, tetapi juga ilmu-ilmu yang bersangkutan dengan bahasa Arab itu seperti nahwu, sharaf, isytiqaq, balaghah (ma’ani, bayan dan badi’). 
  2. Mengetahui dan menguasai ilmu ushul fiqih, bagaimana mungkin menggali hukum secara baik dan benar dari Al-qur’an dan sunnah padahal tidak mengetahui status dan sifat lafdz-lafadz yang ada dalam Al-qur’an dan sunnah yang beraneka ragam seperti yang telah dikatakan tadi yang masing-masing memperngaruhi hukum-hukum yang terkandung di dalamnya, dan tidak menguasai tata cara yang baik dalam mengatasi keadaan dua lafadz atau dua dalil yang kelihatanya ta’arud / bertentangan baik yang ada dalam Al-Qur’an maupun dalam sunnah. Hal-hal yang semacam itu pemecahanya terdapat dalam ilmu ushul fiqih. 
  3. Mengetahui dan menguasai dalil-dalil aqli penyelaras dalil-dalil naqli, terutama dalam masalah-masalah, yaqiniyyah qath’iyyah.
  4. Mengetahui yang nasikh dan Mansukh dan mengetahui asbabun nuzul dan asbabul wurud, mengetahui keberadaan para rawi pewaris sunnah. 
  5. Mengetahui ilmu-ilmu lainya yang berhubungan dengan tata cara menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunnah. Bagi yang tidak memiliki kemampuan, sarat dan sarana untuk menggali hukum dari Al-Qur’an dan sunnah dalam masalah-masalah ijtihadiyah padahal iya ingin menerima risalah Rasulullah SAW secara utuh dan Kaffah, maka tidak ada jalan lain kecuali taqlid kepada mujtahid yang dapat dipertanggung jawabkan kemampuannya. Di antara para-para mujtahid yang madzhabnya mudawwan dari kalangan mujtahidin berada pada kurun terbaik setelah kurun Rasulullah SAW adalah empat imam mujtahid, yaitu: Imam Abu Hanifah Nu’man bin Tsabit, Imam Malik bin Anas, Imam Muhammad bin Idris Asy-Syafi’i dan Imam Ahmad bin Hanbal Rahimahumullah.
 

Mengharamkan taqlid dan mewajibkan ijtihad atau ittiba’ dalam arti mengikuti pandangan orang disertai mengetahui dalil-dalilnya terhadap orang awam (yang bukan orang ahli istidlal) adalah fatwa keliru, kalau tidak dikatakan sesat, yang akan merusak sendi-sendi kehidupan di dunia ini, mengedepankan dalil fatwa terhadap orang awam sama saja dengan tidak mengedepankanya. (Lihat Hasyiyah Ad-Dimyati ala Syarhil Waraqat, hal. 23, baris 12). 

 

Apabila si awam menerima fatwa orang yang tidak mengedepankan dalilnya, dalam arti mereka sama-sama muqallid, sama-sama bertaqlid dan menerima pendapat orang tanpa mengetahui dalilnya, ingat: tidak semua orang yang mendengar dalil atau melihat dalil adalah mengetahui dalil, yang dimaksud dengan muttabi’ bukan muqallid dalam istilah ushuliyyin adalah seorang ahli istidlal / mujtahid menerima pendapat orang lain karena dia selaku ahli istidlal dengan segala kemampuanya mengetahui dalil pendapat orang tersebut, adapun orang yang menerima pendapat orang lain tentang suatu fatwa dengan mendengar atau membaca dalil pendapat tersebut padahal si penerima itu bukan atau belum termasuk ahli istidlal maka dia tidak termasuk muttabi’ yang telah terbebas dari ikatan taqlid.

 

Pendek kata arti ittiba’ yang sebenarnya dalam istilah ushuliyyin adalah ijtihad seorang mujtahid mengikuti ijtihad mujtahid yang lain. 

 

Adapun bidang aqaid diniyyah / dibidang teologi dari kalangan ahli kalam, اهل النظر العقلى والصناعة الفكرية  yang disebut ahlissunnah wal jama’ah itu adalah para pengikut Imam Abu Hasan Al-Asy’ari dan para pengikut imat Abu Mansyur Al-maturidi, dikatan oleh Al-‘Allamah sayyid Muhammad bin Muhammad Al-Husaini Az-Zabidi (wafat tahun 1205 H) : 

 

اذا أطلق اهل السنة والجماعة فالمراد بهم الاشاعرة والماتريدية

 

“Tatkala sebutkan nama Ahlussunnah wal Jama’ah maka maksudnya adalah para pengikut Imam Asy’ari dan para pengikut Imam Maturidi,” (Ithaf Sadatil Muttaqin, juz 2, hal. 8)

 

Penulis merupakan salah seorang Mustasyar PBNU


Taushiyah Terbaru