• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Opini

Saatnya Nahdliyin Kuasai Ruang Media Sosial

Saatnya Nahdliyin Kuasai Ruang Media Sosial
Saatnya Nahdliyin Kuasai Ruang Media Sosial (Foto-NUO)
Saatnya Nahdliyin Kuasai Ruang Media Sosial (Foto-NUO)

Media sosial adalah suatu sarana dalam jaringan dengan para pemakainya dapat dengan mudah ikut serta, sharing, menghasilkan isi seperti jaringan sosial, forum, wiki, blog, dan lain sebagainya. 


Media sosial diawali dari tiga hal, yaitu sharing, collaborating, dan connecting (Puntoadi, 2011). Media sosial memiliki kekuatan pada User Generated Content (UGC) di mana konten dihasilkan oleh pengguna, bukan oleh editor sebagaimana di instansi media massa. 


Karena itu media sosial dapat dilihat sebagai medium (fasilitator) online yang menguatkan hubungan antar pengguna sekaligus sebuah ikatan sosial. Pada intinya, dengan media sosial dapat dilakukan berbagai aktivitas dua arah dalam berbagai bentuk pertukaran, kolaborasi, dan saling berkenalan dalam bentuk tulisan, visual maupun audiovisual.


Berdasarkan data Hootsuite (situs layanan manajemen konten yang terhubung dengan situs jejaring sosial) 2021 menunjukkan, Indonesia masuk dalam 10 negara dengan pengguna internet terbesar di dunia. 


Indonesia berada di peringkat ke empat dengan pengguna internet sebanyak 202,6 juta, didapati jumlah pengguna media sosial sebanyak 170 juta. Satu peringkat di bawahnya ada Brasil dengan pengguna internet sebanyak 160 juta. Sebelumnya pada tahun 2020 Brasil di atas Indonesia.


Adapun peringkat teratas diperoleh Tiongkok dengan jumlah pengguna internet sebanyak 939 juta. Kemudian peringkat kedua disabet India dengan pengguna internet sebanyak 624 juta dan Amerika Serikat (AS) menyusul dengan pengguna internet sebanyak 332 juta.


Dari jumlah tersebut, penggunaan media sosial terbanyak di Indonesia adalah YouTube dengan 93,8%, disusul WhatsApp 87,7%, kemudian Instagram 86,6% dan Facebook 85,5% serta Twitter 63,6%, sisanya dibagi media sosial lainnya. 


Waktu rata-rata yang digunakan pengguna media sosial di Indonesia memakan waktu 3 jam 41 menit, kemudian untuk berselancar di internet rata-rata masyarakat kita memakan waktu 8 jam 52 menit.


Dimana posisi Nahdliyin dan bagaimana sikap kita?


Melihat data tersebut, kita sangat rentan menjadi korban hoaks dan juga sangat prospektif dalam menguasai media sosial. Karena berdasarkan hasil riset yang dikeluarkan oleh lembaga survei Lingkaran Survei Indonesia (LSI) Denny JA pada tahun 2019, bahwa NU didaulat sebagai ormas terbesar di Indonesia dengan jumlah persentase 49,5%, dari populasi jumlah penduduk Indonesia sekitar 250 juta.


Mengapa bisa rentan menjadi korban hoaks? Karena mau tidak mau dan harus mengakui kita belum siap atau belum begitu melek media sosial. Kita masih minim literasi digital. Kita masih minim analisa. 


Masih banyak warga NU yang terjebak menjadi korban berita-berita hoaks yang bertebaran secara masif di internet, apalagi kemasan narasi-narasinya sangat terstruktur dan profesional. Ditambah dibungkus dengan ayat-ayat Al-Qur'an atau agama, yang bagi orang awam akan sangat gampang terpengaruh.


Sadar akan hal itu, Ketua Umum PBNU terdahulu KH Said Aqil Siroj dalam beberapa kesempatan selalu menyerukan kepada warga nahdliyin khususnya generasi muda NU untuk jihad medsos, karena Kiai Said sangat sadar bahwa media sosial adalah sarana propaganda yang sangat masif dan efektif.


Hal ini yang dimanfaatkan oleh kelompok radikal untuk memecah-belah bangsa. Apalagi NU menjadi sasaran tembak menjurus fitnah bagi kelompok-kelompok tersebut karena hanya NU yang dari dulu hingga sekarang konsisten mengawal keutuhan NKRI dan Pancasila sebagai dasar negara.


