• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Opini

HUT ke-77 RI

Refleksi Kemerdekaan dalam Layanan Kesehatan Gotong Royong

Refleksi Kemerdekaan dalam Layanan Kesehatan Gotong Royong
Refleksi Kemerdekaan dalam Layanan Kesehatan Gotong Royong. (Ilustrasi: NUBanyuwangi).
Refleksi Kemerdekaan dalam Layanan Kesehatan Gotong Royong. (Ilustrasi: NUBanyuwangi).

Hari ini bangsa Indonesia memperingati kemerdekaan, seluruh masyarakat Indonesia tanpa melihat latar belakang etnis, budaya, dan agamanya mengadakan peringatan kemerdekaan dan memanjatkan doa syukur. Peringatan dilakukan dengan mengadakan berbagai acara lomba yang menghibur untuk mengungkapkan rasa suka cita yang tinggi. Seperti apakah kita dalam memaknani kemerdekan Indonesia?


Walaupun demikian kemerdekaan adalah hak setiap bangsa, kenyataannya bangsa Indonesia sangat bersusah payah untuk mendapatkannya. Jutaan nyawa harus melayang, ratusan peperangan harus terjadi, dan tak terbilang harta kekayaan bangsa ini dijarah bangsa lain dengan cara keji. 


Ungkapan kegembiraan masyarakat terlihat setiap menjelang tanggal 17 Agustus dari Sabang hingga Merauke, dari Miangas hingga Pulau Rote. Tradisi itu telah berjalan turun-temurun. Sepanjang Indonesia masih ada, generasi baru Indonesia akan terus menjaganya, Sudah 77 Tahun Republik ini berdiri, pertanyaan apakah kita sebagai masyarakat yang paham kesehatan sudah merdeka? Merdeka dalam konteks sebagai warga negara yang merdeka, berdiri dan duduk setara.


Inilah pertanyaan-pertanyaan dasar yang harus selalu direfleksi tiap perayaan kemerdekaan. Banyak orang terjebak merayakan kemerdekaan sebagai ritual tanpa makna. Terjebak bentuk–bentuk perayaan tapi kehilangan substansi. Berbagai ritual seperti upacara bendera, pawai, panjat pinang memanglah perlu tetapi bukan utama. Lalu Bagaimana memaknai kemerdekaan?


Pembukaan UUD 1945 alinea ke dua yaitu “Dan perjuangan pergerakan kemerdekaan Indonesia telah sampailah kepada saat yang berbahagia dengan selamat sentausa mengantarkan rakyat Indonesia ke depan pintu gerbang kemerdekaan Negara Indonesia, yang merdeka, bersatu, berdaulat, adil dan makmur”. Banyak cara memaknai kemerdekaan, banyak hal dapat dilakukan. “Kemerdekaan” dirasakan dari sisi-sisi lain kehidupan, termasuk kesehatan.


Bagaimana dalam memperoleh layanan kesehatan sebagai dasar Pasal 28 H ayat (1) UUD 1945 menyatakan bahwa setiap orang berhak hidup sejahtera lahir dan batin, bertempat tinggal, dan mendapatkan lingkungan hidup yang baik dan sehat serta berhak memperoleh pelayanan kesehatan.


Kemerdekaan tidak seharusnya hanya dimaknai terbebas dari penjajahan, namun lebih luas lagi sebagai rasa tidak tergantung kepada pihak lain, termasuk belenggu rasa sakit. 


Makna penting yang diwariskan dari kemerdekaan berupa kebebasan, bukanlah kebablasan. Kemerdekaan sebagai kebebasan konstruktif untuk membangun diri juga negeri agar terbebas dari belenggu kemiskinan, kebodohan, kesakitan, dan segala problematika hidup dan kehidupan. 
Kesehatan itu kebutuhan setiap insan. 


Menurut Abraham Maslow manusia memiliki lima tingkat kebutuhan hidup yang akan selalu berusaha untuk dipenuhi sepanjang masa hidupnya, lima tingkat ini dapat membedakan setiap manusia dari sisi kesejahteraan hidupnya. Adanya kebutuhan akan keamanan dan keselamatan termasuk kemerdekaan bebas dari ancaman, penjajahan, di samping ada kebutuhan fisiologis (sandang, pangan, papan), sosial, pertemanan, keluarga, penghargaan, dan aktualisasi diri. Teori Maslow jelas menggambarkan bahwa ada kebutuhan akan kebebasan, termasuk terbebas dari masalah kesehatan adalah penting. 


Berbagai peran telah dijalankan pemerintah dalam menjembatani berbagai persoalan kesehatan, namun kata pepatah “masih jauh panggang dari api” masih banyak persoalan yang perlu dibenahi dengan berbagai strategi guna mencapai cita-cita bangsa Indonesia sebagai bangsa yang merdeka.


