Opini

Mengenal Lebih Dekat PRBBK: Sebuah Pendekatan Membangun Ketangguhan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana

Kamis, 14 Agustus 2025 | 11:00 WIB

Mengenal Lebih Dekat PRBBK: Sebuah Pendekatan Membangun Ketangguhan Masyarakat dalam Menghadapi Bencana

Ketua LPBINU Jabar bersama para anggota PRBBK. (Foto: Istimewa)

Oleh Dadang Sudardja

Indonesia adalah negara  rawan bencana, dan memiliki kerentanan tinggi. Dalam upaya mengurangi isiko yang diakibatka oleh bencana, tidak ada pilihan lain selain dengan memperkuat kapasitas Masyarakat. Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas /Masyarakat (PRBBK) merupakan hal penting dalam upaya pengurangan risiko bencana.

 

Mengapa PRBBK?  Karena PRBBK merupakan sebuah metodologi yang menekankan pelibatan aktif masyarakat dalam seluruh proses pengelolaan bencana, mulai dari identifikasi risiko, mitigasi, hingga pemulihan. tanah longsor, memerlukan pendekatan yang komprehensif dalam penanggulangan bencana. PRBBK menjadi salah satu kunci keberhasilan dalam mengurangi dampak bencana karena melibatkan masyarakat secara langsung yang merupakan garda terdepan dalam menghadapi bencana. 

 

Berikut adalah beberapa alasan mengapa PRBBK sangat penting di Indonesia:

 

•    Keterlibatan Masyarakat:
PRBBK memastikan bahwa masyarakat tidak hanya menjadi korban bencana, tetapi juga menjadi pelaku/actor utama dalam upaya pengurangan risiko. 

 

•    Pemahaman Lokal:
Masyarakat memiliki pengetahuan lokal tentang kondisi lingkungan dan potensi bahaya yang ada di wilayah mereka, sehingga dapat memberikan informasi yang akurat dan relevan dalam perencanaan dan implementasi langkah-langkah Pengelolaan Risiko Bencana

 

•    Peningkatan Kapasitas:
PRBBK membantu meningkatkan kapasitas masyarakat dalam menghadapi bencana melalui pelatihan, pendidikan, dan penyediaan informasi yang dibutuhkan. 

 

•    Penguatan Ketahanan:
Dengan melibatkan masyarakat, PRBBK dapat memperkuat ketahanan komunitas terhadap bencana dan mengurangi kerentanan. 

 

•    Pembangunan Berkelanjutan:
PRBBK sejalan dengan tujuan pembangunan berkelanjutan dengan memastikan bahwa pembangunan dilakukan dengan mempertimbangkan risiko bencana dan dampaknya. Melalui pendekatan PRBBK, Indonesia dapat lebih siap dalam menghadapi bencana, mengurangi dampak negatifnya, dan membangun masyarakat yang lebih tangguh dan berkelanjutan. 

 

Pengurangan Risiko Bencanan Berbasis Komunitas

Awalnya PRBBK muncul sebagai perspektif, dan kemudian dirasa penting dijadikan sebagai metodologi mengingat urgensitasnya dalam memberdayakan masyarakat dan menangani bencana. Model ini berpijak pada kenyataan bahwa mustahil melihat setiap komunitas sama, karena faktanya mereka memiliki tatanan social dan memiliki tradisi, serta budaya masing-masing. Berdasarkan pijakan ini pula, mustahil pula membuat kebijakan yang seragam atau pendekatan yang seragam untuk semua komunitas dalam menanggulangi bencana. Dari sini diperlukan pendekatan dan perlakuan yang tidak seragam disesuaikan dengan komunitas yang hendak dijadikan pijakan penanggulangan bencana.

 

Prinsip dasar dalam PRBBK adalah partisipatif, pemberdayaan, dan demokratis, yang bisa sama untuk masing-masing komunitas. Meski pada level-level teknis misalnya soal teknik pengkajian dan penilaian, perlu dikembangkan sendiri menurut situasi di masing-masing komunitas. Mereka, masyarakat komunitas sendirilah yang merencanakan, memanfaatkan sumber daya lokal sesuai dengan kekhasan mereka, dan menerapkan prinsip pengurangan risiko bencana (PRB), dengan didampingi baik oleh pemerintah atau lembaga nonpemerintah yang sifatnya hanya membantu. Jadi, komunitas sendirilah yang berupaya menghadapi dan membuat mitigasi dan melakukan pencegahan risiko bencana dengan sebaik-baiknya.

