Taushiyah KOLOM GUS ISHOM

Beragama untuk Kemanusiaan

Senin, 30 Mei 2022 | 07:00 WIB

Beragama untuk Kemanusiaan

Beragama untuk Kemanusiaan (Ilustrasi; NU Online)

Entah sudah berapa banyak korban berjatuhan akibat kekerasan atas nama agama di negara kita. Terrorisme dan radikalisme yang sudah terbukti berbahaya dan tidak ada manfaatnya bagi kemanusiaan wajib segera dihentikan dan disudahi. Tidak ada satu dalil pembenar dalam agama apa pun, lebih-lebih agama Islam, yang meligitimasi tindakan berlebihan yang sesat, menyesatkan, dan menimbulkan mafsadat itu. Semua tindakan kekerasan atas nama agama pada hakikatnya bertentangan dengan agama dan nalar yang sehat. Nalar kekerasan berikut turunannya tidak boleh tidak harus dihentikan dan kemudian diganti dengan nalar kelemahlembutan, kasih sayang, persaudaraan dan aksi-aksi damai agar agama lebih bermanfaat bagi kemanusiaan.


Moderasi (al-wasathiyyah) dalam beragama dan kehidupan berbangsa harus secara sistematis terus disuarakan, karena moderasi menjadi jalan tengah dan solusi yang sempurna. Dalam segala hal berlebih-lebihan atau terlalu kekurangan/gampangan tidak akan membawa kepada kebaikan baik terhadap kehidupan individu maupun terhadap orang banyak. Tanpa wasathiyyah (moderasi) dari para penganutnya, maka ajaran agama tidak bermanfaat bagi kemanusiaan dan berarti agama telah kehilangan esensinya.


Stigma negatif seperti pengkafiran (takfir), penyesatan, pembid'ahan (tabdi'), dan sebagainya yang disematkan oleh sebagian kecil kaum muslim radikal itu kepada mayoritas muslim, non muslim,  hingga kepada pemerintahan yang berkuasa tidaklah berpijak pada metode pemahaman agama dan  dalil keagamaan yang benar dan jauh dari hakikat kebenaran yang diungkapkan oleh para ulama yang arif dan kompeten. Stigma negatif itu pasti muncul karena dorongan hawa nafsu yang diliputi oleh buruk sangka, kebencian, dan amarah. Padahal setiap muslim bahkan setiap orang dilarang berkata dan berbuat apa saja yang tidak bermanfaat dan berujung kepada kerusakan. Setiap sebab menuju bahaya harus dicegah dan ditiadakan.


Pintu takfir (pengkafiran) terhadap manusia beragama harus segera ditutup rapat agar tidak dimasuki oleh seorangpun dari warga bangsa kita. Karena pengkafiran itu adalah pintu masuk yang lebar bagi setiap tindakan terror dan saling menumpahkan darah. Perlawanan dan bom bunuh diri dari para teroris itu jelas berawal dari doktrin yang diawali dengan pengkafiran terhadap siapa saja yang tidak sejalan dengan ide dan cita-cita mereka. Bahkan boleh jadi terjadi saling mengkafirkan antara sesama muslim hanya karena persoalan-persoalan furu' (fiqh) yang dipenuhi oleh perbedaan pendapat para ulama mujtahid (al-khilafiyyat). Pengkafiran semacam itu jelas merupakan bid'ah dan ketersesatan dalam praktik beragama dan merupakan hal yang sangat berbahaya bagi persatuan bangsa.


Radikalisme dan terorisme selain disebabkan oleh faktor kedangkalan dalam memahami maksud agama, juga disebabkan oleh fanatisme yang berlebihan terhadap kelompoknya. Untuk memahami agama dengan benar memerlukan seperangkat metodologi dan syarat-syarat ilmiah serta syarat kepribadian yang tidak setiap orang mampu meraihnya, selain tentu saja ilmu-ilmu itu diperoleh secara sah dari para ahli agama sesuai spesialisasinya dengan silsilah (matarantai keilmuan) yang tidak terputus dan jelas.  


Adapun fanatisme buta ini menyulitkan mereka untuk melihat dan mau mendengar kebenaran dari pihak lain, bahkan karenanya berani menolak kebenaran pendapat ulama yang otoritatif. Entah sudah berapa banyak ayat al-Qur'an dan hadits Nabi yang mereka tafsirkan secara harfiyah, tanpa melihat konteksnya dan tidak ditempatkan pada tempatnya demi untuk memuluskan tujuan-tujuan keji mereka. Barangkali di antara mereka merasa telah setara dengan para imam madzhab (mujtahid muthlaq mustaqil). Padahal perasaan sedemikian itu sungguhlah merupakan kesesatan dan tentu jauh panggang dari api.


Sikap ekstrim dan radikal dalam beragama juga disebabkan oleh karena menghayalkan hal-hal yang tidak realistis, sulit atau bahkan mustahil diwujudkan dalam dunia nyata. Ilusi yang terhunjam dalam pikiran tidak cerdas itu berdasarkan pengetahuan agama yang minim itu mendorong mereka untuk merombak struktur sosial dalam segala aspeknya yang telah sangat mapan dengan cara memaksakan kehendak. 


Kelompok radikal dan teroris ini tidak lagi berpikir untung rugi dan tidak ada istilah takut mati dalam mewujudkan tujuan-tujuan yang menjadi ilusinya, karena mereka yakin benar "berjihad" dan percaya akan "mati syahid" serta beriman akan hidup berbahagia bersama para bidadari di surga. Bukan saja tidak realistis menghadapi kenyataan, mereka juga lemah dalam upaya memetik pelajaran dari peristiwa-peristiwa bersejarah sebagai sebuah sunnatullah. Padahal sudah pasti, perubahan struktur sosial tidak mungkin dilakukan dengan tergesa-gesa, tetapi melalui proses-proses yang tepat dan butuh waktu yang cukup.


KH Ahmad Ishomuddin, Rais Syuriah PBNU 2010-2021