Pada bulan Mei 2024 silam, saya berkesempatan untuk mengunjungi Kampung Glam, sebuah kawasan bersejarah Muslim Melayu di Singapura. Di kawasan Kampung Glam banyak berdiri bangunan tua dengan corak arsitekturnya yang khas dan masih terjaga, yang pada saat ini difungsikan sebagai pusat-pusat niaga dan wisata, seperti restaurant, kedai souvenir, dan juga toko buku.
Di kawasan Kampung Glam juga berdiri masjid tertua dan ikonik Singapura, yaitu Masjid Sultan. Masjid tersebut didirikan pada tahun 1824-1826. Modal awal pembangunan masjid tersebut diberikan oleh Thomas Stamford Raffles, pendiri Singapura modern, yang kemudian dilanjutkan dan dikembangkan oleh Sultan Husain Syah dari Kesultanan Johor.
Menariknya, Kampung Glam ternyata memiliki sejarah yang sangat erat hubungannya dengan komunitas Muslim asal Jawa. Pada awal abad ke-19 silam, sejak Singapura modern didirikan dan dikembangkan oleh Raffles, orang-orang Jawa tercatat banyak yang tinggal dan menetap di Kampung Glam. Di sana, mereka hidup dengan menjalankan berbagai aktivitas niaga, agama, budaya, pendidikan, dan literasi.
Pelopor Tradisi Literasi Cetak di Singapura
Pada paruh kedua abad ke-19 M hingga perempat pertama abad ke-20 M, Kampung Glam pernah menjadi pusat aktivitas literasi dan keilmuan yang sangat penting, baik bagi kalangan Muslim Singapura atau pun masyarakat Muslim Melayu-Nusantara secara umum. Di sana, berdiri sejumlah percetakan, penerbit, dan toko buku. Banyak karya ulama Melayu-Nusantara yang dicetak, dipublikasikan, dan diedarkan di Kampung Glam tersebut.
Mazelan Anuar (2017), seorang pustakawan senior di Perpustakaan Nasional Singapura, mengungkap sebuah fakta sejarah yang menarik. Anuar mengatakan jika aktivitas percetakan dan penerbitan di kalangan Muslim Singapura yang berpusat di Kampung Glam ternyata dipelopori oleh orang-orang Jawa yang menetap di Singapura. Di antara nama para pelopor tersebut adalah Haji Muhammad Said bin Arsyad dari Semarang, Haji Muhammad Siraj bin Salih dari Rembang, Haji Muhammad Sidiq dari Rembang, Haji Muhammad Nuh bin Ismail dari Juwana, Haji Muhammad Ali bin Musthafa dari Purbalingga, Haji Muhammad Amin bin Abdullah, dan lain-lain.
Diterangkan oleh Anuar, jika Haji Muhammad Said Semarang memiliki empat orang anak, yaitu Haji Mujtahid, Haji Abdullah, Haji Khalid dan Haji Hamzah. Keempat anak tersebut mengikuti jejak sang ayah dalam bisnis percetakan dan penerbitan kitab. Pada tahun 1892, mathba’ah Haji Muhammad Said Semarang mendirikan kantor cabang di Penang dan dikelola oleh sebagian anaknya. Memasuki abad ke-20 M, bisnis keluarga Haji Muhammad Said Semarang berekspansi sebagai distributor kitab-kitab ulama Nusantara yang dicetak di Makkah, Istanbul, Kairo, dan Bombay. Kitab-kitab tersebut kemudian tersebar ke seluruh seantero Kepulauan Nusantara.
Ian Proudfoot (1993) menyebut jika sepanjang tahun 1873 hingga 1918, mathba’ah yang dikelola oleh Haji Muhammad Said Semarang tercatat telah menerbitkan lebih dari 200 (dua ratus) buah judul kitab. Pada periode masa yang bersamaan, mathba’ah milik Haji Muhammad Siraj Rembang juga tercatat menerbitkan sekitar 80 (delapan puluh) judul kitab. Kebanyakan kitab-kitab yang dicetak oleh Haji Muhammad Said Semarang dan Haji Muhammad Siraj Rembang tersebut ditulis dalam bahasa Melayu aksara Arab (Jawi), ataupun bahasa Jawa aksara Arab (Pégon).
