Sejarah

Ijazah Tarekat Sammaniyah dari Kiai Murtadlo Kajen untuk Kiai Madyani Sampurnan Bertahun 1247 H (1832 M)

Ahad, 6 April 2025 | 09:22 WIB

Ijazah Tarekat Sammaniyah dari Kiai Murtadlo Kajen untuk Kiai Madyani Sampurnan Bertahun 1247 H (1832 M)

Selembar halaman dari naskah kuno tulis tangan (makhthûth/manuskrip) yang berisi ijazah dan silsilah tarekat Sammaniyah yang berasal dari pesisir utara Jawa pada awal abad ke-19 M. (Foto: NU Online Jabar/FB Ahmad Ginanjar Sya'ban).

Berikut ini adalah selembar halaman dari naskah kuno tulis tangan (makhthûth/manuskrip) yang berisi ijazah dan silsilah tarekat Sammaniyah yang berasal dari pesisir utara Jawa pada awal abad ke-19 M. 


Ijazah dan silsilah tersebut ditulis dalam bahasa Arab dan diberikan oleh Kiai Murtadlo dari Kajen (Juwana, Pati) kepada muridnya yang bernama Madyani [Abu Ishaq] bin Jana dari Mayang (Rengel, Tuban) yang kemudian bermukim di Sampurnan (Bungah, Gresik). Dalam titimangsa, diinformasikan jika ijazah tersebut ditulis pada malam Sabtu, tanggal 15 Sya’ban tahun 1247 Hijri (bertepatan dengan 20 Januari 1832 Masehi).


Tertulis di sana:


رسم بسيلا زجاني المتصل بالحجيني الجاوي الجواني خمسة عشر من شهر شعبان في ليلة السبت سنة 47 [كتبه] الفقير الى الله تعالى حج محمد مرتضى بن ورع المرحوم الجاوي الحجيني. وافقه الله في الدارين آمين.


(Surat [?] ijazah yang tersambung dengan orang Kajen Jawa Juana, pada tanggal lima belas dari bulan Sya’ban di malam Sabtu tahun [12]47, ditulis oleh seorang yang faqir kepada Allah Ta’ala, yaitu Haji Murtadlo bin Wira’i almarhum dari Jawa Kajen. Semoga Allah menuntunnya di dunia dan akhirat. Amin)


Teks berikutnya memuat shîghat (redaksi) pemberian ijazah dari Kiyai Murtadlo kepada Kiyai Madyani, sekaligus penyebutan pohon silsilah tarekat Sammaniyah yang menyambungkan sang pemberi dan penerima ijazah tersebut kepada sang inisiator tarekat Sammaniyah, yaitu Syaikh Muhammad Sammân al-Madanî (w. 1775 M). Tertulis di sana:


... وبعد، أجزتُ الى الشيخ الفاضل مدياني بن جانا التوباني التمياني الجاوي، بطريقة شيخنا محمد سمان. أخذنا ذلك [؟] عن شيخنا عبد الرحمن الآشي بن رجا لم تمن، وهو عن الشيخ عبد الرحمن بن الشيخ عبد العزيز المغربي العمري، وهو عن شيخنا قطب الأكوان وبحر العرفان مولانا الشيخ محمد السمان ...


(… Wa ba’du. Saya mengijazahkan kepada seorang syaikh yang utama Madyani bin Jana Tuban Temayang Jawa, atas tarekat Syaikh kami Muhammad Samman. Kami mengambil tarekat tersebut [?] dari guru kami Syaikh Abdurrahman Aceh bin Raja [Taman Lima?], beliau mengambil dari Syaikh ‘Abd al-Rahmân bin ‘Abd al-‘Azîz al-Maghribî al-‘Umarî, beliau mengambil dari Syaikh kami yang menjadi petala semesta dan samudera pengetahuan, Maulana al-Syaikh Muhammad al-Sammân …)


Dari Syaikh Sammân al-Madanî, silsilah tersebut kemudian menyambung kepada para sosok ulama sufi besar dari generasi ke generasi, hingga kepada sahabat Ali bin Abi Thalib dan kepada Rasulullah Saw.


Selembar halaman yang memuat teks ijazah dan silsilah tarekat Sammaniyah ini terselip dalam sebundel manuskrip yang didigitalisasi oleh project Dreamsea dengan nomor kode DS 0097 00044, koleksi Pondok Pesantren Qamaruddin Sampurnan, Bungah, Gresik (Jawa Timur).


Meski hanya selembar, tetapi teks yang tertulis di dalamnya sangat penting keberadaannya karena merekam data dan informasi mengenai jaringan ulama dan sejarah pemikiran Islam Nusantara, khususnya di pesisir utara pulau Jawa, pada awal abad ke-19 M. 


Dua sosok ulama pemberi dan penerima ijazah, yaitu Kiai Murtadlo Kajen dan Kiai Madyani Abu Ishaq Sampurnan. Kedua ulama tersebut hidup pada peralihan abad ke-18 dan 19 M. 


