NADIRSYAH HOSEN
Kolomnis
Wara’ adalah seni hati yang memilih diam meski bisa bicara, mundur meski bisa tampil, menahan meski bisa meraih. Ia bukan kelemahan, tapi kekuatan yang memilih hening demi menjaga nurani.
Di era media sosial, konsep wara’ menjadi semakin relevan dan sekaligus teruji. Bagaimana tidak? Setiap hari kita dihadapkan pada godaan untuk pamer, menyindir, membandingkan, atau mengomentari tanpa ilmu. Kita diajak untuk tampil bukan apa adanya, tapi apa yang bisa mengundang decak kagum. Bahkan amal pun bisa berubah jadi konten, doa menjadi caption, dan air mata menjadi footage sinematik. Medsos pun sering jadi pelampiasan kerumitan hidup, makanya banyak yang doyan ngomel gak jelas di timeline.
Baca Juga
Apa Itu Qanaah di Era Digital?
Wara’ dalam konteks ini adalah menahan diri dari mengunggah sesuatu yang bisa menodai keikhlasan, walau dibalut dengan dalih dakwah. Ia adalah memilih diam ketika godaan debat menyulut ego, memilih tak memposting ketika niat belum lulus dalam tulus.
Sejalan dengan sabda Nabi SAW:
“Di antara tanda baiknya Islam seseorang adalah meninggalkan hal-hal yang tak bermanfaat baginya.” (HR. Tirmidzi).
Meski kamu merasa benar dan punya dalil sahih, tapi kalau hanya menambah kegaduhan yang tak berfaedah—ya tahan diri sedikit, demi menjaga jernihnya hati.
Wara’ adalah kemampuan untuk berkata dalam hati: “Kalau ini mendekatkanku pada Allah, aku lanjutkan. Kalau hanya untuk validasi atau pelampiasan, biarlah berhenti sampai di sini.”
Baca Juga
Jadilah Singa Meski Diam
Ia membuat kita lebih tulus, bukan lihai dengan akal bulus. Karena yang tulus tak sibuk ingin terlihat mulus; ia cukup hadir dalam keheningan dan tetap berarti, meski tak selalu menyertai.
Dan barangkali, di tengah hiruk-pikuk konten digital, mereka yang paling dekat dengan Allah bukanlah yang paling viral—melainkan yang paling wara’. Sebab memilih bersikap wara’ itu juga artinya menyimpanmu dalam puisi, menggenggam jarimu tak lewat sorotan, melainkan lewat doa yang tak pernah tayang, tapi selalu tembus ke langit ketujuh.
KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia
Terpopuler
1
Memahami Makna Hari Arafah, Hari Kedua Puncak Ibadah Haji
2
Khutbah Jumat Dzulhijjah: Makna Syukur dan Ketakwaan dalam Kurban
3
Dari Takbir hingga Shalat Ied, Berikut 7 Amalan Lengkap pada Hari Raya Idul Adha
4
Jelang Timnas Indonesia Hadapi China di Kualifikasi Piala Dunia 2026, Patrick Kluivert Usung Optimisme Tinggi
5
Ketua PCNU Pangandaran Ajak Umat Maknai Idul Adha dengan Kepedulian Sosial
6
PCNU Kota Bogor Dukung Program Barak Militer Siswa, Asal Libatkan Ulama dan Nilai Keagamaan
Terkini
Lihat Semua