Karya-karya Kiai Sholeh Darat di Singapura
Bagi kalangan masyarakat Muslim Jawa, nama Kiai Sholeh Darat Semarang (1822–1903) tentu saja tidaklah asing. Beliau adalah sosok yang sangat dihormati dan dikenal sebagai seorang kiyai besar yang juga mahaguru ulama Jawa pada zamannya. Kiai Soleh Darat juga memiliki sejumlah karya tulis dalam bahasa Jawa aksara Arab (Jawa Pégon) dalam berbagai bidang disiplin ilmu keislaman, mulai dari tafsir al-Qur’an, hadits, fikih, aqidah, tasawuf, dan lain-lain. Saya mengasumsikan, jika karya-karya Kiai Soleh Darat tersebut menjadi “pelopor” tradisi kitab Jawa Pégon yang dicetak (al-kutub al-jâwiyyah al-mathbû’ah). Hal ini karena sebelum Kiai Sholeh Darat, kita hanya menemukan kitab-kitab berbahasa Jawa Pégon dalam bentuk manuskrip (makhthûth), dan belum berupa kitab cetak (mathbû’).
Menariknya, banyak dari karya Kiai Soleh Darat tersebut yang dicetak di Singapura oleh sejumlah percetakan yang dikelola oleh para keturunan Jawa. Percetakan milik Haji Muhammad Siraj Rembang yang beroperasi di Kampung Glam Singapura, misalnya, mencetak karya Kiai Soleh Darat yang berjudul Majmû’at al-Syarî’ah al-Kâfiyah li al-‘Awâm (1892) dan terjemah Hikam berbahasa Jawa Pégon (1894). Sementara itu, percetakan milik Haji Muhammad Sidiq Rembang, mencetak karya Kiai Soleh Darat yang berjudul Kitâb al-Munjiyât (1893; 1895; 1901). Demikian halnya dengan percetakan milik Haji Muhammad Amin di Singapura (tidak terdapat keterangan apakah sosok Muhammad Amin ini adalah seorang keturunan Jawa atau bukan), yang juga tercatat mencetak karya Kiai Soleh Darat berbahasa Jawa Pégon lainnya, seperti Faidh al-Rahmân (1893), Fasholatan (1897), Minhâj al-Atqiyâ (1898) dan al-Mursyid al-Wajîz (1902).
Tentu saja, dicetaknya sejumlah karya Kiai Sholeh Darat di Singapura bukan semata-mata karena latar belakang bisnis dan niaga saja. Tetapi lebih dari itu, terdapat pula jaringan keilmuan dan koneksi kebudayaan yang kuat, yang menghubungkan sosok Kiai Soleh Darat dengan para aktivis literasi dan keagamaan Islam di Singapura pada masa itu.
Syaikh Fadhlullah bin Suhaimi: Tokoh Pendidikan Islam Singapura
Nama Syaikh Fadhlullah bin Muhammad Suhaimi (1886–1964) bukanlah nama yang asing di kalangan masyarakat Muslim Singapura. Beliau dikenal sebagai salah satu ulama besar yang berpengaruh dalam menyebarkan dakwah Islam Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Singapura pada paruh pertama abad ke-20 M. Selain itu, Syaikh Fadhlullah bin Muhammad Suhaimi juga tercatat sebagai tokoh penting dalam sejarah pendidikan Islam modern di Singapura.
Menariknya, sosok Syaikh Fadhlullah bin Suhaimi ini memiliki ikatan kebangsaan, kebudayaan, dan keilmuan yang sangat kuat dengan Jawa. Abu Muhammad (2012) menyebutkan jika Kiai Suhaimi (1843–1925), ayah dari Syaikh Fadhlullah, berasal dari Kampung Sudagaran di Wonosobo (Jawa Tengah). Kiai Suhaimi tercatat pernah belajar di Pesantren Tremas (Pacitan), pada masa pengasuhan Kiai Abdul Mannan Dipomenggolo (w. 1862), yang merupakan kakek dari Syaikh Mahfdz Tremas Makkah (w. 1920). Dari Tremas, Kiai Suhaimi kemudian pergi ke Makkah. Di sana, beliau belajar kepada Syaikh Nawawi Banten (1813–1897). Setelah menyelesaikan pendidikannya di Timur Tengah, Kiai Suhaimi kemudian berkarir di Singapura dan Selangor (Malaya).