Sialnya, sumberdaya kita masih tertinggal jauh dengan kelompok mereka meski saat ini sudah mulai melek media sosial. Pasalnya kita ternina bobokan dalam zona nyaman, hingga tak sadar kebiasaan itu seolah menjadi budaya. Seperti halnya pengajian atau forum-forum amaliah NU yang dilakukan para ustadz atau kiai-kiai nahdliyin yang masih menggunakan metode konvensional. 


Padahal jika kita dorong secara masif, setiap pengajian atau forum-forum amaliah NU dilakukan secara daring tanpa tidak mengenyampingkan metode lama, sangat potensial sekali kita bisa menguasai ruang-ruang digital atau dunia maya, hingga tidak ada lagi cerita ustadz-ustadz radikal dan abal-abal meracuni bangsa ini.


Maka dari itu mulai dari sekarang kita harus merubah kebiasaan lama. Berawal dari hal terkecil, yakni menghindari hoaks. Caranya kita harus benar-benar bijak dan menahan diri dalam bermedia sosial. Intinya kita harus saring sebelum sharing, dengan kata lain kita harus kritis dengan berita yang kita dapat. 


Verifikasi jadi prinsip utama dalam menyerap kabar atau berita. Share konten-konten kebaikan. Jika kita mendapatkan sebuah berita dan tak sanggup melakukan verifikasi jangan dibagikan, atau jika kita ingin berbagi berita, ambillah dari portal-portal media terpercaya atau laman-laman media sosial resmi milik lembaga kredibel.

 

Bijaklah dalam bersosial media 


Media sosial yang digilai dan digulai penggunanya dapat digunakan untuk berbagai kepentingan. Dari guyon, main-main, menyebarkan hoaks, hingga serius semuanya tumplek blek di medsos. Alhasil medsos menjadi kebutuhan baru sekaligus kegenitan baru semua pemilik ponsel android. Diperkuat dengan keinginan tampil di dunia maya (selfie atau swafoto) mengabarkan keinginan untuk pengakuan eksistensi diri kepada orang lain, medsos merupakan gambaran realitas saat ini. 


Padahal belum tentu orang lain suka atas foto diri yang kita unggah ke media sosial. Belum tentu pula foto atau gambar yang disebar bakal membuat terkenal sang pengunggah. Intinya bijaklah dalam bermedia sosial, hindari mengirim berita yang bersifat sensitif (SARA) dan gambar-gambar pemimpin negara, lambang negara, serta simbol negara untuk bahan kartun, guyonan, ataupun lelucon lainnya agar aman dan tak berurusan dengan hukum. 


Kenapa harus bijak dalam bermedia sosial? Karena secara tidak sadar aktivitas kita di sosial media dipantau. Semua informasi melalui medsos masuk sistem Big Data Center Cyber Security (BDCS) Mabes Polri. 


Meskipun dalam penindakannya, Polri tetap mengikuti perundang-undangan yang berlaku, namun minimal Polri memegang informasi aktivitas atau perilaku kita di media sosial. Pada dasarnya kita diajak menggunakan media sosial untuk menyampaikan informasi dalam bentuk tulisan atau gambar dengan santun dan beretika. Dengan kata lain jangan sesekali kita menggunakan akun palsu dalam seluruh aplikasi yang disinggahi. Kesediaan kita menampilkan sosok sebenarnya merupakan kontribusi bagi sikap kejujuran berbangsa.


Jangan sampai kita berurusan dengan polisi internet (Cyber Crime Police) hanya karena ingin bercanda di media sosial. Bercanda di media sosial memang suatu kebutuhan dan memang salah satu fungsinya, khususnya dengan sesama teman terutama yang sepadan dalam hal usia dan latar belakang masa lalu. 


Era medsos bukan hidup dalam bayang-bayang ketakutan dan kecurigaan. Medsos bisa mengubah dunia. Maka jangan sampai kecemasan lebih cepat diproduksi daripada kecerdasan. Tetap bijak dan waspada.


"Setiap obat didosis yang pas akan mengobati, bila berlebihan akan meracuni. Begitu pula frekuensi kita dalam cek berita dan ber-medsos."


Riki Rasi Sonia, Pengurus PC GP Ansor Kabupaten Cirebon


Opini Terbaru