• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Taushiyah

Kolom KH Abun Bunyamin

KH Abun Bunyamin: Hakikat Permohonan

KH Abun Bunyamin: Hakikat Permohonan
Rais Syuriah PWNU Jawa Barat, KH Abun Bunyamin. (Foto: NUJO).
Rais Syuriah PWNU Jawa Barat, KH Abun Bunyamin. (Foto: NUJO).

لَا يَكُنْ طَلَبُكَ تَسَبُّبًا إِلَّى الْعَطَءِ مِنْهُ فَيَقِلُّ فَهْمُكَ عَنْهُ. وَلْيَكُنْ طَلَبُكَ لِإِظْهَارِ الْعُبُوْدِيَّةِ وَقِيَامًا بِحُقُوْقِ الرُّبُوْبِيَّةِ


Jangan maknai permintaanmu sebagai sebab atas pemberian Allah yang itu menunjukkan kekurang pahamanmu terhadap-Nya. Hendaklah sadari bahwa permintaanmu adalah pernyataan kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan.”


Pada hikmah ini, Ibnu Athaillah Assakandari memberikan pemahaman tentang tujuan utama dalam ikhtiar dengan berdoa. Seorang arif billah ketika berdoa dan meminta kepada Allah tujuan utamanya adalah menampakkan (manifestasi) penghambaan dan pemenuhan atas hak-hak
ketuhanan.


Ketika menghadapi suatu masalah atau memiliki hajat tertentu, kita melakukan ikhtiar-ikhtiar manusiawi termasuk salah satunya adalah berdoa kepada Allah Swt. Celakanya kita menganggap ikhtiar atau doa kita itu sebagai sebab atas pemenuhan hajat atau keberhasilan kita dalam melewati masalah tersebut. Hal ini tentunya merupakan sebuah kekeliruan cara pandang kita terhadap ikhtiar manusiawi termasuk doa dalam kaitannya dengan pertolongan Allah di mana hubungan doa dan pertolongan Allah merupakan relasi sebab akibat atau kausalitas.


Kekeliruan cara pandangan ini kiranya perlu diluruskan sebagai disinggung oleh Syekh Ibnu Athaillah Allah Maha tahu dengan kebutuhan hamba-Nya. Allah sudah menentukan segalanya.


Berdoa ataupun tidak, apapun yang telah ditakdirkan oleh Allah akan terlaksana. Pemberian Allah pasti akan sampai kepada orang yang telah ditentukan untuk mendapatkannya. Oleh sebab itu, jika seseorang berdoa dan menjadikannya sebagai sebab untuk mendapatkan keinginan dan hajatnya maka orang itu kurang paham dan kurang mengerti (kurang makrifat) terhadap Allah.


Karena, orang yang (makrifat) mengerti Allah pasti merasa puas dengan ilmu Allah. Orang itu tidak butuh dan bergantung kepada apapun. Ia akan pasrah dan rela dengan apa yang ditentukan oleh Allah.


Seorang sufi ditanya, ’Apa yang kau suka?’ Ia menjawab, ‘Aku suka yang ditentukan oleh Allah.’ Lalu apa tujuan berdoa?


Dalam pemahaman Arifin (orang-orang yang mengenal Allah) meminta itu kurang sopan. Kalau memang terpaksa berdoa maka tujuan berdoa bukanlah untuk mendapatkan permohonan, tetapi semata-mata; menampakkan ubudiah (kerendahan kehambaan) kepada Allah dan melaksanakan kewajiban terhadap Allah Yang Maha Besar.


Menurut ibnu ‘ajibah, “Seluruh permintaan (thalab) adalah kurang sopan menurut ulul albab. Namun jika harus meminta, maka tujuan meminta adalah sebagai manifestasi dari kehambaan dan pemenuhan atas hak-hak ketuhanan, jangan sampai meminta kepada Allah tujuannya adalah ingin pemberian dari-Nya, sehingga itu menunjukan kekurang pahamanmu tertang Allah Swt. Karena paham tentang Allah menuntut rasa cukup atas diketahui Allah sehingga tidak membutuhkan apapun dan bergantung kepada apapun.”


Abul Hasan Asy-Syadzili berkata: “Janganlah tujuanmu berdoa itu untuk mendapatkan kebutuhanmu, tetapi hendaknya tujuanmu berdoa itu untuk munajat kepada Allah.”  Abu Nashr As-Sarraj bertanya kepada sebagian masyayikh tentang apa gunanya doa bagi Ahl attaslim wa at-tafwidh (orang-orang yang pasrah penuh kepada Allah).


Syaikh itu menjawab: “Engkau berdoa dengan dua alasan. Engkau menghiasi anggota badan dhahirmu dengan doa, karena doa adalah bentuk khidmah. Engkau berdoa karena melaksanakan perintah Allah yang menyuruh untuk berdoa.”


Seorang Ulama berkata: “Faidah doa ialah untuk menampakkan kebutuhan di hadapan Allah. Bila bukan itu, maka Allah melakukan apa yang dikehendaki-Nya.”


