Opini

Air sebagai Medium Do’a: Dari Eksperimen Emoto hingga Amalan Rebo Wekasan

Rabu, 20 Agustus 2025 | 13:36 WIB

Air sebagai Medium Do’a: Dari Eksperimen Emoto hingga Amalan Rebo Wekasan

Ilustrasi. (Foto: Istimewa)

Oleh Syifa Hayati Islami

Hari berganti hari, bulan berganti bulan, hingga saatnya kita bertemu pada penguhujung bulan Shofar. Bulan Shofar dalam tradisi Islam sering dikaitkan dengan berbagai perbincangan mengenai 320.000 penyakit/bala dan 20.000 musibah. Keyakinan ini kemudian melahirkan sejumlah amalan, do’a, dan wirid yang bertujuan untuk memohon perlindungan kepada Allah SWT.

 

Dalam tradisi pesantren, amalan-amalan semacam ini umumnya dipahami dalam bingkai mujarrabāt. Artinya, ia bukan ajaran yang bersumber dari dalil qath‘ī (pasti) seperti hadits sahih, melainkan pengalaman spiritual yang diriwayatkan oleh para wali dan ulama sufi. Karena itu, kedudukannya tidak sama dengan sunnah mu’akkadah atau ibadah yang baku.

 

Salah satu kitab yang berisi himpunan dzikir dan do’a al-ma’tsur yang ditulis dengan model ketentuan waktu di antaranya adalah kitab Kanzun Najah was Surur fil Ad’iyyah al-Ma’tsurah allati Tasyrahush Shudur atau dalam bahasa Indonesia berarti himpunan harta karun keberhasilan dan kebahagiaan dalam do’a-do’a yang melapangkan hati karya Abdul Hamid bin Muhammad al-Makki asy-Syafi’i atau dikenal sebagai Syekh Abdul Hamid Kudus. Dalam kitabnya ia mengatakan:

 

“Maka barang siapa yang menginginkan keselamatan dan perlindungan dari itu, hendaknya ia berdoa pada hari pertama bulan Safar, demikian pula pada Rabu terakhir di bulan tersebut dengan do’a ini. Barang siapa yang berdo’a dengan do’a ini, Allah Subhanahu wa Ta’ala akan menolak dari dirinya keburukan bala’ tersebut.”

 

Sebagian umat Islam di Nusantara mempunyai amalan yang menjadi tradisi pada malam Rebo Wekasan. Diantara amalan tersebut adalah:

 

1.Shalat sunnah hajat (lidaf’il bala’)

2.Membaca surat Yasin (sampai pada ayat “Salamun Qoulan Min Robbil Rohim” dibaca sebanyak 11 X/313 X lalu dilanjutkan ayat setelahnya sampai selesai.

3.Membaca do’a (shalawat munjiyat)

4.Menulis tujuh ayat salamun

 

Disebutkan dalam kitab Kanzun Najah was Surur :” Barang siapa yang menulis ayat salamah tujuh yaitu tujuh ayat Alqur’an yang diawali dengan lafal Salaamun: Salamun qaulam mir rabbir rahim; Salamun ala nuhin fil alamin; Salamun ala Ibrahim; Salamun ala Musa wa Harun; Salamun ala Ali Yasin; Salamun alaikum thibtum fadhkhuluna khalidin; Salamun hiya hatta mathla'il fajr. kemudian tulisan tersebut dilebur/direndam dalam air, maka barang siapa yang meminum air tersebut akan diselamatkan dari bala’ yang diturunkan.

 

Menelisik bagaimana penelitian Dr. Masaru Emoto tentang air menemukan resonansi dalam tradisi Islam, dari ayat-ayat Al-Qur’an hingga amalan Rebo Wekasan

 

Menyoroti do’a & air pada paragraf di atas, seperti yang kita ketahui bahwa air adalah sumber kehidupan. Namun bagi banyak tradisi, termasuk Islam, air bukan sekadar cairan yang menghapus dahaga, melainkan medium spiritual yang membawa do’a dan keberkahan. Dr. Masaru Emoto, peneliti asal Jepang, dalam bukunya The Hidden Messages in Water menyebutkan bahwa air mampu “menyimpan” energi dan merespons pikiran, kata-kata, bahkan doa manusia.

 

Ia menulis: “Water has a memory and carries within it our thoughts and prayers.” (“Air memiliki ingatan dan membawa di dalamnya pikiran serta doa kita.”)

