Opini

Hijrah Nabi dan Tragedi Karbala: Pelajaran Tanggap Darurat dalam Bencana Sosial

Sabtu, 12 Juli 2025 | 15:12 WIB

Hijrah Nabi dan Tragedi Karbala: Pelajaran Tanggap Darurat dalam Bencana Sosial

Ilustrasi perang. (Foto: Pinterest)

Oleh Arief A
Bencana, menurut Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2007 tentang Penanggulangan Bencana, adalah peristiwa atau rangkaian peristiwa yang mengancam dan mengganggu kehidupan dan penghidupan masyarakat, yang disebabkan oleh faktor alam, non-alam, maupun manusia.

 

Sementara menurut Perserikatan Bangsa-Bangsa (PBB), bencana adalah gangguan serius terhadap fungsi suatu komunitas atau masyarakat yang menyebabkan kerugian besar pada manusia, materi, ekonomi, atau lingkungan, dan melampaui kemampuan masyarakat terdampak untuk menghadapinya dengan sumber daya yang dimiliki sendiri.

 

Secara umum, bencana diklasifikasikan ke dalam tiga kategori: bencana alam, bencana non-alam, dan bencana sosial. Dua kategori pertama seringkali menjadi fokus perhatian, sementara bencana sosial cenderung luput dari pembahasan. Padahal, bencana sosial—seperti konflik politik, konflik antarumat beragama, dan konflik etnis—dapat memicu kekerasan hingga menimbulkan korban jiwa, kerugian materi, serta luka sosial berkepanjangan.

 

Jika potensi bencana alam memerlukan adaptasi terhadap perubahan iklim, maka dalam menghadapi potensi konflik sosial karena perbedaan agama atau keyakinan, adaptasi yang dibutuhkan adalah toleransi serta penciptaan ruang dialog yang inklusif.

 

Sejarah mencatat bahwa bencana sosial acapkali tidak terhindarkan. Oleh karena itu, penting bagi kita untuk belajar dari masa lalu guna mengurangi risiko dan mempercepat respons tanggap darurat saat konflik tak terelakkan.

 

Refleksi Muharram: Jejak Hijrah dan Karbala

Bulan Muharram menjadi momen reflektif bagi umat Islam. Dua peristiwa penting dalam sejarah Islam—hijrah Nabi Muhammad SAW dan tragedi Karbala—memberikan pelajaran mendalam tentang penanggulangan bencana sosial.

 

Hijrah Nabi sebagai Strategi Kemanusiaan

Hijrah Nabi Muhammad SAW dari Mekah ke Madinah terjadi ketika dakwah Islam mulai ditentang keras oleh kaum Quraisy. Penolakan itu bahkan berujung pada intimidasi dan kekerasan terhadap para pengikut Nabi. Dalam kondisi itu, Nabi memilih hijrah sebagai strategi penyelamatan.

 

Dalam bukunya Aksi Lingkungan dan Perdamaian Dunia dijelaskan bahwa Nabi berhijrah karena dua alasan utama: menjaga kesucian Kota Mekah dari pertumpahan darah dan karena rasa kasih sayang terhadap umatnya yang tertindas, khususnya perempuan, anak-anak, dan orang tua.

 

Nabi bersabda sebagaimana diriwayatkan dalam hadis Ibnu Abbas:

 

"Sesungguhnya kota ini, Allah telah memuliakannya pada hari penciptaan langit dan bumi. Dia adalah kota suci dengan dasar kemuliaan yang Allah tetapkan sampai hari Kiamat. Belum pernah Allah halalkan berperang di dalamnya sebelumku, dan Allah tidak halalkan bagiku untuk memerangi penduduknya kecuali beberapa saat di waktu siang."

(HR. Bukhari 3189 & Muslim)

 

Nabi tidak hanya menyelamatkan umatnya melalui hijrah, tetapi juga menunjukkan etika perang yang luhur. Ketika pertempuran dengan Quraisy tidak terelakkan, Nabi sengaja menghindari peperangan di pusat kota Madinah demi melindungi masyarakat sipil.

