Opini KOLOM NADIRSYAH HOSEN

Apa Itu Qanaah di Era Digital? 

Jumat, 18 April 2025 | 07:13 WIB

Apa Itu Qanaah di Era Digital? 

Apa Itu Qanaah di Era Digital? (Ilustrasi: NU Online Jabar/freepik).

Di era digital ini, ketika hidup sering diukur dengan jumlah likes, views, dan followers, konsep qanaah atau merasa cukup dengan yang ada, terdengar seperti sinyal lemah di tengah hiruk-pikuk notifikasi. Tapi justru karena dunia makin bising, qanaah jadi oasis yang menenangkan.


Qanaah bukan berarti anti kemajuan atau pasrah tanpa usaha. Ia bukan malas bertumbuh, tapi tahu kapan cukup. Ia bukan berhenti bermimpi, tapi sadar bahwa tak semua impian harus membuatmu lelah mengejar validasi.


Ketika teman-temanmu mulai pamer liburan, gadget baru, postingan kemesraaan atau pencapaian yang tampak sempurna di layar kaca, qanaah mengajarkan kita untuk tetap bersyukur tanpa iri. Bukankah orang bijak telah memberi petuah:


“Orang yang paling kaya bukanlah yang memiliki paling banyak, tapi yang paling sedikit kebutuhannya.”


Qanaah di era digital itu seperti mematikan notifikasi demi ketenangan hati. Seperti unfollow akun yang menebar kebencian, uninstall aplikasi yang menjerumuskan hidup. Atau seperti memilih menikmati makanan bersama kolega/keluarga, ketimbang langsung sibuk mengedit foto makanannya agar tampak lebih estetik di Instagram. Qonaah itu bisa menerima dan menikmati hidup dengan penuh cinta.


Masih relevankah qanaah? Justru sekarang qonaah lebih dibutuhkan daripada sebelumnya. Di dunia yang mengajarkan “kurang terus,” qanaah membisikkan: “yang ada sudah cukup asal disyukuri.”


Qanaah itu tak perlu membandingkan apa yang kita punya dan hadapi dalam hidup ini dengan apa yang dialami dan dimiliki orang lain. Yang tampak berlebih belum tentu bahagia. Yang terlihat kurang, belum tentu menderita. Dan mungkin pada akhirnya, yang membuat kita tenang bukanlah apa yang kita posting di medsos, tapi hati yang berkata:


“Aku tak punya segalanya, tapi bagiku, hidupku ini cukup. Dan merasa cukup… adalah bentuk cinta terbaik pada diri sendiri.”


Aku cukup bagimu. Kamu cakep banget untukku. Gitu gak sih konsepnya?  Atau malah gini yah.


Bagiku, dirimu.
Bagi dirimu, aku gak boleh dibagi-bagi 


​​​​​​​KH Nadirsyah Hosen, Dosen di Melbourne Law School, the University of Melbourne Australia