Kiai Murtadlo Kajen sendiri merupakan saudara (adik) dari Kiai Asnawi Sepuh Kudus. Keduanya adalah putra dari Kiai Hasan Wira’i Kajen. Dalam pohon silsilah Syaikh Ahmad al-Mutamakkin Kajen (w. 1740 M) yang diperlihatkan oleh Gus Nanal Ainal Fauz kepada saya, disebutkan jika Kiai Hasan Wira’i Kajen merupakan suami dari Nyai Jiroh Kajen, cucu dari Syaikh Ahmad al-Mutamakkin Kajen, seorang ulama besar sekaligus wali masyhur dari Jawa yang hidup pada peralihan abad ke-17 dan 18 M. 


Meski terhitung sebagai saudara kandung dan kakak beradik, namun antara Kiai Murtadlo Kajen dan Kiai Asnawi Sepuh Kudus memiliki afiliasi tarekat yang berbeda. Kiyai Murtadlo merupakan pengikut dan pengamal tarekat Sammaniyah, sementara Kiyai Asnawi Sepuh merupakan pengikut dan pengamal tarekat Syathariah. 


Menariknya, baik silsilah tarekat Sammaniyah Kiai Murtadlo atau pun tarekat Syathariah Kiai Asnawi Sepuh, keduanya tersambung dengan “jalur Aceh”. Kiai Murtadlo mengambil silsilah Sammaniyah dari gurunya yang merupakan seorang ulama Aceh bernama Syaikh Abdurrahman Aceh, sementara silsilah Syathariah Kiai Asnawi Sepuh tersambung kepada buyutnya, yaitu Syaikh Ahmad al-Mutamakkin Kajen, yang mana Syaikh Ahmad al-Mutamakkin mengambil silsilah Syathariah dari gurunya yang bernama Syaikh Abdul Rauf Singkil Aceh (w. 1693).


Adapun Kiai Madyani, beliau adalah putra dari Kiyai Jana yang berasal dari Mayang, Rengel, Tuban (Jawa Timur). Ibunya adalah Nyai Syari’ah (Nyai Jana) binti Kiai Syihabuddin, keponakan sekaligus anak angkat dari Syaikh Abdurrahman Padangan, seorang ulama besar dari Padangan (Bojonegoro, Jawa Timur) di peralihan abad ke-18 dan 19 M. 


Kiai Madyani juga tercatat belajar kepada Kiai Sholeh Awwal bin Qamaruddin, seorang ulama besar pengasuh sebuah pesantren di Sampurnan, Bungah, Gresik, Jawa Timur. Oleh sang guru (Kiyai Sholeh Awwal), Kiai Madyani kemudian diambil menantu dan dinikahkan dengan putrinya, yaitu Nyai Rosiah binti Sholeh Awwal. Dari pernikahan tersebut, lahir Kiai Sholeh Tsani bin Kiai Madyani yang menurunkan generasi para ulama dan pengasuh pesantren Qamaruddin di Sampurnan, Bungah, Gresik.  


Ketika menerima ijazah dan sanad tarekat Sammaniyah dari Kiai Murtadlo Kajen di bulan Sya’ban 1247 Hijri (Januari 1832 Masehi), Kiai Madyani tampaknya sudah menjadi ulama yang bermukim dan mengasuh pesantren Qamaruddin di Sampurnan, Bungah, Gresik. Hal ini sebagaimana terlacak dalam beberapa teks yang ia salin yang tergabung dalam bundel manuskrip Dreamsea DS 0097 00044. 


Pada teks pertama, misalnya, dijumpai kolofon yang menerangkan jika Kiai Madyani selesai menyalin teks manual dzikir Sammaniyah pada malam Jum’at, 30 Rajab tahun “Ze” 1247 Hijri (05 Januari 1832 Masehi) di desa Sampurnan, Gresik. Demikian juga pada teks kedua, dijumpai titimangsa (kolofon) yang menjelaskan jika Kiai Madyani selesai menyalin teks kitab “Ighâtsah al-Lahfân” karya Syaikh Muhammad al-Sammân pada waktu dhuha hari Kamis, 5 Sya’ban tahun “Ze” 1247 Hijri (11 Januari 1832 Masehi), juga dilakukan di desa Sampurnan, Gresik. 


Ijazah dan silsilah yang diterima oleh Kiai Madyani dari Kiai Murtadlo Kajen sendiri terkonfirmasi bertarikh 15 Sya’ban 1247 Hijri (20 Januari 1832 Masehi). Tarikh tersebut tidak berjauhan dengan tarikh penyalinan teks “Ighâtsah al-Lahfân” yang dilakukan oleh Kiai Madyani di Sampurnan, Gresik, pada 05 Sya’ban 1247 H (11 Januari 1832 M). jarak antara kedua teks tersebut hanya selisih sekitar sepuluh hari saja.


Pertanyaannya: di manakah tempat terjadinya perjumpaan antara Kiai Murtadlo dengan Kiai Madyani ketika Kiai Murtadlo memberikan ijazah dan silsilah tarekat Sammaniyah kepada Kiai Madyani? Apakah Kiai Madyani datang ke tempat Kiai Murtadlo di Kajen (Juwana, Pati), ataukah sebaliknya, yaitu Kiai Murtadlo berkunjung ke tempat Kiai Madyani di Sampurnan (Bungah, Gresik)? Atau mungkin di tempat lain di luar Kajen dan Sampurnan? Wallahu A’lam.


