Oleh Amin Mudzakkir
Saya bukan seorang yang terlatih secara formal dalam studi Islam dan studi keamanan. Latar belakang pendidikan saya adalah sejarah Indonesia (S1) dan filsafat Barat (S2 & S3). Meski demikian, sejumlah aktivitas akademis dan keterlibatan publik saya memang berkaitan dinamika masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya tentang relasi antara agama dan politik.Â
Bertolak dari latar belakang itu, saya melihat ada masalah dengan âstudi Islamâ atau mungkin kebih tepatnya studi tentang masyarakat Muslim. Khususnya sejak 2001, hampir semua studi tentang masyarakat Muslim dibingkai oleh kerangka âancamanâ yang lazim dipakai dalam studi keamanan.Â
Di antara yang paling mengganggu dalam masalah itu adalah kategorisasi masyarakat Muslim yang dikotomis: âIslamâ vs. âIslamismeâ, âmoderatâ vs. âradikalâ, âprogresifâ vs. âkonservatifâ, dst. Ketgorisasi yang dikotomis ini menimbulkan âsekuritisasi Islamâ. Bagaimana âsekuritisasi Islamâ terjadi dan kritik apa yang bisa diajukan terhadapnya?Â
Sekuritisasi IslamÂ
Dalam konteks Indonesia, sekuritisasi Islam terjadi sejak era kolonial. Setidaknya sejak munculnya berbagai perlawanan rakyat terhadap dominasi kolonialisme, sejak itu pula muncul pembingkaian terhadap apa yang pada awal abad ke-20 disebut oleh Het Kantoor vaor Inlandsche zaken sebagai âIslam politikâ vs. âIslam ibadahâ di mana yang pertama adalah âlawanâ dan yang kedua adalah âkawanâ.Â
Pembingkaian bahwa Islam politik adalah lawan, sehingga merupakan âancamanâ, dan Islam ibadah atau Islam kultural adalah kawan terus berlanjut dalam penataan negara pasca-kolonial. Konteks internasionalnya adalah âPerang Dingin.Â
Setelah 2001, pembingkaian keamanan terhadap dinamika masyarakat Muslim semakin kuat. Meneruskan kategorisasi di era sebelumnya yang dibingkai oleh konteks âPerang Dinginâ, kategorisasi terhadap dinamika masyarakat Muslim sejak 2001 dibingkai oleh âPerang terhadap Terorâ. Hasil dari Sekuritisasi Islam adalah kategorisasi âMuslim yang baikâ dan âMuslim yang burukâ.Â
Sekuritisasi Islam sebagai Penataan Negara
Alih-alih mewakili realitas sosiologis dan historis, kategorisasi masyarakat Muslim merupakan bagian dari proyek penataan negaraâdan âimperiumâ hegemonik Barat dalam tatanan dunia. Dalam rangka membentuk kewarganegaraan, negara membutuhkan kategori âetisâ mengenai warga negara yang baik dan warga negara yang buruk.Â
Warga negara yang baik adalah warga negara yang beragama secara kultural dan moderat, sedangkan warga negara yang buruk adalah warga negara yang beragama secara politis dan radikal.Â
Perlu dipikirkan tentang sejauh mana teologi Sunni atau ahli sunnah wal jamaah yang dianut oleh sebagian besar Muslim di Indonesia berkontribusi terhadap proyek penataan negara ini.Â
Sekuritisasi Islam sebagai Problematik Sekularisme
Proyek penataan negara lahir dari kepentingan politik sekuler yang berusaha mengatur tempat agama di ruang publik. Dalam konteks Indonesia, agama jelas tidak mungkin dipisahkan dari ruang publik. Makanya, dibentuklah misalnya kementerian agamaâyang di antara turunannya adalah IAIN, UIN, STAIN, dsb. âStudi Islamâ lahir dan berkembang di lingkungan ini.Â
Akan tetapi, jarang disadari bahwa kepentingan politik sekuler juga bisa mengambil bentuk penataan negara yang otoriter. Kenyataannya, begitulah kondisi di negara-negara Muslim pasca-kolonial pada per, termasuk di Indonesia. Otoriter di sini tidak hanya dalam pengertian politik, tetapi juga ekonomi, yaitu penataan negara yang hanya menguntungkan segelintir elit di atas rakyat secara lebih luas.Â
Perlu dipikirkan sejauh mana âstudi Islamâ yang lahir dan berkembang di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menanggapi problematik itu (penataan negara yang otoriter).Â
Menuju  Studi Islam yang Kritis
Studi Islam perlu lebih kritis terhadap kategorisasi yang dipakainya. Terutama ketika menganalisis dinamika masyarakat Muslim, studi Islam seringkali bersandar pada sejumlah kategorisasi yang berasal dari studi keamanan.Â
Bagaimanapun, konteks penemuan dari studi keamanan adalah kepentingan penataan negara sekuler. Oleh karena itu, perlu kiranya studi Islam lebih kritis terhadap wacana penataan negara dan sekularisme.Â
Pada akhirnya, studi Islam perlu lebih kritis dalam memunculkan kategorisasi baru yang digali dari pengalaman kongkret masyarakat Muslim sendiri, termasuk pandangan-pandangan etis yang berkembang di kalangan mereka.
Penulis adalah peneliti pada BRIN dan pengajar di Unusia, Jakarta
Terpopuler
1
Khutbah Idul Adha 1446 H: Menghidupkan Jiwa dalam Keikhlasan dan Kepedulian pada Sesama di Hari Raya
2
Prediksi Posisi Timnas Indonesia Jika Kalah, Seri Maupun Menang Lawan China di Kualifikasi Piala Dunia 2026 Zona Asia
3
Memahami Makna Hari Arafah, Hari Kedua Puncak Ibadah Haji
4
Khutbah Jumat Dzulhijjah: Makna Syukur dan Ketakwaan dalam Kurban
5
Menegakan Keadilan Anggaran Pendidikan di Jawa Barat
6
Memahami Makna Hari Tarwiyah, Hari Pertama Puncak Ibadah Haji
Terkini
Lihat Semua