• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

KOLOM PROF DIDIN

Orde Baru dan Pentingnya Belajar Sejarah

Orde Baru dan Pentingnya Belajar Sejarah
Orde Baru dan Pentingnya Belajar Sejarah
Orde Baru dan Pentingnya Belajar Sejarah

Minggu-minggu ini jagad publik di Indonesia dihebohkan oleh narasi tentang kemunculan model politik gaya orde baru dalam belantika perpolitikan nasional. Tentu saja hal ini memantik pro kontra dari masing-masing kubu paslon pilpres tahun 2024. Namun yang paling menarik perhatian di tengah pro dan kontra adanya statemen yang disampaikan oleh tokoh muda pimpinan satu partai politik yang relatif baru tapi punya kedekatan khusus dengan penguasa saat ini. Tokoh muda yang merespon narasi kemunculan orde baru ini menyatakan sebagaimana dikutip oleh salah satu media utama nasional bahwa "Saya enggak tahu maksudnya definisi seperti Orde Baru seperti apa dulu? Karena saya sendiri kan … tidak mengalami. Karena waktu itu saya masih umurnya kecil, jadi saya enggak mengalami". Lebih lanjut ia menyatakan, "Balik lagi, saya tidak hidup di zaman itu. Jadi saya harus tanya ke teman-teman yang di mana definisinya sebelum tanya saya tuh seperti apa."  Tentu saja pernyataan ini menimbulkan kehebohan tersendiri terutama di kalangan mereka yang terdidik terutama di kalangan mereka yang menggeluti sejarah. 


Peristiwa tidak berasal dari dan atau datang ke ruang yang kosong


Kehidupan manusia dalam konteks waktu merupakan perjalanan dari satu episode ke episode berikutnya. Setiap episode kehidupan baik dalam konteks pribadi dan apalagi sebuah bangsa yang besar tentu saja tidak berangkat dari dan atau datang ke dalam ruang yang hampa. Sebaliknya berbagai peristiwa dalam setiap episodenya merupakan kelanjutan atau kritik terhadap episode sebelumnya. Jika merujuk pada konsep kemajuan dalam sejarah pemikiran manusia yang dibangun oleh seorang filosof Jerman, G.W. F. Hegel, manusia akan selalu melakukan kritik terhadap realitas sejarah yang ada untuk membangun ide masa depan yang diharapkan. Artinya suatu masa dalam babakan sejarah merupakan kritik terhadap masa sebelumnya. 


Jika merujuk pada lahirnya era reformasi di Indonesia pada akhir tahun 90-an, kita bisa menjelaskan secara meyakinkan bahwa era reformasi merupakan kritik terhadap era orde baru sebelumnya. Pada saat yang sama, kelahiran era reformasi ini dipandang sebagai  bagian dari upaya mewujudkan cita-cita dan harapan akan kehidupan yang lebih baik di masa depan. Sebagai sebuah kritik mereka yang hidup di era baru ini tidak jarang menjadikan era orde baru yang dipandang buruk itu sebagai alat untuk “menghosting” pihak-pihak yang “diduga” akan menyelewengkan harapan dan cita-cita dari era reformasi ini. Tentu saja mereka yang tidak paham akan “ghosting” tersebut tidak akan banyak merespon atau bahkan tidak merasa penting merespon. Di sinilah pentingnya belajar sejarah. 


Belajar Sejarah


Salah seorang sejarahwan terkemuka Indonesia, Kuntowijoyo, mendefenisikan sejarah sebagai “suatu hal atau peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu yang direkonstruksi atau membangun kembali kejadian masa lampau untuk kepentingan masa kini dan masa mendatang”. Dari pengertian ini paling tidak ada 3 poin penting. Pertama, sejarah itu tentang peristiwa yang sudah terjadi di masa lalu. Sejarah tidak bicara tentang apa yang bakal terjadi dan atau diperkirakan akan terjadi di masa depan. Karenanya sejarah bicara tentang fakta yang sudah ada dan bisa dipertanggungjawabkan kebenarannya berdasarkan sumber-sumber yang meyakinkan. Kedua, peristiwa masa lalu tersebut kemudian direkontruksi menjadi kisah akan peristiwa tersebut. Peristiwa masa lalu yang mungkin terjadi bila tidak ada yang merekontruksi atau mengkisahkan tentunya akan hilang beserta dengan perjalanan waktu. Peristiwa masa lalu apa yang banyak dikisahkan? Tentunya peristiwa yang dipandang penting baik oleh masyarakat dan terutama pada sejarahwan. Ketiga, untuk apa peristiwa masa lalu itu direkontruksi? Tentu saja kisah masa lalu tersebut bisa menjadi sumber inspirasi sekaligus petunjuk untuk melihat realitas masa kini sekaligus menjadi rujukan untuk menatap masa depan. 


Di sinilah pernyataan tokoh politisi muda sebagaimana telah disebutkan di atas sangat patut dipertanyakan, tidak saja oleh para sejarahwan secara professional akan tetapi oleh publik pada umumnya. Mengetahui dan memahami sejarah masa lalu tidak dipersyaratkan mengharuskan seseorang atau suatu kelompok menjadi bagian tak terpisahkan dari peristiwa tersebut baik sebagai pelaku dalam peristiwa masa lalu tersebut atau hanya menjadi saksi saja.


Jika “kehadiran fisik” seseorang yang berbicara atau mengkaji sejarah dijadikan suatu persyaratkan bagaimana kita mengetahui misalnya tentang manusia pertama (Nabi Adam As) di muka bumi ini. Apakah kita harus kembali ke masa Nabi Adam As untuk mengetahui dan berbicara tentang sosok dan kehidupannya? Tentu saja hal ini tidak mungkin. Singkatnya, mengetahui dan memahami sesuatu yang terjadi di masa lalu tidaklah berarti harus mengalaminya secara langsung. Mengetahui bagaimana perjuangan para pahlawan merebut dan mempertahankan kemerdekaan tidak lantas harus secara langsung terlibat dalam perjuangan tersebut. Jadi sekali lagi bahwa berbicara tentang sejarah itu berbicara tentang hasil rekontruksi para sejarahwan tentang berbagai peristiwa masa lalu berdasarkan sumber-sumber terpercaya. Pada saat yang sama, mempelajari sejarah berarti menjadikan berbagai peristiwa masa lalu sebagai sumber inspirasi untuk membangun kebaikan masa kini dan masa depan. Sebaliknya kelalaian untuk belajar sejarah tidak saja akan mengakibatkan minimnya pengetahuan dan kesadaran akan segala hal terkait dengan asal usulnya, akan tetapi akan berdampak pada kegagapan dalam realitas masa kini dan masa depan . Wallahu’alam 


Prof Didin Nurul Rosidin, Direktur Pesantren Terpadu Al-Mutawally, Wakil Ketua Syuriah PCNU Kuningan dan Guru Besar IAIN Syekh Nurjati Cirebon


Opini Terbaru