Adapun ibu dari Syaikh Fadhlullah adalah Nyai Qani’ah binti Abdul Rahim, berasal dari Kalibeber, Wonosobo. Dari jalur sang ibu, Syaikh Fadhlullah masih terhitung sebagai sepupu dari Kiai Muntaha (1912–2004) bin Asy’ari (w. 1949) bin Abdul Rahim (w. 1916), seorang ulama kharismatik ahli al-Qur’an yang juga pengasuh sebuah pesantren tua di Kalibeber Wonosobo. Sang kakek, yaitu Kiai Abdul Rahim, tercatat mengasuh pesantren al-Qur’an di Kalibeber sejak tahun 1860.
Manaqib mengenai Kiai Suhaimi dan ibunya ditulis oleh sang putra, Syaikh Fadhlullah bin Suhaimi, dalam sebuah risalah berbahasa Jawa aksara Arab (Pégon). Risalah tersebut kemudian diterjemahkan ke dalam bahasa Melayu oleh Encik Ramli bin Ilyas, dan disempurnakan oleh Haji Muhammad Thaha bin Fadhlullah bin Suhaimi.
Syaikh Fadhlullah sendiri dilahirkan di Kampung Glam pada tahun 1886. Ia mendapatkan tempaan pendidikan dari ayahnya, yaitu Kiai Suhaimi. Pada tahun 1896, ketika Fadhlullah masih berusia 10 tahun, ia pergi ke Kalibeber Wonosobo untuk belajar di tempat kakeknya, yaitu KH. Abdul Rahim. Di Kalibeber, Fadhlullah belajar selama kurang lebih dua tahun lamanya, untuk kemudian kembali ke Singapura. Pada tahun 1906, Fadhlullah melanjutkan belajarnya ke Makkah. Di sana ia belajar kepada Syaikh Mahfuzh Tremas dan sejumlah ulama Melayu-Nusantara lainnya yang mengajar di Kota Suci, selain kepada para ulama Arab lainnya. Di Makkah pula Fadhlullah berjumpa dengan KH. Abdul Wahhab Chasbullah, seorang ulama besar dari Jawa yang kelak menjadi salah satu sahabat dekatnya. Pada tahun 1911, Fadhlullah meneruskan pengembaraan intelektualnya ke al-Azhar di Kairo, Mesir. Ia belajar di al-Azhar selama kurang lebih 5 tahun lamanya, di mana pada tahun 1916 ia kembali ke Singapura (Sulaiman Jeem, 1997).
Sekembalinya ke Singapura, Syaikh Fadhlullah diangkat sebagai kepala Madrasah al-Saggof, salah satu pusat pendidikan Islam yang berpengaruh di Singapura dan masih eksis hingga sekarang. Pada tahun 1931, dengan bantuan seorang dermawan kaya, Datuk Syed Hassan al-Hasan, Syaikh Fadhlullah membuka sekolah bahasa Arab di Johor (Malaya), bernama Kulliyyah al-Attas. Beberapa tahun kemudian, beliau membuka sekolah lain di Bartley Road, Singapura, bernama “Kulliyah Firdaus”. Lalu pada tahun 1936, Syaikh Fadhlullah juga mendirikan Madrasah al-Ma’arif al-Islamiah di kawasan Ipoh Road, Singapura. Madrasah inilah yang kemudian melekat erat sebagai salah satu legacy terkuat Syaikh Fadhlullah dan masih eksis hingga hari ini (Sulaiman Jeem, 1997).
KH Abdul Wahhab Chasbullah di Singapura
KH Abdul Wahhab Chasbullah (1888–1971) merupakan salah satu tokoh utama pendiri Nahdlatul Ulama (NU). Didirikan di Surabaya pada 16 Rajab 1344 Hijri (31 Januari 1926), NU tercatat sebagai organisasi keagamaan Islam terbesar di dunia yang berhaluan ideologi Ahlussunnah wal Jama’ah. Saat ini, NU telah tersebar di hampir seluruh wilayah Indonesia, serta memiliki cabang istimewa di belahan dunia internasional.
Sejarah awal mula perkembangan NU tidak bisa dilepaskan dari “Komite Hijaz”, yaitu sebuah kepanitiaan kecil (komite) yang dibentuk untuk pergi berlayar ke Hijaz dengan tujuan bertemu dengan Raja Abdul Aziz al-Saud (sebagai penguasa baru Hijaz), guna menyampaikan amanat dan membawa misi perjuangan umat Muslim Nusantara untuk melestarikan ajaran Ahlussunnah wal Jama’ah. Komite kecil tersebut dibentuk pada tahun 1926, namun baru terealisasi pada tahun 1928.