Kesehatan sebagai aspek paling penting dalam kehidupan manusia.

 Berbagai cara ditempuh untuk menjadi sehat bahkan meningkatkan derajat kesehatan berupa sehat fisik, psikis, sosial, juga spiritual melingkupi aspek “bio-medis-psiko-sosio-spiritual,” memandang individu sebagai satu kesatuan yang utuh/holistik, tidak terpisah-pisah mencakup makna tidak saja cure/mengobati sakit, namun juga care/peduli kesehatan, dan menjaga perilaku/etika secara proporsional.

Peran bidang kesehatan yang dulu hanya berfokus pada terapi, ke depan diharapkan dominan memerankan aktivitas preventif/pencegahan, dan promotif/komunikasi, informasi dan edukasi dalam berkesehatan tanpa mengesampingkan peran kuratif dan rehabilitatif bila diperlukan. 

Langkah-langkah pemerintah berangsur-angsur mengedepankan pola ini, salah satunya melalui implementasi Sistem Jaminan Sosial Nasional (SJSN) sebagai pengejawantahan dari tanggung jawab pemerintah akan jaminan kesehatan bagi seluruh rakyat Indonesia. 

Walaupun belum sempurna akan tetapi sudah berani memulai, dengan segala kelemahan dan kekurangannya. Dengan telah diundangkan akan menjadi kekuatan hukum yang suka maupun tidak suka akan mengikat setiap warga untuk melaksanakannya termasuk tenaga kesehatan di dalamnya. 

Kesan dalam pengabdian dan bekerja adalah ibadah. Salah satu refleksi bahwa tugas kita hanyalah berupaya bukan hasil dari upaya itu. 

Jadi, Apakah kita sudah dan mampu memaknai kemerdekaan ini dengan baik? Akankah ungkapan (Gemah ripah loh jinawi, toto tentrem kertoraharjo) tentram dan makmur, tanahnya sangat subur dapat terwujud?

Sebagai realisasi Pasal 33 UUD 1945. Dalam Penanganan Pasien, masih sangat kental dalam ranah penanganan pasien BPJS/Badan Penyelenggara Jaminan Sosial, ungkapan “BPJS, Banyak Pekerjaan Jasa Sedikit” layak dianalisis kembali, sudah “merdeka” kah tenaga kesehatan akan otoritas terkait layanannya? Pemberi Pelayanan Kesehatan pertama/PPK I (praktek Dokter Umum/Gigi, Puskesmas, Klinik/RS Pratama) dikenakan sistem kapitasi. Menurut Pasal 51 UU Praktik Kedokteran 2014, “Dokter berkewajiban memberikan pelayanan medis sesuai dengan standar profesi dan standar operasional prosedur/SOP serta kebutuhan medis pasien, bila tidak terpenuhi bisa di ancam pidana kurungan paling lama 1 tahun atau denda Rp 50 juta”. 

Walaupun tidak dapat dipungkiri manfaat yang dirasakan masyarakat dengan program ini. Akan kah “kemerdekaan” di bidang kesehatan dapat terwujud?, tanggung jawab yang dapat diperankan bersama antara pemerintah dan masyarakat, bentuk “kegotongroyongan” dalam pola SJSN salah satu agenda peran tersebut.

Orang bijak mengatakan kesehatan bukanlah segalanya, akan tetapi tanpa kesehatan segalanya tiada arti. Badan Kesehatan Dunia (WHO) menyebut ‘’health is a state of complete physical, mental and social well-being and not merely the absence of diseases or infirmity’’ bermakna suatu kondisi tidak saja sehat fisik, mental, sosial, serta sejahtera tidak hanya ketiadaan penyakit atau kekurangan, dapat pula diartikan “kemerdekaan”, tidak terbelenggu kesakitan, dan ketergantungan kepada pihak tertentu. 

Empat komponen utama sebagai satu kesatuan sehat, yakni : sehat jasmani, mental, sosial, spiritual.

Berdasarkan Undang-undang/UU No. 23 Tahun 1992, UU No. 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan, dan UU No. 29 Tahun 2004 tentang Praktek Kedokteran, Kesehatan berarti situasi sejahtera dari tubuh, jiwa, serta sosial yang sangat mungkin tiap-tiap orang hidup produktif dengan cara sosial serta ekonomis.

Mari saling Gotong royong, mengigatkan dan belajar memahami kapasitas masing-masing agar persoalan kesehatan sehingga dapat dinikmati oleh seluruh masyarakat. Dan kita semua mendapatkan barokah dalam mewujudkan cita-cita kemerdekan yang telah diperjuangkan oleh para leluhur kami. 

Dirgahayu Republik Indonesia !


dr. Masludi, salah seorang dokter kader NU, Domisili di Desa Tugu Kidul, Sliyeg - Indramayu


Opini Terbaru