Opini

Rombel 50 Siswa, Gugatan yang Layak Dimenangkan: Niat Baik Tak Menghapus Pelanggaran

Jumat, 8 Agustus 2025 | 14:26 WIB

Rombel 50 Siswa, Gugatan yang Layak Dimenangkan: Niat Baik Tak Menghapus Pelanggaran

Saepuloh, Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama Provinsi Jawa Barat. (Foto: Istimewa)

Oleh Dr. H. Saepulo
Dunia Pendidikan itu bukan cuma soal Niat Baik. Jelas, gimana caranya pendidikan berjalan mulus kalau kebijakan yang sah, justru menabrak aturan, menyampingkan sekolah swasta, dan membebani guru serta siswa. Momen inilah yang sedang rame, rakyat mulai greget dan menggugat. Inilah curhatan terkini dari Jawa Barat.

 

Bayangin aja, delapan organisasi sekolah swasta melayangkan gugatan ke PTUN terkait Keputusan Gubernur Jawa Barat tentang satu Rombel maksimal 50 Siswa. Mereka sebetulnya bukan menolak semangat untuk mengatasi jumlah anak yang putus sekolah, justru ini perlawanan kepada kebijakan yang malah menciptakan ketimpangan baru.

 

Alasan Darurat dan Konsultasi Tak Bisa Jadi Dalih

Pemprov Jabar mengonfirmasi kalau ini kondisi darurat, secara spesifik tujuannya menyasar anak-anak yang rawan putus sekolah. Klaim pemerintah menyatakan Kebijakan ini udah dikonsultasikan ke Dirjen Pendidikan Dasar dan Menengah Kemendikbudristek RI. Pasalnya, alibi darurat atau konsultasi tidak bisa jadi legitimasi atas pelanggaran ke aturan yang lebih tinggi.


Pertanyaannya jadi begini: “Apa kegiatan Konsultasi itu ada izin tertulisnya? Apa sudah ada relaksasi resmi ke Permendikbudristek No. 47/2023 yang berisi batas maksimal siswa per rombel? Apa ada dispensasi ke Permendikbudristek No. 22/2023 tentang standar ruang kelas?”


Selagi belum ada dokumen resmi dari Pemerintah Pusat yang bilang kalau satu rombel boleh berisi 50 siswa secara hukum, kebijakan ini tetap jadi sebuah pelanggaran administratif yang sah dibatalkan oleh PTUN.


Kerugian yang Nyata dan Sistemik

Dampaknya begitu masif: sekolah swasta kehilangan murid secara drastis, bahkan hingga 80–95% di beberapa wilayah. Para Guru bakal kehilangan jam mengajar dan tunjangan profesi, Kelas makin padat, guru kecapekan, dan siswa nggak dapat layanan pendidikan yang layak dan optimal.


Coba saja dipikir logis, nggak bisa kan hal seperti ini dikatakan perbaikan sistem. Sebaliknya, ini adalah boomerang, bentuk ketidakseimbangan dan ketidakadilan baru. Kita perlu prihatin kepada sistem pendidikan hari ini.


Pembatalan SK adalah Pemulihan Akal Sehat

Jika PTUN mengabulkan gugatan dan membatalkan SK Gubenur Jawa Barat  Nomor 463.1/Kep.323-Disdik/2025 tersebut, maka ini adalah langkah menuju pemulihan tata kelola pendidikan yang lebih baik. Pemerintah tetap bisa menangani anak-anak putus sekolah, tapi dengan cara yang lebih bijak dan berkeadilan: 
 

1. Bangun ruang kelas baru, bukan menumpuk siswa.
2. Libatkan sekolah swasta sebagai mitra strategis, bukan dikorbankan.
3. Berikan subsidi afirmatif untuk siswa miskin di swasta, bukan dimonopoli di negeri.


Mungkin terkesan provokatif, tapi kita semua perlu sadar jika Pendidikan itu tanggung jawab bersama. Kita perlu menciptakan solusi lewat kolaborasi bersama, bukan sepihak yang di satu sisi menyelamatkan, tapi sisi lainnya hancur berantakan.

 

Penutup

Kami menyambut baik niat Gubernur Jawa Barat dalam upaya mengatasi permasalahan anak putus sekolah lewat daya tampung rombel. Tapi kebijakan ini harus dicabut demi keadilan dan mutu. Negara hukum tidak membenarkan pelanggaran hanya karena dilakukan dengan niat baik atau alasan darurat. Konsultasi bukanlah legalisasi, dan darurat bukanlah pembenaran.


PTUN bukan hanya tempat menggugat legalitas, tapi juga ruang untuk mengoreksi arah kebijakan agar kembali ke jalur yang benar. Jika gugatan ini dimenangkan, itu adalah kemenangan bagi hukum, pendidikan bermutu, dan keadilan sosial.


Penulis adalah Ketua Persatuan Guru Nahdlatul Ulama Provinsi Jawa Barat