Halaman lain pada manuskrip DS 0097 00044 merekam nama lain yang tampaknya menjadi salah satu guru dari Kiai Madyani. Sosok tersebut adalah Kiai Zaed dari pesantren Deserma (Sidosermo), Surabaya. 


Saya sendiri belum mendapatkan record sejarah lainnya yang menginformasikan mengenai kemungkinan Kiai Madyani Tuban juga berguru kepada kedua kakeknya, yaitu Kiai Syihabuddin Padangan dan Syaikh Abdurrahman Padangan (kakak Kiai Syihabuddin). Pada peralihan abad ke-18 dan 19 M, Padangan terhitung sebagai salah satu pusat tradisi keilmuan Islam yang penting di kawasan perbatasan Jawa Tengah dan Jawa Timur. 


Pada pertengahan tahun 2022 silam, saya bersama-sama dengan beberapa rekan dari Nahdlatut Turots berkesempatan untuk mengunjungi daerah Padangan di Bojonegoro, Jawa Timur. Di sana, saya berziarah ke beberapa makam ulama Padangan seperti Kiai Sabil (mertua Kiai Sambu Lasem) dan Syaikh Abdurrahman Padangan. 


Kami juga mengunjungi Pesantren al-Basyiriyyah Padangan. Selain menjumpai arsitektur bangunan tua yang khas, di pesantren tersebut juga kami banyak menjumpai sejumlah koleksi manuskrip (naskah tua tulis tangan) peninggalan masa Syaikh Abdurrahman Padangan dari awal abad ke-19 M. Di antara manuskrip peninggalan Syaikh Abdurrahman Padangan adalah catatan perjalanan hajinya yang dilakukan pada tahun “Ze” 1221 Hijri (bertepatan dengan 1806 Masehi).


Menariknya, dalam manuskrip terebut, Syaikh Abdurrahman Padangan mencatatakan kota-kota yang disinggahinya salama perjalanan haji baik pergi atau pun pulang, lengkap dengan keterangan hari, bulan dan tahunnya.


Selain itu, selembar halaman manuskrip di atas juga merekam data dan informasi penting terkait sejarah perkembangan tarekat Sammaniyah di kawasan pesisir utara pulau Jawa, tepatnya di sekitar wilayah Pati-Tuban-Gresik. Beberapa sarjana besar yang menulis terkait sejarah perkembangan tarekat Sammaniyah di Nusantara, seperti Azyumardi Azra (dalam bukunya “Jaringan Ulama Timur Tengah dan Kepaulauan Nusantara Abad XVII & XVIII), juga Martin van Bruinessen (dalam bukunya “Kitab Kuning, Pesantren, dan Tarekat”), menyebut jika tarekat Sammaniyah berkembang di wilayah kepulauan Nusantara dengan dibawa oleh para murid Syaikh Sammân al-Madanî, yaitu Syaikh Abdul Shamad Palembang (w. 1822), Syaikh Arsyad Banjar (w. 1812), dan Syaikh Abdurrahman al-Mishri Betawi. Pusat-pusat tarekat Sammaniyah di Nusantara pun terfokus di lingkungan kesultanan Palembang, Banjar, dan Betawi.


Keberadaan manuskrip DS 0097 00044 koleksi pesantren Qamaruddin Sampurnan, Bungah, Gresik (Jawa Timur) yang berisi ijazah-silsilah tarekat Sammaniyah yang diberikan oleh Kiai Murtadlo Kajen (Juwana, Pati) kepada Kiai Madyani Sampurnan (Bungah, Gresik) tentu saja memberikan insight baru, yaitu temuan fakta keberadaan ulama asal Kajen (Juwana, Pati) di Jawa yang juga terlibat aktif dalam peta jaringan tarekat Sammaniyah di Nusantara pada generasi awal abad ke-19 M, selain tiga tokoh yang telah disebutkan di atas sebelumnya. 


Kiai Murtadlo Kajen memang tidak mengambil langsung silsilah tarekat Sammaniyah dari inisiatornya, yaitu Syaikh al-Sammân, melainkan dari Syaikh ‘Abd al-Rahmân al-Maghribî al-‘Umarî, yang merupakan murid langsung dari Syaikh al-Sammân.


Fakta menarik lainnya adalah bahwa tarekat Sammaniyah di Nusantara, selain berkembang di Palembang, Banjarmasin, dan Betawi, rupanya juga berkembang di pesisir utara Jawa, tepatnya di dua pesantren tua di Kajen (Pati, Jawa Tengah) dan Sampurnan (Gresik, Jawa Timur). Sejak berabad-abad lamanya, dua pesantren tua tersebut menjadi kiblat penting bagi studi ilmu-ilmu keislaman dan masih eksis hingga hari ini. 


Wallahu A’lam


A Ginanjar Sya’ban, Filolog Islam Nusantara sekaligus Penulis Buku Dokumen Perjalanan Komite Hijaz dan Mahakarya Islam Nusantara