 

Eksperimen Emoto menunjukkan bahwa air yang diberi doa, kata-kata baik, atau lantunan musik indah, membentuk kristal es yang indah dan simetris. Sebaliknya, air yang terkena kata-kata kasar membentuk kristal yang pecah dan tidak beraturan.

 

Pandangan Emoto menemukan resonansi dalam tradisi Islam, di mana air sejak lama digunakan sebagai media penyembuhan dan do’a. Al-Qur’an sendiri menyebut air sebagai sumber kehidupan: “Dan Kami jadikan dari air segala sesuatu yang hidup.” (QS. Al-Anbiya: 30).

 

Para ulama dan masyarakat muslim Nusantara kerap mempraktikkan penulisan ayat-ayat Al-Qur’an pada kertas, lalu kertas itu dimasukkan ke dalam air, atau ayat-ayat dibacakan langsung kepada air. Air tersebut kemudian diminum atau dipercikkan sebagai bentuk ikhtiar memperoleh keberkahan, ketenangan, dan perlindungan dari Allah SWT. Tradisi ini menunjukkan keyakinan bahwa kalam Ilahi mampu “menyentuh” air, serupa dengan gagasan Emoto bahwa kata-kata dan do’a dapat meninggalkan jejak dalam struktur air.

 

Penelitian Dr. Masaru Emoto dan tradisi Islam di Nusantara bertemu pada satu titik: air adalah saksi dan penyimpan do’a. Jika kata-kata baik bisa membentuk kristal indah dalam eksperimen ilmiah, maka bacaan Al-Qur’an dan doa tulus yang dibacakan umat beriman tentu lebih dahsyat lagi pengaruhnya.

 

Sebagaimana kata Emoto dalam bukunya: “If you feel love and gratitude, water will respond and give back to you in the form of beautiful crystals.”

 

Dan sebagaimana firman Allah: “Dan apabila hamba-hamba-Ku bertanya kepadamu tentang Aku, maka sesungguhnya Aku dekat. Aku kabulkan doa orang yang berdo’a apabila ia berdo’a kepada-Ku.” (QS. Al-Baqarah: 186).

 

Dengan menjaga kesucian hati, niat, dan do’a, kita menjaga air tetap menjadi medium keberkahan. Rebo Wekasan pun bukan sekadar tradisi, tetapi ikhtiar spiritual untuk mengingatkan kita akan kuasa Allah, sang pemberi kehidupan.

 

Kesimpulannya, amalan Rabu terakhir bulan Shofar adalah bagian dari khazanah Ulama salaf, khususnya dalam literatur tasawuf dan mujarrabāt. Ia menunjukkan bagaimana umat Islam pada masa lalu berusaha mencari cara untuk berlindung dari bala melalui doa, salat, dan bacaan Al-Qur’an. Namun, dari sudut pandang syariat, amalan ini tidak boleh diyakini sebagai ibadah yang ditetapkan Rasulullah, melainkan sebagai ikhtiar doa yang boleh dilakukan selama tidak disertai keyakinan batil.

 

Pesantren biasanya menempatkan amalan semacam ini pada wilayah fadā’il al-a‘māl (amalan-amalan tambahan) sambil tetap menekankan akidah tauhid: bahwa yang memberi manfaat dan mudarat hanyalah Allah SWT semata. Bagi umat Islam, do’a merupakan senjata dan harapan. Doa juga merupakan bentuk ibadah dan memuji Allah serta mengakui kebaikan-kebaikan dan anugerah yang telah diberikan kepadanya. (Ath-Thabrani, Kitabud Du’a, [Beirut: Darul Basya’ir al-Islamiyyah, 1987], jilid I, hal. 53)

 

Dengan demikian, penting bagi kita untuk mengambil sisi positif dari amalan ini, yaitu semangat memperbanyak do’a, dzikir, dan shalawat. Rebo Wekasan adalah bentuk tawassul, yakni mendekatkan diri kepada Allah sedangkan air menjadi medium yang menyalurkan do’a tersebut.

 

Ketika masyarakat Muslim Indonesia mengamalkan do’a-do’a pada Rebo Wekasan, sesungguhnya mereka sedang menegaskan keyakinan bahwa do’a yang tulus mampu menembus alam semesta, bahkan air yang mereka gunakan. Air tidak lagi sekadar cairan penyegar, melainkan medium spiritual yang membawa pesan-pesan keberkahan dalam wujud memberi ketenangan jiwa.

 

Penulis adalah Fatayat NU Cipanas - Cianjur. Dosen Tetap dan Sekretaris Program Studi Komunikasi dan Penyiaran Islam Fakultas Dakwah Institut Agama Islam Sukabumi (IAIS).