• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Sabtu, 27 April 2024

Opini

Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia

Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia
Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia
Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia

Apapun alasannya, berbagai konflik kemanusiaan berlatarkan kekerasan tidak dibenarkan oleh agama manapun. Bukan saja akan merendahkan nilai-nilai peradaban, konflik kemanusiaan berlatarkan kekerasan juga akan mencederai martabat manusia itu sendiri. Jika hal ini dibiarkan, maka akan menjadi catatan yang memilukan bagi sebuah perjalanan sejarah peradaban manusia di muka bumi ini. 


Barangkali kita masih ingat, konflik kemanusiaan yang terjadi di Maluku dan Poso menjadi sebuah keperihatinan besar bagi pegiat kemanusiaan. Bagaimana ketika nilai-nilai perdamaian tercerabut dari akarnya. Citra agama yang penuh kedamaian, seketika itu lepas dari misi utamanya sebagai penjaga eksistensi umat manusia. Kedua belah pihak yang sedang bertikai, saling membunuh sesama manusia, sama-sama mengklaim dirinya masing-masing sebagai pihak yang paling benar. 


Atas fenomena konflik kemanusiaan tersebut, kemudian siapa yang harus mendamaikan agama-agama yang terlibat dalam konflik tersebut? Bagaimana jadinya jika para pihak yang bertikai itu menarik Tuhan masuk ke dalam diskursus perang? Apa yang bisa dibayangkan jika dalam sebuah konflik, kedua belah pihak yang sedang bertikai sama-sama mengklaim dirinya berperang atas nama agama dan dengan restu Tuhan yang sama.


Buku “Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia” (2010) hadir sebagai respon atas berbagai konflik kemanusiaan berlatarkan kekerasan atas nama agama. Dari buku ini, pembaca akan memahami sebab-musabab konflik kemanusiaan yang dilakukan berlatarkan atas nama agama. Pembaca juga akan disuguhkan beragam argumentasi terkait dengan metode resolusi dalam mengatasi berbagai konflik.


Pembaca tentu akan ingat kekerasan berlatar atas nama agama seperti peristiwa 11 September 2001, peristiwa Bom Bali I dan II yang menghentakkan banyak pihak-juga konflik Israel-Palestina yang tak kunjung selesai. Dari peristiwa itu, para pelaku (oknum) yang tidak bertanggung jawab, menjadikan agama sebagai legitimasi tindak kekerasan. Akibatnya sentimen negatif terhadap sebuah agama tak bisa terelakkan. Kebencian banyak pihak terhadap satu kelompok agama tertentu memuncak. Mereka tidak lagi menganggap agama merupakan sebagai sarana untuk menyelamatkan umat manusia, melainkan menganggap agama sebagai penyebab terjadinya tindak kekerasan dan intoleransi antar umat manusia. 


Agama-agama dalam perspektif tertentu dituduh sebagai pihak yang harus (ikut) bertanggung jawab terhadap langgengnya berbagai aksi kekerasan dan pertumpahan darah di banyak medan konflik di seluruh dunia. Agama pula dijadikan sebagai terdakwa yang didudukkan di kursi pesakitan dengan tuduhan sebagai pemicu dan pelaku konflik dan pertumpahan darah antarumat manusia di banyak pihak. 


Sebagai sebuah solusi untuk meredam konflik (minimal meminimalisir konflik) yang melibatkan berbagai agama, buku ini terbilang lengkap. Pembaca akan disuguhkan dengan beragam usaha yang dilakukan oleh pemimpin antar umat beragama di dunia dalam meredam konflik. Harapannya, apa yang dilakukan oleh para pemimpin umat beragama tersebut dapat menjadi inspirasi bagi terciptanya perdamaian dunia.


Buku ini mengungkapkan bahwa dialog antar umat beragama merupakan satu dari sekian cara jitu untuk mewujudkan perdamaian antar umat beragama. Semua umat beragama diharapkan mampu untuk duduk bersama dan saling mendengarkan. Bersama-sama mencari apa yang menjadi kesamaan dan perbedaan. Bersama-sama  menguji apakah perbedaan itu bersifat prinsip atau tidak. Namun dalam dialog dibutuhkan kesiapan, kematangan, dan keberanian. Dialog juga butuh ketokohan dan keteladanan. 


Yang menarik dari buku ini adalah kehadiran tiga cendekiawan lintas agama: Franz Magnis Suseno, M. Amin Abdullah, dan Said Aqiel Siradj dengan sejumlah argumen-argumen inspiratifnya. Ketiga tokoh ini mampu menyajikan beragam argumen tanpa mendeskreditkan prinsip kepercayaan tertentu. Pokok pembahasannya sama, bagaimana menjadikan semua agama sebagai peace agency yang diharapkan mampu mewujudkan Rencana Keselamatan Tuhan kepada semua umat manusia dan mampu membawa seluruh manusia menuju kepada-Nya.


Jauh sebelum itu, para pemimpin umat beragama di dunia: Paus Yohanes Paulus II, Paus Benediktusct XVI (Nasrani), Raja Abdullah bin Abdul Azis (Islam Wahabi), Muhammad Sayed Tantawi (Islam Suni), Presiden Iran Mohammad Chatami (Islam Syiah), Michael Scheneider (Yahudi), serta perwakilan pemimpin umat/sekte beragama lainnya berhasil menjajaki dialog antarumat beragama dengan begitu indah dan damai. 


Langkah para pemimpin umat yang responsif itu menjadi sebuah turning point dalam kemajuan toleransi beragama, mengingat dialog antar tokoh agama dalam beberapa waktu sebelumnya sulit dapat terwujud. 


Alhasil, kesepakatan diri dari semua agama, dalam kasus ini Yahudi-Kristen-Islam menjadi sebuah kondisi ideal untuk mencegah konflik di masa yang akan datang, karena sejatinya mereka (tiga agama) tersebut mempunyai sumber iman yang sama, yaitu iman Nabi Ibrahim AS pada Tuhan Yang Maha Esa (monoteisme) sebagai pengemban misi rencana keselamatan Tuhan. Inilah sesungguhnya kesamaan platform ketiga agama abrahamik itu dalam menciptakan perdamaian di muka bumi ini. 


Judul Buku: Menggugat Tanggung Jawab Agama-Agama Abrahamik bagi Perdamaian Dunia
Penyunting: Robert B. Baowollo
Penerbit: Kanisius, Yogyakarta
Cetakan: (1) 2014 (2) 2011 (3) 2012 (4) 2013 (5) 2014
Tebal: 175 halaman
ISBN: 978-979-21-2565-8


Rudi Sirojudin Abas, penulis adalah salah seorang peneliti kelahiran Garut


Opini Terbaru