Habib Abdullah Al-Haddad berkata dalam syairnya menjelaskan tujuannya dalam berdoa, sebuah syair yang menunjukkan bahwa beliau betul-betul makrifat kepada Allah:


قَدْ كَفَانِي عِلْمُ رَبِّي ۞ مِنْ سُؤَالِي وَاخْتِيَارِي

فَدُعَـائِي وابْتِهـَالِي ۞ شَـاهِدٌ لِي بِافْتِقَارِي

 فَلِهَذَا السِّرِّ أَدْعُـو ۞ فِي يَسَارِيْ وَعَسَارِي


Cukup bagiku ilmu Tuhanku …. Dari permohonanku dan ikhtiarku
Maka doaku dan permintaanku ….. Membuktikan bahwa aku butuh pada-Nya
Karena rahasia inilah aku tetap berdoa ….. Di saat aku senang dan susah


Berdoa karena merasa cukup dengan ilmu Allah atau pun berdoa tapi bukan dengan tujuan mendapatkan hajatnya, adalah kedudukan para Ahl an-Nihayah (orang-orang yang sudah sampai kepada Allah). Namun, bagi Ahl al-Bidayah (Orang awam yang baru memulai perjalanan menuju Allah), maka dibolehkan bagi mereka untuk memohon hajat keinginannya kepada Allah dan banyak berdoa kepada-Nya. Bahkan untuk mereka, berdoa itu hukumnya wajib atau sunnah.


Diceritakan dalam suatu khabar bahwa Allah bersabda kepada Nabi Musa: “Mintalah kepada-Ku, sampai garam adonanmu.” Nabi Musa pernah memohon kepada Allah sesuatu yang paling besar, yaitu melihat Allah, dan sesuatu yang remeh, yaitu sekeping roti. Apa yang dilakukan Nabi Musa itu untuk memberi contoh dan mensyariatkan kepada orang-orang lemah agar selalu meminta kepada Allah. Sebab, nabi itu diutus untuk mendidik seluruh umat, baik orang lemah ataupun orang kuat.


Dalam hadits disebutkan bahwa Nabi Muhammad SAW menyuruh umatnya untuk memohon apa saja kepada Allah sampai tali sandal atau garam sekalipun. 


Berdoa dan meminta kepada Allah itu diperintahkan dan berpahala, sebagaimana firman Allah:


وَقَالَ رَبُّكُمُ ادۡعُوۡنِىۡۤ اَسۡتَجِبۡ لَـكُمۡؕ اِنَّ الَّذِيۡنَ يَسۡتَكۡبِرُوۡنَ عَنۡ عِبَادَتِىۡ سَيَدۡخُلُوۡنَ جَهَنَّمَ دَاخِرِيۡنَ


Tuhanmu berfirman, “Berdoalah kepada-Ku, niscaya akan Aku perkenankan bagimu (apa yang kamu harapkan). Sesungguhnya orang-orang yang menyombongkan diri tidak mau beribadah kepada-Ku akan masuk (neraka) Jahanam dalam keadaan hina dina.” (Gafir/40:60)


أَمَّن يُجِيبُ ٱلْمُضْطَرَّ إِذَا دَعَاهُ وَيَكْشِفُ ٱلسُّوٓءَ وَيَجْعَلُكُمْ خُلَفَآءَ ٱلْأَرْضِ ۗ أَءِلَٰهٌ مَّعَ ٱللَّهِ ۚ قَلِيلًا مَّا تَذَكَّرُونَ


Apakah (yang kamu sekutukan itu lebih baik ataukah) Zat yang mengabulkan (doa) orang yang berada dalam kesulitan apabila dia berdoa kepada-Nya, menghilangkan kesusahan, dan menjadikan kamu (manusia) sebagai khalifah (pemimpin) di bumi? Apakah ada tuhan (lain) bersama Allah? Sedikit sekali (nikmat Allah) yang kamu ingat. (An-Naml/27:62)


Saat berdo’a, hendaknya diperhatikan adab-adabnya, seperti:
 

  1. Tidak berdo’a untuk perkara yang haram menurut syariat,
  2. Tidak berdo’a untuk perkara yang mustahil terwujud menurut akal
  3. Berdo’a dengan penuh kelembutan, dan kelemahan
  4. Berdo’a dengan menunjukan sangat membutuhkan dan terdesak
  5. Tidak berdoa dengan sikap bergembira dan kegenitan


Hikmah Syekh Ibnu Athaillah ini bukan sama sekali menyarankan kita untuk berhenti atau tidak berdoa. Hikmah ini membuka pandangan kita terhadap doa sebagai ikhtiar yang sama statusnya dengan bentuk ikhtiar manusiawi lainnya. Hikmah ini hanya mengingatkan kita untuk menggeser cara pandang kita terhadap doa.


Hikmah ini mengajak kita untuk menyadari siapa diri kita di hadapan Allah SWT. Oleh karena itu hikmah ini mendorong kita untuk tetap berdoa kepada Allah dalam kondisi apapun baik dalam menghadapi masalah yang signifikan maupun tidak, dalam kondisi berhajat maupun dalam kondisi cukup, sebagai bentuk kehambaan kita sebagai makhluk-Nya dan sebagai bentuk menunaikan kewajiban kita terhadap Allah.


KH Abun Bunyamin, Rais Syuriah PWNU Jawa Barat


Taushiyah Terbaru