Oleh: Listia Suprobo
Malam minggu, 11/9, saya ikut menyimak kembali uraian Buya Husein Muhammad tentang dalam festival Mubadalah. Acara yang dimoderatori mba Nur Isma Kazee pembahasannya sebenarnya banyak dan menarik, sayang saya hanya menuliskan pemikiran Buya ini, mungkin juga ada yang terlepas. Saya unggah untuk menambah energi dan semangat menyelesaikan yang harus diselesaikan esok.
_________________
Mendidikkan Nalar Moderat
Nalar moderat, pemikiran Buya Husein Muhammad, (sebagai cara pikir yang menjauh dari fikiran dan sikap ekstrim) membawa saya pada perenungan. Gagasan tentang nalar moderat ini bagi saya dapat menjadi prinsip memahami dan menanggapi persoalan terkait keragaman; agama, budaya dan etnisitas, gender, perbedaan kemampuan (terkait kondisi fisik, intelektual dan mental), perbedaan usia, perbedaan latar belakang sosial ekonomi dan sebagainya. Saya saya merenungkan lebih lanjut terkait bagaimana mendidikkan hal ini bagi masyarakat luas, bagaimana menumbuhkan kemampuan bernalar secara moderat dilakukan? .
Ada baiknya saya bagikan pokok-pokok nalar moderat dirumuskan Buya Husein Muhammad dan ijinkan saya menambah sedikit uraian sesuai pemahaman saya sebagai berikut:
a. Nalar yang memberi ruang bagi pihak lain yang berbeda pendapat. Nalar moderat memiliki semangat yang terbuka pada pendapat yang berbeda-beda, mengingat setiap ulama atau ilmuwan berpendapat dalam konteks yang beragam, sebagaimana semua manusia dalam setiap tempat, jaman, keadaan dan tantangan yang tidak persis sama, yang melahirkan pemikiran beragam. Dengan keterbukaan pada kenyataan bahwa ada pendapat yang berbeda-beda samakin banyak sudut pandang dan pertimbangan yang dapat diperoleh sehingga dengan keterbukaan pada adanya perbedaan pendapat lebih mendekatkan seseorang pada kebenaran.
b. Nalar yang tidak memandang kebenaran sendiri sebagai kebenaran yang mutlak. Ini masih terkait dengan prinsip pertama. Mendaku pandangan sendiri sebagai yang paling benar akan menutup kesediaan menghormati dan memberi ruang pendapat yang berbeda. Sikap ini dicontohkan oleh para imam madzah dengan ungkapan, “demikian pandangan saya, namun tidak menutup kemungkinan bahwa di dalamnya mengandung kesalahan”. Kerendahan hati sebagai ekpresi luasnya wawasan.
c. Nalar yang menolak pemaknaan tunggal suatu teks dan mengakui bahwa setiap teks sangat mungkin ditafsirkan secara beragam. Nalar moderat selalau memberi kemungkinan bahwa dalam suatu teks keagamaan bisa jadi memiliki pemaknaan yang beragam –sesuai dengan keragaman situasi dan kondisi manusia pada beragam tempat dan jaman-- adalah bagian dari keterbukaan terhadap adanya keragaman pendapat dan pandangan, dan keterbukaan bahwa kebenaran bisa jadi ada dalam banyak pandangan atau pendapat.
d. Nalar yang menghargai pilihan keyakinan dan pandangan hidup seseorang dengan mewujudkan sikap toleransi pasif maupun aktif. Dalam nalar yang moderat, keragaman keyakinan dan pandangan hidup adalah kehendak Allah. Hal ini dapat merujuk pada,khususnya pada kalimat “....jika Allah menghendaki niscaya kamu dijadikanNya satu umat saja, tetapi Allah hendak menguji kamu atas karunia yang diberikanNya padamu, maka berlomba-ombalah berbuat kebajikan” (al Maidah: 48). Nabi Muhammad pun tidak dapat mengislamkan Paman yang sangat menyayanginya dan beliau sayangi. Kiranya ini cukup memberi penjelasan bahwa tentang keyakinan tidak sepenuhnya urusan manusia, atau soal hidayah itu kemenangan Allah. Buya Husein menyatakan, mewujudkan sikap toleran secara pasif itu membiarkan atau menerima adanya perbedaan keyakinan, namun toleransi yang aktif adalah menyambut, memberi ruang yang sama diantara berbagai keyakinan lain. Meski berbeda-beda toh tetap ada kalimatun sawa, titik temu dimana ada golden rule, aturan emas yang ada dalam semua ajaran agama. Ekspresi golden role ini misalnya ada dalam pernyataan, “ Perlakukan orang lain sebagaimana kamu ingin mereka mempertlakukannya untukmu”. Dalam hal ini terdapat aspek spiritualitas dalam memandang sesama ciptaan Tuhan, ‘orang lain adalah diri kita dalam bentuk yang berbeda’.