Terdapat lima buah tuntutan yang disampaikan oleh Komite Hijaz kepada Raja Abdul Aziz al-Saud.
Pertama: memohon agar tetap dilestarikannya ajaran bermazhab ala Ahlussunnah wal Jama’ah di negeri Hijaz, khususnya Makkah dan Madinah, baik mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, atau pun Hanbali. Komite juga memohon agar kitab-kitab ajaran mazhab Ahlussunnah wal Jama’ah, baik dalam bidang aqidah, fiqih, dan tasawuf di bidang tasawuf, tetap diberi keleluasaan untuk tetap diajarkan;
Kedua: memohon agar tempat-tempat bersejarah, baik makam, masjid, dan bangunan wakaf lainnya, tidak dihancurkan dan tetap leluasa untuk dapat diziarahi dan dimakmurkan;
Ketiga: memohon agar penentuan tarif dan biaya haji diumumkan jauh-jauh hari sebelum musim haji tiba. Hal ini agar jama’ah yang akan menunaikan ibadah haji dapat mempersiapkan ongkos dan perbekalan yang cukup, selain untuk meminimalisir berbagai penipuan dan kasus lainnya yang merugikan;
Keempat: memohon agar semua peraturan yang berlaku di wilayah Hijaz dapat ditulis dalam bentuk undang-undang, agar tidak terjadi pelanggaran terhadap peraturan tersebut; dan Kelima: Nahdlatul Ulama memohon balasan surat tertulis, yang isi keterangan bahwa dua orang delegasi NU telah benar-benar menyampaikan surat dan permohonan-permohonan tersebut kepada Raja Abdul Aziz al-Saud.
Dalam pelayaran menuju Hijaz, utusan komite yang terdiri dari KH Abdul Wahhab Chasbullah dan Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir al-Azhari al-Mishri, ternyata singgah di Singapura selama beberapa hari lamanya. Sya’ban (2023) telah menyunting dan menerjemahkan dokumen catatan perjalanan Komite Hijaz bertahun 1928 tersebut.
KH Abdul Wahhab Chasbullah bertolak dari pelabuhan Tanjung Perak di Surabaya (Jawa Timur) pada hari Kamis 07 Syawal 1346 Hijri (29 Maret 1928). Beliau kemudian mendarat di pelabuhan Tanjung Pagar (Singapura) pada hari Senin 11 Syawal 1346 Hijri (01 April 1928). Sejumlah ulama dan tokoh Muslim Singapura terkemuka menyambut kedatangan sang Kiyai Jawa itu. Di antara mereka yang tercatat menyambut kedatangan KH Abdul Wahhab Chasbullah adalah Tuan Ahmad Hakim, Tuan Salim Mathor, Tuan Fadhlullah bin Suhaimi, dan lain-lain.
Dalam memoar catatan perjalanannya, KH Abdul Wahhab Chasbullah mengatakan jika selama berada di Singapura, beliau tinggal dan menginap di rumah Tuan Salim Mathor, yang terletak di Kampung Palembang Road. Umat Muslim Singapura mengadakan sebuah acara khusus yang besar dan meriah untuk menyambut kedatangan KH Abdul Wahhab Chasbullah di kawasan Kampung Glam. Beliau menulis:
“…Sederek-sederek Singgapur sampun ngawontenaken pakempelan hing Kampung Gelam Singgapur. Wahu pakempelan dipun pengajengi dining Tuan Fadhlullah Suhaimi, direktur Mathba’ah al-‘Aththâs saha redaktur Majalah Jasa ing Johor, saha imam masjid jami Kampung Jawa Singgapur; saha Tuan Encik Mas’ud inspektur Madâris al-Islâmiyyah wahu jumeneng adviseur raadagama Islam ing tanah Johor (Suadara-saudara di Singapura telah mengadakan acara pertemuan di Kampung Glam Singapura. Pertemuan tersebut dipimpin oleh Tuan Fadhlullah Suhaimi, yaitu kepala percetakan al-Athas, juga redaktur Majalah Jasa di Johor, sekaligus imam masjid jami di Kampung Jawa Singapura; demikian juga ada Tuan Encik Mas’ud, yang menjabat sebagai inspektur sekolah-sekolah Islam sekaligus penasihat raadagama Islam di Johor)…”
Beberapa majlis lanjutan terus digelar di Singapura selama beberapa kali berikutnya untuk menghormati kedatangan KH. Abdul Wahhab Chasbullah dan Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir. Pada malam Sabtu, 16 Syawal 1346 Hijri (06 April 1928), Syaikh Fadhlullah bin Suhaimi menginisiasi pertemuan lanjutan di kawasan Kampung Glam. Pada pertemuan tersebut, hadir beberapa tokoh Muslim Singapura, di antaranya adalah: Encik Muhammad Yunus (guru agama Singapura), Haji Ali bin Haji Muhammad Sholeh (guru madrasah Singapura), Encik Mas’ud bin Haji Zainal Abidin (inspektur madrasah di Johor dan adviseur raad agama Islam Johor), Syaikh Muhammad al-Syadzini bin Utsman Serawak, Encik Muhammad Hasyim bin Yunus, Haji Thahir bin Haji Ahmad, Haji Said (wakil qadhi Singapura), Muhammad Amin bin Haji Sam’un, Abdul Majid (sekretaris Syubbanul Wathon Surabaya), dan lain-lain.