 

Etika perang yang diterapkan Nabi sejalan dengan prinsip hukum humaniter internasional yang baru dideklarasikan di Jenewa tahun 1949. Bahkan, Nabi melarang penebangan pohon dan perusakan rumput saat perang—praktik yang belum dijangkau oleh hukum modern.

 

Tragedi Karbala dan Pilihan Al-Husein

Peristiwa lain yang terjadi di bulan Muharram adalah tragedi Karbala. Cucu Nabi, Al-Husein bin Ali, memilih meninggalkan Mekah demi menghindari pertumpahan darah di Tanah Haram.

 

Ia berkata:

 

"Sungguh mereka pasti akan membunuhku. Mereka tak mungkin membiarkanku. Dan aku takut bila aku terbunuh di Tanah Haram ini, hal itu akan merusak kehormatan Tanah Haram."

 

Kisah ini disampaikan Habib Ali Al-Jufri dalam ceramahnya. Al-Husein mengetahui bahwa dukungan politik kepadanya bersifat rapuh. Namun ia tetap berangkat menuju Karbala, ditemani 73 orang keluarganya, bukan untuk mengobarkan perang, tetapi justru untuk mencegah lebih banyak pertumpahan darah di kota suci.

 

Tragedi Karbala menjadi gambaran nyata dari pilihan sulit dalam bencana sosial. Al-Husein memilih menjadi syuhada sebagai bentuk aksi cepat tanggap untuk menyelamatkan kehormatan dua kota suci dan jiwa-jiwa tak bersalah.

 

Ia tidak mengorbankan penduduk Mekah dan Madinah. Bahkan, tidak mengajak mereka berperang. Al-Husein memilih dirinya menjadi korban demi kemaslahatan umat.

 

Jejak Ajaran Kemanusiaan di Indonesia

Langkah serupa pernah dilakukan Presiden RI ke-4 KH. Abdurrahman Wahid (Gus Dur) saat kekuasaannya hendak dijatuhkan secara inkonstitusional. Daripada membiarkan konflik horizontal meletus, Gus Dur memilih mengundurkan diri.

 

Ia berkata,

 

"Tidak ada jabatan yang harus dibela mati-matian sampai meneteskan darah manusia Indonesia."

 

Sikap Gus Dur, Nabi Muhammad, dan Al-Husein menunjukkan bahwa dalam menghadapi bencana sosial, prinsip utama yang dipegang adalah kemanusiaan. Jika konflik tak dapat dihindari, maka langkah terbaik adalah meminimalkan korban jiwa.

 

Seperti halnya dalam situasi bencana alam, ketika penyelamatan harus dilakukan secara selektif, maka pertimbangan rasional dan kemanusiaan harus menjadi dasar. Menyelamatkan tenaga medis dalam bencana, misalnya, dianggap lebih strategis karena mereka bisa menyelamatkan banyak nyawa lain.

 

Al-Husein: Relawan Kemanusiaan Sepanjang Masa

Keputusan Al-Husein untuk meninggalkan Mekah dan menemui syahidnya di Karbala adalah bentuk pengorbanan tertinggi demi melindungi banyak jiwa. Ia tidak menyelamatkan dirinya sendiri, tidak berlindung di balik massa, dan tidak menyeret masyarakat ke dalam konflik yang tidak mereka kehendaki.

 

Al-Husein wafat dengan tubuh penuh luka dan leher terpenggal. Namun dengan pengorbanannya, ia telah menyelamatkan kehormatan dua kota suci dan menghindarkan lebih banyak korban.

 

Al-Husein layak dikenang sebagai relawan kemanusiaan terbaik sepanjang masa—tokoh yang menjadikan pengorbanan pribadi sebagai benteng keselamatan kolektif.

 

Semoga kita bisa mengambil hikmah dari dua peristiwa besar ini, agar nurani dan kemanusiaan kita tetap hidup di tengah zaman yang sarat kepentingan.

 

Penulis adalah Ketua LPBINU Kota Bandung