• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 17 Mei 2024

Opini

Studi Islam dalam Bayang-bayang Studi Keamanan

Studi Islam dalam Bayang-bayang Studi Keamanan
Permainan sepak bola api di pesantren (Foto: dok. YT Jalan Dakwah Pesantren)
Permainan sepak bola api di pesantren (Foto: dok. YT Jalan Dakwah Pesantren)

Oleh Amin Mudzakkir
Saya bukan seorang yang terlatih secara formal dalam studi Islam dan studi keamanan. Latar belakang pendidikan saya adalah sejarah Indonesia (S1) dan filsafat Barat (S2 & S3). Meski demikian, sejumlah aktivitas akademis dan keterlibatan publik saya memang berkaitan dinamika masyarakat Muslim di Indonesia, khususnya tentang relasi antara agama dan politik. 

Bertolak dari latar belakang itu, saya melihat ada masalah dengan “studi Islam” atau mungkin kebih tepatnya studi tentang masyarakat Muslim. Khususnya sejak 2001, hampir semua studi tentang masyarakat Muslim dibingkai oleh kerangka “ancaman” yang lazim dipakai dalam studi keamanan. 

Di antara yang paling mengganggu dalam masalah itu adalah kategorisasi masyarakat Muslim yang dikotomis: “Islam” vs. “Islamisme”, “moderat” vs. “radikal”, “progresif” vs. “konservatif”, dst. Ketgorisasi yang dikotomis ini menimbulkan “sekuritisasi Islam”. Bagaimana “sekuritisasi Islam” terjadi dan kritik apa yang bisa diajukan terhadapnya? 

Sekuritisasi Islam 

Dalam konteks Indonesia, sekuritisasi Islam terjadi sejak era kolonial. Setidaknya sejak munculnya berbagai perlawanan rakyat terhadap dominasi kolonialisme, sejak itu pula muncul pembingkaian terhadap apa yang pada awal abad ke-20 disebut oleh Het Kantoor vaor Inlandsche zaken sebagai “Islam politik” vs. “Islam ibadah” di mana yang pertama adalah “lawan” dan yang kedua adalah “kawan”. 

Pembingkaian bahwa Islam politik adalah lawan, sehingga merupakan “ancaman”, dan Islam ibadah atau Islam kultural adalah kawan terus berlanjut dalam penataan negara pasca-kolonial. Konteks internasionalnya adalah “Perang Dingin. 

Setelah 2001, pembingkaian keamanan terhadap dinamika masyarakat Muslim semakin kuat. Meneruskan kategorisasi di era sebelumnya yang dibingkai oleh konteks “Perang Dingin”, kategorisasi terhadap dinamika masyarakat Muslim sejak 2001 dibingkai oleh “Perang terhadap Teror”. Hasil dari Sekuritisasi Islam adalah kategorisasi “Muslim yang baik” dan “Muslim yang buruk”. 

Sekuritisasi Islam sebagai Penataan Negara

Alih-alih mewakili realitas sosiologis dan historis, kategorisasi masyarakat Muslim merupakan bagian dari proyek penataan negara—dan “imperium” hegemonik Barat dalam tatanan dunia. Dalam rangka membentuk kewarganegaraan, negara membutuhkan kategori “etis” mengenai warga negara yang baik dan warga negara yang buruk. 

Warga negara yang baik adalah warga negara yang beragama secara kultural dan moderat, sedangkan warga negara yang buruk adalah warga negara yang beragama secara politis dan radikal. 

Perlu dipikirkan tentang sejauh mana teologi Sunni atau ahli sunnah wal jamaah yang dianut oleh sebagian besar Muslim di Indonesia berkontribusi terhadap proyek penataan negara ini. 

Sekuritisasi Islam sebagai Problematik Sekularisme

Proyek penataan negara lahir dari kepentingan politik sekuler yang berusaha mengatur tempat agama di ruang publik. Dalam konteks Indonesia, agama jelas tidak mungkin dipisahkan dari ruang publik. Makanya, dibentuklah misalnya kementerian agama—yang di antara turunannya adalah IAIN, UIN, STAIN, dsb. “Studi Islam” lahir dan berkembang di lingkungan ini. 

Akan tetapi, jarang disadari bahwa kepentingan politik sekuler juga bisa mengambil bentuk penataan negara yang otoriter. Kenyataannya, begitulah kondisi di negara-negara Muslim pasca-kolonial pada per, termasuk di Indonesia. Otoriter di sini tidak hanya dalam pengertian politik, tetapi juga ekonomi, yaitu penataan negara yang hanya menguntungkan segelintir elit di atas rakyat secara lebih luas. 

Perlu dipikirkan sejauh mana “studi Islam” yang lahir dan berkembang di lingkungan Perguruan Tinggi Keagamaan Islam Negeri (PTKIN) menanggapi problematik itu (penataan negara yang otoriter). 

Menuju  Studi Islam yang Kritis

Studi Islam perlu lebih kritis terhadap kategorisasi yang dipakainya. Terutama ketika menganalisis dinamika masyarakat Muslim, studi Islam seringkali bersandar pada sejumlah kategorisasi yang berasal dari studi keamanan. 

Bagaimanapun, konteks penemuan dari studi keamanan adalah kepentingan penataan negara sekuler. Oleh karena itu, perlu kiranya studi Islam lebih kritis terhadap wacana penataan negara dan sekularisme. 

Pada akhirnya, studi Islam perlu lebih kritis dalam memunculkan kategorisasi baru yang digali dari pengalaman kongkret masyarakat Muslim sendiri, termasuk pandangan-pandangan etis yang berkembang di kalangan mereka.

Penulis adalah peneliti pada BRIN dan pengajar di Unusia, Jakarta


Editor:

Opini Terbaru