Sejarah

Dzulqa’dah dalam Sejarah Abbasiyah: Warisan Singkat Sang Khalifah Muda

Jumat, 16 Mei 2025 | 09:29 WIB

Dzulqa’dah dalam Sejarah Abbasiyah: Warisan Singkat Sang Khalifah Muda

Dzulqa’dah dalam Sejarah Abbasiyah: Warisan Singkat Sang Khalifah Muda. (Ilustrasi: NU Online Jabar/Freepik).

Tak seorang pun mengetahui batas usia manusia. Kematian bisa datang kapan saja tanpa bisa diprediksi. Namun, hal yang paling tidak diharapkan adalah bila seseorang wafat dengan masih banyak tanggung jawab yang belum diselesaikan—terlebih jika ia memegang peranan penting dalam pemerintahan. Kondisi ini berpotensi memicu ketidakstabilan politik, terutama jika pemimpin negara wafat secara tiba-tiba.


Hal inilah yang terjadi pada Al-Muktafi, khalifah ke-17 dari Dinasti Abbasiyah. Ia wafat di usia muda, 30 tahun, setelah hanya enam tahun memimpin. Masa kekuasaannya tergolong sangat singkat, terutama jika dilihat dari sistem kekhalifahan Abbasiyah yang bersifat absolut—di mana seorang khalifah akan menjabat seumur hidup. Ketidaksiapan generasi penerus turut berkontribusi terhadap kemunduran dinasti ini setelah kepergian Al-Muktafi.


Sebagai perbandingan, jika seorang khalifah diangkat pada usia 25 tahun dan wafat pada usia 70, maka ia memimpin selama 45 tahun—jauh lebih lama dari Presiden Soeharto yang menjabat selama 32 tahun dalam sistem presidensial Orde Baru.


Naik Tahta di Tengah Krisis


Setelah ayahnya, Al-Mu’tadid Billah, jatuh sakit, Al-Muktafi—yang bernama asli Ali bin Al-Mu’tadid—dilantik sebagai khalifah pada Jumat sore, 9 Rabiul Awwal 289 H. Saat itu, ia sedang berada di Riqqah, bukan di ibu kota. Maka, Menteri Abul Husein al-Qasim bin Ubaidillah mengambil inisiatif melaksanakan pelantikan dengan mengirimkan surat kepada Al-Muktafi untuk menginformasikan penobatannya.


Ketika kembali ke Baghdad pada 7 Jumadal Ula, Al-Muktafi langsung mengambil langkah-langkah pembenahan pemerintahan. Ia membongkar penjara yang dibangun oleh ayahnya dan menggantinya dengan masjid. Ia juga memerintahkan pengembalian properti rakyat, seperti taman dan toko, yang sebelumnya disita oleh pemerintahan sebelumnya.


Kebijaksanaan dan sikap adil Al-Muktafi menjadikannya dicintai rakyat. Dalam Tarikhul Khulafa, Jalaluddin as-Suyuthi menuliskan bahwa rakyat sangat mencintainya dan mendoakannya karena kepemimpinannya yang indah dan bijaksana.


Gaya kepemimpinan Al-Muktafi sangat berbeda dengan pendahulunya, Al-Muhtadi, yang dikenal keras dan tegas. Meski berwatak keras, Al-Muhtadi berhasil mengangkat kembali kejayaan Abbasiyah setelah masa suram.


Menghadapi Pemberontakan


Selama masa kepemimpinannya, Al-Muktafi dihadapkan pada pemberontakan yang dipimpin Yahya bin Zakrawaih al-Qimrithi. Konflik ini berlangsung cukup lama sebelum akhirnya Yahya berhasil ditumpas pada 290 H.


Sayangnya, ideologi pemberontakan ini diteruskan oleh saudaranya, Al-Husein, bersama keponakan dan anaknya. Namun, ketiganya juga berhasil dikalahkan dan dibunuh pada tahun berikutnya, 291 H.


Akhir Masa Kepemimpinan dan Krisis Regenerasi


Al-Muktafi wafat pada malam Ahad, 12 Dzulqa’dah 295 H, pada usia 30 tahun. Selama enam tahun masa kepemimpinan, banyak urusan negara yang belum terselesaikan. Situasi ini menimbulkan tantangan besar bagi penggantinya dan membuka kemungkinan terjadinya instabilitas politik.


Penerus takhta adalah adiknya yang masih berusia 13 tahun, Al-Muqtadir. Usianya yang masih sangat muda sempat menimbulkan keraguan publik, bahkan ia ditanyai apakah sudah baligh atau belum. Karena ketidakmatangan politiknya, Al-Muqtadir dijadikan boneka oleh elite yang berkepentingan, dan hal ini menandai awal kemunduran Dinasti Abbasiyah kembali.


Tokoh Besar yang Wafat pada Masa Al-Muktafi


Beberapa tokoh penting wafat dalam masa pemerintahan Al-Muktafi, di antaranya: Abdullah bin Ahmad bin Hambal, ahli bahasa Tsa'lab, pakar qira’at Qunbul, faqih Abu Abdullah al-Busyanji, penulis Musnad Al-Bazzar, hingga ulama tasawuf Abul Husein an-Nuri dan Imam Abu Ja'far at-Tirmidzi dari madzhab Syafi'i di Irak. (Jalaluddin as-Suyuthi, Tarikhul Khulafa, 2016: h. 295-296).


Penulis: Muhamad Abror
Sumber: NU Online