• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

NU dan Demokrasi Bermartabat (I)

NU dan Demokrasi Bermartabat (I)
NU dan Demokrasi Bermartabat (I)
NU dan Demokrasi Bermartabat (I)

Kelahiran Nahdlatul Ulama setidaknya ada dua motivasi yang melatarbelakanginya, yaitu motivasi keagamaan dan motivasi kebangsaan. Motivasi keagamaan ditunjukkan dengan pembentukan Komite Hijaz yang merupakan tindak lanjut dari keprihatinan umat Islam Indonesia dengan perkembangan gerakan faham keagamaan yang dianut oleh Raja Ibnu Saud di Arab Saudi, yaitu menerapkan faham keagamaan yang tunggal yakni faham Wahabi di Mekkah, yang aplikasinya dalam masyarakat arab antara lain dengan menghancurkan semua peninggalan sejarah Islam, yang selama ini banyak diziarahi umat Islam dari berbagai penjuru dunia, sebagai penghormatan dan menjaga kesinambungan sejarah peradaban Islam.


Hal ini dinilai tidak sesuai dengan aqidah dan faham Wahabi, bahkan dianggap sebagai bid’ah yang harus dilarang.


Perjuangan Komite Hijaz yang dipimpin oleh KH Wahab Hasbullah berhasil meyakinkan Raja Ibnu Saud, untuk memberikan kebebasan umat Islam di Mekkah agar dapat beribadah sesuai dengan keyakinan dan faham Ahlussunnah wal Jama’ah yaitu menganut salah satu dari empat mazhab.


Komite Hijaz yang merupakan “cikal bakal” Jam’iyyah Nahdlatul Ulama telah berhasil memperjuangkan kebebasan mazhab dan menyelamatkan peninggalan sejarah dan peradaban dunia yang sangat berharga. Motivasi kebangsaan diwujudkan dengan membangun semangat nasionalisme untuk mewujudkan Indonesia merdeka, bebas dari penjajahan. Para Kiai dan tokoh-tokoh umat Islam, para pemimpin pesantren, telah menggelorakan semangat nasionalisme dan pentingnya Indonesia yang merdeka, yang dapat melindungi pelaksanaan ibadah umat Islam dengan aman dan tertib. Gerakan membangun nasionalisme tersebut dengan pendekatan pendidikan, dan pembangunan infrastruktur pendidikan dengan atribut-atribut yang mencerminkan cinta tanah air.


Pada tahun 1916 berdirilah Nahdlatul Wathan (Surabaya), yang selanjutnya disusul dengan berdirinya Akhul- Wathon (Semarang), Far’ul Wathon (Gresik), Hidayatul-Wathon (Jombang), Far’ul-Wathon (Malang), Ahlul-Wathon (Wonokromo, Surabaya), Khithobatul-Wathon (Pacarkeling, Surabaya), Hidayatul- Wathon (Jagalan Surabaya). Semua sekolah pastilah dibelakangnya diberi nama “wathon” yang berarti tanah air. Perjuangan untuk menegakkan syariat Islam dengan faham Ahlussunnah wal jamaah, tidak akan efektif tanpa adanya wadah yang berupa Negara Indonesia yang merdeka.


Selanjutnya semangat kebangsaan dilanjutkan oleh NU dengan keterlibatan para ulama dan santri-santri bersama dengan elemen bangsa untuk merebut kemerdekaan dan mempertahankan kemerdekaan, dengan medirikan laskar-laskar pejuang kemerdekaan, Hizbullah, Mujahidin dan Sabilillah.


Prinsip-Prinsip Dasar Perjuangan NU


Sebagai jam’iyyah diniyyah, Nahdlatul Ulama yang didirikan pada 31 januari 1926, memiliki tujuan dan prinsip-prinsip dasar perjuangan serta ikhtiar-ikhtiar yang akan dilakukannya. Secara pokok disebutkan dalam Khitthoh Nahdlatul Ulama bahwa tujuan didirikan Nahdlatul Ulama adalah untuk memelihara, melestarikan, mengembangkan dan mengamalkan ajaran Islam yang berhaluan Ahlussunnah Wal Jama’ah.


Untuk itu NU telah merumuskan prinsip-prinsip perjuangan berupa nilai-nilai Ahlussunnah Wal Jama’ah yang dapat dijadikan pedoman dan pegangan dalam kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara. Terutama dalam membangun demokrasi yang bermartabat.