 

Metode PRBBK, meskipun beragam, tetapi memiliki karakteristik, yang menurut Kharisma Nugroho dan Kwan Men Yon (2011: 24), terdiri dari: kewenangan tertinggi pengelolaan risiko dan kesiapsiagaan menghadapi bencana berada di tangan kelembagaan berbasis masyarakat yang diberi mandat; diagnosis potensi masalah bencana serta strategi mitigasi dan pemulihan dilakukan dengan partisipasi penuh masyarakat; intervensi bersifat multisektor, lintas sektor, lintas ancaman; sumber daya utama adalah masyarakat sendiri yang didukung pengetahuan dan keahlian lokal; peran pihak eksternal relatif kecil, tetapi hasil pengelolaan bencana maksimal; dan masyarakat berdaulat terhadap pengelolaan risiko bencana dengan indikator ketergantungan kepada pihak luar dikurangi hingga kepada hal yang paling kecil.

 

Hal mendasar lain, dalam PRBBK adalah pandangan bahwa risiko bencana bagi komunitas akan semakin berkurang jika hak dasar mereka (sebagai warga negara) terpenuhi, dengan cara advokasi pemenuhan kewajiban negara terhadap warga yang tinggal di daerah berisiko bencana. Pendekatan berbasis hak ini kemudian dalam manifestasinya sering memberikan tekanan kepada pentingnya pemerintah agar bertanggung jawab atas keselamatan warga, dan warga sendiri yang membuka akses, bernegosisasi, menjalin kerjasama, dan memperkuat diri.

 

Bangunan konsep PRBBK ini dalam khasanah kebencanaan, muncul sebagai praktik, terutama dari pengalaman penanganan bencana Gunung Merapi di Yogyakarta dan Jawa Tengah pada 1994. Pendekatan tersebut juga muncul seiring dengan adanya perdebatan dalam ilmu-ilmu sosial kritis, yang mulai mempertanyakan keandalan survei dalam kunjungan lapangan. Metode survei dianggap sudah tidak begitu relevan bila dijadikan satu-satunya dasar memotret data dan merumuskan aksi tindakan masyarakat. Muncullah kritik-kritik yang menyuarakan ilmu sosial partisipatif, pendidikan pembebasan, Rapid Rural Appraisal (RRA), multikulturalisme, dan sejenisnya mulai dibicarakan. Sebagai imbasnya, penggiat masyarakat non pemerintah mulai mencoba terobosan baru, dan salah satu metode yang digunakan adalah focus group dicscusion (FGD) untuk melibatkan masyarakat dalam proses membangun diri mereka sendiri.

 

Secara internasional, konsep PRBBK memperoleh pijakan dalam pembicaraan mengenai bencana Yokohama pada 1994 yang menghasilkan dokumen Strategi dan Rencana Tindakan untuk Dunia yang Lebih Aman 1994-2004. Pada 2005, konferensi kedua menghasilkan apa yang disebut Kerangka Aksi Hyogo 2005-2015, yang juga menjadi rujukan pelaku PRBBK di seluruh dunia. Sejumlah lembaga internasional yang membantu penanganan bencana di Indonesia, kemudian mencoba menerapkan PRBBK.

 

Setelah itu sejumlah lembaga di Indonesia juga melakukan pelatihan-pelatihan PRBBK, dan puncaknya digelar Simposium ''community based disaster management'' (CBDM) yang digelar oleh Masyarakat Penanggulangan Bencana Indonesia (MPBI), pada 11-13 Agustus 2004. Simposium CBDM diikuti sekitar 40 orang dari perwakilan NGO internasional dan lokal, pemerintah, Perserikatan Bangsa-Bangsa, dan akademisi. Acara semacam ini terus berlanjut hingga kini yang dikenal dengan Konferensi Nasional PRBBK. Secara legal, pendekatan PRBBK sebagian diadopsi dalam UU No. 24 Tahun 2007 tentang penanggulangan bencana, termasuk jabaran-jabarannya dalam PP dan Perka BNPB.

 

Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat (PRBBK) adalah pendekatan dalam penanggulangan bencana yang menempatkan masyarakat sebagai pelaku utama dalam seluruh proses, mulai dari perencanaan hingga evaluasi. PRBBK bertujuan untuk mengurangi risiko, meningkatkan ketahanan, dan mempercepat pemulihan masyarakat dari dampak bencana.
 

Sumber Bacaaan : Panduan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat, Konsep Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Komunitas (PRBBK) – BNPB, Panduan Pengelolaan Risiko Bencana Berbasis Masyarakat – Siap Siaga, Ensiklopedia Bencana Indonesia.
 

Penulis adalah Ketua LPBINU Jawa Barat