e. Nalar yang tidak pernah membenarkan tindakan kekerasan. Nalar moderat ditandai oleh penolakan pada tindakan kekerasan karena tindakan semacam ini menjatuhkan martabat manusia baik pelaku maupun korban, menunjukkan tidak adanya pengendalian yang merupakan tanda kematangan pribadi yang beradab. Pengendalian diri menunjukkan taraf keberadaban seseorang.
f. Nalar yang selalu terbuka untuk kritik yang konstruktif. Selain terbuka pada perbedaan pendapat, nalar moderat juga terbuka pada kritik sebagai wujud dari pengakuan bahwa manusia selalu memiliki keterbatasan atau kekuarangan, sehingga terbuka pada kritik menunjukkan komitmen pada nilai-nilai kebenaran.
g. Nalar yang selalu mencari pandangan yang dapat mewujudkan keadilan dan kemaslahatan bersama. Nalar moderat --yang terbuka pada perbedaan padangan, keyakinan dan kritik -- perlu diwujudkan dalam rangka menemukan pandangan yang mengantar pada keadilan dan kemaslahatan, yang merupakan pencerminan rahmat pada semerta.
Bagaimana proses pembelajaran untuk menumbuhkan kemampuan bernalar moderat? Tentu bukan sekedar tentang materi yang dipelajari.
Ah, sayangnya dalam dunia pendidikan kita umumnya tidak dibiasakan untuk berfikir mandiri, bahkan untuk mengenali diri sendiri yang unik pun masih sedikit ruang, karena banyak sekali proses diseragamkan demi mengejar target capaian pembelajaran. Ki Hadjar Dewantara kurang lebih mengatakan, hasil pendidikan yang penting adalah pengendalian diri. Bagaimana akan mengupayakan pengendalian diri yang optimal ketika pengenalan diri yang unik kurang diupayakan?
Untuk bernalar, seseorang membutuhkan kemandirian berfikir. Bagaimana akan menumbuhkan kemandirian berfikir, kritis dan inovatif, bila pembelajaran dalam lembaga-lembaga pendidikan kita masih dengan cara transfer pengetahuan, bukan mendorong untuk menemukan, bahkan mengandalkan hafalan? Barangkali transfer pengetahuan dan hafalan juga penting untuk hal-hal tertentu, namun perlu ruang lebih besar untuk menumbuhkan kemandirian berfikir, merefleksi dan mengungkap.
Ketika prasyarat kondisi subyektif para pembelajar yaitu ruang yang luas untuk berfikir mandiri terpenuhi, selanjutnya adalah adalah mewujudkan metode yang tepat. Saya teringat pernyataan Pak Kyai Lurah Ulil Abshar Abdalla dalam haul Cak Nur bebeapa waktu lalu yang menyinggung soal wacana moderasi beragama. Beliau menekankan perluanya ‘pembelajaran yang ekploratif’, artinya sekali lagi bukan transfer pengetahuan tentang moderasi, melainkan proses yang mengaktifkan nalar, yang memberi kesempatan peserta belajar untuk mencari informasi dan pengetahuan, merefleksikan pengalaman maupun teks, mendialogkan dengan realitas, untuk kemudian mengunggapkan gagasan atau pemikiran pribadi sebagai langkah awal mewujudkan nalar moderat dalam laku.
Terimakasih untuk Buya dan semua yang sudah menginspirasi, semoga senantiasa sehat.
Penulis adalah pemerhati dunia pendidikan.
Terpopuler
1
Memahami Makna Hari Arafah, Hari Kedua Puncak Ibadah Haji
2
Khutbah Jumat Dzulhijjah: Makna Syukur dan Ketakwaan dalam Kurban
3
Dari Takbir hingga Shalat Ied, Berikut 7 Amalan Lengkap pada Hari Raya Idul Adha
4
Jelang Timnas Indonesia Hadapi China di Kualifikasi Piala Dunia 2026, Patrick Kluivert Usung Optimisme Tinggi
5
PCNU Kota Bogor Dukung Program Barak Militer Siswa, Asal Libatkan Ulama dan Nilai Keagamaan
6
Ketua PCNU Pangandaran Ajak Umat Maknai Idul Adha dengan Kepedulian Sosial
Terkini
Lihat Semua