Selanjutnya, pada hari Selasa 19 Syawal 1346 Hijri (09 April 1928), diadakan lagi pertemuan antara delegasi Komite Hijaz dengan tokoh Muslim Singapura. Terkait pertemuan kali ini, KH. Abdul Wahhab Chasbullah menulis:
“…Maka kutika malam Selasa 19 Syawwal 1346, dengan siap penduduk Singapur yang menghadiri itu persidangan dengan beberapa kendaraan motor dan becak-becak. Maka itu persidangan kejadian dihadiri kira-kira 80 orang…”
Tiga hari kemudian, yaitu pada hari Jum’at 22 Syawal 1346 Hijri (12 April 1928), Tuan Ahmad Hakim (syaikh masâyikh al-hujjâj Singapura) menginisiasi pertemuan dalam skala yang lebih besar untuk menghormati kedatangan utusan Komite Hijaz dari Jawa tersebut. Sehari kemudian, yaitu pada Satu 23 Syawal 1346 Hijri (13 April 1928), delegasi Komite Hijaz diundang ke sociëteit Dâr al-Nâdî al-‘Arabî, yaitu sebuah forum perkumpulan keturunan Arab di Singapura. Di sana, pertemuan antara KH Abdul Wahhab Chasbullah dengan para tokoh Arab Singapura pun dilangsungkan dengan menggunakan bahasa Arab.
Persinggahan anggota delegasi Komite Hijaz di Singapura pun berakhir pada hari Selasa 26 Syawal 1346 Hijri (16 April 1928), di mana keduanya melanjutkan pelayaran menuju Jeddah, pelabuhan utama Hijaz.
Keinginan Syaikh Fadhlullah untuk Membuat Organisasi Semacam NU di Singapura
Dalam pertemuan antara delegasi Komite Hijaz (KH. Abdul Wahhab Chasbullah dan Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir) dengan para ulama, tokoh, dan umat Muslim Singapura, rupanya Syaikh Fadhlullah bin Suhaimi mengutarakan niatnya untuk membuat sebuah organisasi keislaman Ahlus Sunnah wal Jama’ah di Singapura, sebagaimana Nahdlatul Ulama (NU) yang telah terbentuk di Jawa.
Syaikh Fadhlullah bin Suhaimi mengatakan dalam pidato sambutannya (sebagaimana dikutip dalam memoar catatan Komite Hijaz 1928):
“…Dan kita syukur kepada Rabb al-‘Izzah yang kita penduduk tanah Singapur ini waktu sudah ada cita-cita akan mendirikan satu perkumpulan yang maksudnya sama dengan Nahdlatul Ulama. Dan sudah kejadian dua kali berkumpul. Akan tetapi masih ada bertengkaran dari hal nama saja. Ada yang minta nama I’tihsôm Ahlis Sunnah wal Jama’ah. Maka dengan sepenuh-penuh pengharapan supaya kita anak negeri di sini (Tanah Melayu) dengan selekas-lekasnya dapat mendirikan kumpulan yang kita harapkan itu.