Pertama, wawasan antar manusia. Berdasarkan firman Allah swt (Al- Hujurat:13 dan Al-Isra:70), NU menempatkan semua manusia pada kedudukan yang sama di hadapan Allah SWT, dengan kewajiban untuk saling mengerti/memahami (lita’arofu), dan saling menghormati (karromna). Dengan demikian maka dapat dirumuskan bahwa ada tiga bentuk hubungan antar manusia yang menjadi pedoman dasar dalam relasi kemasyarakatan dan kenegaraan, sehingga tercipta harmonisasi kehidupan bermasyarakat, berbangsa dan bernegara.


Persaudaraan dengan sesama pemeluk Islam disebut, Ukhuwwah Islamiyah Persaudaraan dengan sesama bangsa disebut, Ukhuwwah Wathoniyah, dan Persaudaraan dengan sesama umat manusia, disebut Ukhuwwah Basyariah, atau Ukhuwwah Insaniyah. Tiga model Ukhuwwah ini merupakan daya rekat yang strategis untuk menangkal kemungkinan retaknya persaudaraan sebagai bangsa, untuk memperkokoh kerukunan umat beragama, dan bahkan dapat menghindari provokasi-provokasi faham yang datang dari luar seiring derasnya globalisasi ideologi yang masuk ke Indonesia.


Dalam Khitthoh Nahdlatul Ulama, atas dasar faham keagamaan Ahlussunnah Wal Jama’ah, dirumuskan sikap dasar kemasyarakatan NU yang memiliki ciri, Tawasuth/I’tidal, Tasamuh, Tawazun, dan Amar ma’ruf nahi munkar.


Kedua, wawasan tentang politik. NU memang dilahirkan tidak sebagai partai politik, dan bukan berarti tidak boleh berpolitik, bahkan sebetulnya NU merupakan kekuatan politik yang sangat besar dan potensial. Politik dalam paradigma NU dimaknai dengan tiga dimensi. Dimensi Etik, Dimensi Normatif dan Dimensi Praktis. Dimensi etik, adalah manifestasi kepedulian NU dalam berkhidmat kepada Bangsa dan Negara, yaitu meningkatkan taraf kecerdasan dan mewujudkan kesejahteraan rakyat, serta terjaganya ahlaq dan moralitas bangsa.


Dalam dimensi ini NU tampil sebagai “kekuatan etik bangsa”, yang mengawal bangsa agar tidak terperosok pada kehancuran, karena diabaikan dan ditinggalkannya nilai-nilai moral dan agama. Dimensi normatif, adalah perwujudan atas komitmen NU pada konsensus-konsensus bangsa Indonesia, dalam rangka tegak dan kokohnya NKRI, Pandangan dan sikap NU terhadap Pancasila, Ketegasan sikap NU terhadap G30S/PKI serta terhadap gerakan- gerakan separatis yang merongrong keutuhan NKRI.


Dimensi praktis, adalah perwujudan dari politik kekuasaan dengan power struggle. Politik dalam dimensi ini, tentunya dilakukan oleh partai politik peserta pemilu. NU hanya mendistribusikan kader-kadernya kepada partai politik sesuai dengan Khitthoh 1926. NU melakukan high politic atau politik tingkat tinggi. Fungsi dan peran NU adalah mengayomi kader-kademya berkiprah di berbagai elemen masyarakat dan institusi kenegaraan. Dengan demikian NU menjadi payung dan tenda besar tempat berteduhnya seluruh elemen masyarakat.


Ketiga, wawasan akhlak NU. Nahdhatul Ulama menempatkan Al- Akhlaqul Karimah pada tempat yang sangat tinggi, bahkan kalau kita amati sabda Rasul, seakan beliau diutus hanya hanya untuk membangun/membina ahlaq yang mulia. Rasulullah SAW bersabda “Saya diutus untuk menyempurnakan akhlaq yang mulia” (HR. Imam Ahmad dan Imam Baihaqi).


Bagi NU akhlak harus terintegrasi dalam setiap kegiatan organisasi dan kegiatan kemasyarakatan bahkan dalam kegiatan peribadatan. Akhlak menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari prilaku seseorang, bahkan merupakan ukuran baik tidaknya seseorang, layak tidaknya seseorang untuk dijadikan pemimpin bangsa. Untuk itu NU telah merumuskan “Mabadi Khaira Ummah” (Langkah-langkah awal membentuk umat unggulan), pada periode kepemimpinan Almaghfurlah KH Mahfudz Shiddiq yang terdiri: As-shidqu (kejujuran, kebenaran). Al-Amanah (dapat dipercaya). Al-Wafa u bil ahdi (tepat janji). At-Ta’awun (gotong royong). Al-Adalah (keadilan). Al-Istiqomah (keajegan, konsistensi).


Bersambung


KH A Chozin Chumaidy, salah seorang Mustasyar PWNU Jawa Barat


Opini Terbaru