Menakar Kebijakan KDM Soal Alih Nama RSUD Al-Ihsan Jadi Welas Asih: Nyunda Tapi Religius?
Jumat, 11 Juli 2025 | 11:43 WIB

Menakar Kebijakan KDM Soal Alih Nama RSUD Al-Ihsan Jadi Welas Asih: Nyunda Tapi Religius?. (Foto: Tangkapan Layar Youtube Kang Dedi Mulyadi Channel).
Rudi Sirojudin Abas
Kontributor
Setiap pemimpin pada sebuah lembaga, organisasi, atau pemerintahan punya ciri khas masing-masing dalam merefleksikan gaya kepemimpinannya. Pada dasarnya, setiap kebijakan yang digulirkan erat kaitannya dengan cara pandang si pemimpin dalam memahami realita sosial yang dipimpinnya.
Seorang pemimpin publik bertindak bukan hanya untuk kepentingan pribadi, melainkan untuk kepentingan orang banyak. Beragam kebijakan pun akan digulirkan demi untuk meraih empati dan simpati dari seluruh rakyatnya. Itu semua dilakukan karena si pemimpin sadar, bahwa dirinya harus punya ciri khas sebagai pembeda dari para pemimpin terdahulunya maupun pemimpin setelahnya. Oleh karena itu wajar, jika dalam setiap kebijakan yang dilahirkan oleh setiap pemimpin akan dan selalu menuai beragam respon dari masyarakatnya, meskipun kadang responnya serba kontradiktif.
Menyimak apa yang dilakukan oleh Gubernur Jawa Barat, Kang Dedi Mulyadi (KDM) dalam setiap kebijakannya, terdapat beberapa hal yang menurut saya perlu mendapatkan tanggapan serius dan berarti. Tanggapan disampaikan untuk memperjelas duduk persoalan sehingga tidak akan terjadi miss persepsi antara kebijakan yang digulirkan KDM dengan realita keinginan masyarakat di lapangan.
Misalnya kebijakan perubahan nama Rumah Sakit Umum Daerah (RSUD) Al-Ihsan menjadi RSUD Welas Asih. Keputusan ini tertuang dalam Peraturan Gubernur Jawa Barat Nomor 40 Tahun 2025, tertanggal 19 Juni 2025. Kondis ini jelas mengakhiri 32 tahun akan eksistensi nama Al-Ihsan di mata masyarakat. Meskipun demikian, peran serta khidmah rumah sakit ini tentu akan terus teringat dalam hati masyarakat, khususnya masyarakat Jawa Barat.
Menurut KDM, dalih penggantian nama rumah sakit dari Al-Ihsan menjadi Welas Asih semata-mata untuk meluruskan persepsi bahwa sejak rumah sakit ini beralih kepemilikan dari yayasan ke Pemerintah Provinsi Jawa Barat pada 2003 karena kasus pailit dan korupsi yang terjadi pada pihak pemilik hingga saat ini sumber dananya bukan berasal dari umat (swasta) lagi, melainkan dari Pemprov Jabar. Selain itu, pergantian nama itu adalah bagian dari langkah kebudayaan yang lebih besar sebagai cerminan jiwa kolektif budaya lokal. Baik memakai nama Al-Ihsan (Islam) maupun Welas Asih (Sunda) yang dipentingkan adalah intensitas kepedulian, kecekatan, kesigapan dan kasih sayang pihak rumah sakit dalam setiap pelayanan kepada masyarakat akan terus maksimal.
Sebuah nama hanya akan bermakna jika nilai di dalamnya dihidupi. Tidak ada artinya berganti nama menjadi Welas Asih jika pelayanannya jauh dari welas asih. Apa arti bahasa asih jika yang terjadi justru ketidakpedulian? Nama Al-Ihsan telah membentuk sejarah, terukir dengan ingatan kolektif yang bersumber dari fondasi spiritual yang kokoh. Sementara nama Welas Asih akan tetap tumbuh dalam kebudayaan lokal sebagai cerminan identitas yang lebih membumi. Oleh karena itu pergantian nama ini tak mesti dipersoalkan (Lubis, 2025).
Pergantian nama dari Al-Ihsan menjadi Welas Asih juga tak mesti dipahami sebagai langkah untuk mendegradasi nilai-nilai Islami. Toh baik Al-Ihsan maupun Welas Asih mempunyai konteks yang sama, yakni kasih sayang sebagai titik pangkalnya. Namun yang membedakannya hanya sumber narasinya saja, yang satu Islam dan satu lagi Sunda.
Tak elok jika kemudian pergantian nama tersebut ada yang menganggap sebagai pengalihan satu identitas ke identitas lain yang akan membenturkan dua identitas (Islam dan Sunda). Padahal jika kita teliti seksama kata Welas Asih juga bersumber dari Islam, namun berbeda teks.
Menyoal sifat Asih yang kemudian menjadi satu identitas Sunda melalui ungkapan Silih Asah, Silih Asih, Silih Asuh, Prof Didi Turmudzi (Ketua Umum Paguyuban Pasundan) menyebut bahwa redaksi Asih secara ontologi pada dasarnya bersumber dari Tuhan sebagai Sang Pencipta Yang Maha Pengasih. Dengan demikian kata Asih bersumber dari Islam, sama halnya dengan Al-Ihsan.
Sunda Religius
Memang, dalam kiprahnya baik semasa sedang menjadi pejabat publik (bupati), sipil, maupun gubernur, KDM identik dengan optimalisasi budaya Sunda dalam setiap aktivitasnya. Dalam satu kesempatan ia pernah menyebut bahwa Islam menjadi bagian dalam kehidupan keberagamaannya. Semetara Sunda, ia gunakan sebagai ajaran untuk hidup bersosialiasi dengan sesamanya.
Atas dasar pemahaman inilah kemudian kebijakan KDM di atas begitupun dengan kebijakan yang lain tentunya tidak bertentangan dengan nilai-nilai agama. Tampaknya, setiap kebijakan yang KDM gulirkan tidak serta merta bertolak belakang dengan nilai religius. Justru KDM ingin menegaskan bahwa untuk membumikan nilai-nilai Islam tidak mesti harus formalistik, melainkan Islam dibumikan harus sesuai dengan kearifan lokal budaya masing-masing. Hal demikan tampak sesuai dengan apa yang disebut Gus Dur sebagai pribumisasi Islam. Pembumian kearifan lokal yang bernafaskan Islam bukan usaha untuk memunculkan resistensi kultural, melainkan agar budaya setempat tidak musnah. Banyak hal yang seperti inilah yang tampaknya dilakukan KDM.
Rudi Sirojudin Abas, salah seorang peneliti kelahiran Garut
Terpopuler
1
Khutbah Jumat Singkat: Manfaatkan Sisa Umur dengan Melakukan Hal yang Bermanfaat
2
H Subhan Fahmi Sebut Kader Ansor Kudu Sagala Nyaho, Sagala Boga Tur Sagala Bisa
3
MDS Rijalul Ansor Kertasemaya: Belajar Syukur dari Nikmat Allah SWT
4
Hadiri Santunan Fatayat NU Kedokanbunder, Ayu Widiyana Apresiasi Kekompakan Kader Ranting
5
BUMDes Akan Dibawa ke Mana Setelah Ada Koperasi Merah Putih?
6
Wisata Religi IPNU-IPPNU Kedokanbunder: Ziarahi Makam Sunan Gunung Jati, Teladani Semangat Dakwah Wali Songo
Terkini
Lihat Semua