Kemudian lantas bersambunglah kita dengan Nahdlatul Ulama di Surabaya, Jawa. Dan kami menguraikan lagi dengan sangat pengharapan kami supaya sekalian hadirin sama memperhatikan dengan sungguh-sungguh apa yang diuraikan oleh dua utusan tadi. Dan sungguh pun orang yang berkewajiban menerang-nerangkan keislaman kepada umum itu ialah kita kaum yang terpelajar. Lebih pula bangsa guru-guru dan qadhi-qadhi. Agar supaya kaum yang belum terserang fitnah-fitnah tadi bisa menjadi selamat...”
Kampung Glam Kini
Dalam kunjungan ke Kampung Glam di Singapura pada bulan Mei 2024 silam, saya melakukannya bersama dengan Gus Dr. Muhammad Najih dan Pak Khairul Anam. Di sana, rupanya kami berjumpa dengan Pak Ainun Najib, seorang praktisi teknologi informasi asal Gresik (Jawa Timur) yang berdomisili di Singapura; juga dengan Dr. Ayang Utriza Yakin, akademisi Indonesia yang mengajar di Université Catholique de Louvain (Belgia) dan sedang melakukan riset di Singapura.
Dalam kunjungan itu pula, kami merasa mendapat kehormatan karena ditemani oleh Tuan Ahmad Ubaidillah Mohamed Khair Ahmad Ubaidillah, cendikiawan muda Singapura yang juga pejabat pada Majlis Ugama Islam Singapura (MUIS).
Saat itu, kami tidak lagi mendapatkan jejak percetakan kitab-kitab Melayu-Nusantara yang pernah dikembangkan oleh orang-orang Jawa di Kampung Glam Singapura pada satu setengah abad silam. Saat ini, sebagian besar kitab-kitab Melayu-Nusantara yang pernah dicetak di Singapura pada kurun masa abad ke-19 dan 20 M tersebut tersimpan sebagai koleksi Perpustakaan Nasional Singapura.
Sebagai penggantinya, kami masih sempat mengunjungi kedai buku Nurul Anwar yang memiliki banyak koleksi buku-buku Melayu dan kitab-kitab Jawi. Di kedai buku tersebut, ternyata saya mendapati dua buah karya sederhana saya. Yang pertama adalah Mahakarya Islam Nusantara (Jakarta: Pustaka Compass, 2017), serta al-Mukhtashar al-Hawi fî Tarâjim Ba’dh ‘Ulamâ Bilâd Jâwî (Depok: Maktabah al-Turmusi, 2022).
Hal sedih lainnya, adalah kami juga tidak berkesempatan untuk menziarahi makam Syaikh Fadhlullah Suhaimi, ulama besar Singapura keturunan Jawa yang juga kawan dekat KH. Abdul Wahhab Chasbullah, karena jam kunjung (ziarah) sudah habis. Semoga suatu saat nanti, kami dapat berkunjung kembali ke Singapura dan berziarah ke makam Syaikh Fadhlullah.
Wallahu A’lam
Buitenzorg, Syawal 1446 Hijri
•] catatan ini ditulis untuk mengenang 100 tahun persinggahan Komite Hijaz [KH. Abdul Wahhab Chasbullah dan Syaikh Ahmad Ghanayim al-Amir] di Singapura (Syawal 1346 – Syawal 1446).
A Ginanjar Sya’ban, Filolog Islam Nusantara sekaligus Penulis Buku Dokumen Perjalanan Komite Hijaz dan Mahakarya Islam Nusantara
Terpopuler
1
Nekat Berhaji Tanpa Visa Resmi, WNI Terancam Dideportasi dan Dilarang Masuk Arab Saudi 10 Tahun
2
KH Aceng Aam Sebut Anak Terbaik Adalah yang Melebihi Orang Tuanya dalam Kebaikan
3
Shalawat Haji Karangan KH M Nuh Addawami Mustasyar PBNU Asal Garut
4
Peringati Harlah ke-91, GP Ansor Kertasemaya Gelar Tasyakuran dan Halal Bihalal
5
PCNU Cianjur Bersama Kemenag dan BPN Gelar Sosialisasi Sertifikasi Tanah Wakaf
6
Penerima Beasiswa Pascasarjana Pergunu Depok Jalani Ujian Tesis di Universitas KH Abdul Chalim Mojokerto
Terkini
Lihat Semua