• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 25 April 2024

Opini

Memahami Bencana ‘Bijak Sejak dalam Pikiran dan Perbuatan’

Memahami Bencana ‘Bijak Sejak dalam Pikiran dan Perbuatan’
Dampak kerusakan akibat gempa. (Foto: Istimewa)
Dampak kerusakan akibat gempa. (Foto: Istimewa)

Oleh Lukman Zaenudin

Muka bumi, tempat kita hidup saat ini, sedang tidak baik-baik saja. Coba perhatikan sekeliling kita. Banjir sudah di mana-mana. Gunung berapi meletus bisa datang kapan saja tanpa diduga. Gempa, tanah longsor, dan kebakaran hutan setiap hari selalu menghiasi pemberitaan di media massa. 

 

Masihkah kita bersikap sombong dengan tidak peduli? Padahal Tuhan Alam Semesta tidak menyukai orang yang berbuat kerusakan. Sebagaimana yang sudah terkandung dalam QS Al Baqarah: 205 artinya, "Dan apabila ia berpaling (dari kamu), ia berjalan di bumi untuk mengadakan kerusakan padanya, dan merusak tanam-tanaman dan binatang ternak, dan Allah tidak menyukai kebinasaan.”

 

Memahami Bencana

Hal ini dikemukan oleh KH Mustofa Bisri akrab disapa Gus Mus berpendapat bahwa Apabila pandemi dan musibah-musibah yang terjadi kita anggap sebagai cobaan atau teguran Tuhan, maka kita tidak boleh lupa bahwa cobaan/teguran itu untuk kita semua.

 

Berdasarkan pernyataan di atas dapat dipahami bahwa bencana alam sesungguhnya menyadarkan kepada kita semua bahwa bencana hampir mustahil kita bisa hindari selama kita hidup di muka bumi. Korban harta benda dan nyawa sudah tidak terhitung. Gedung-gedung mewah hancur, jembatan penyeberang jalan runtuh, rumah sakit dan fasilitas publik lain bisa rusak. Semua itu menegaskan, betapa mengerikannya bencana yang terjadi ancaman bagi kehidupan kita. 

 

Yang mengejutkan adalah ketika bencana bertubi-tubi menyergap kita, timbul muncul pertanyaan, “Apakah segala tragedi atau musibah yang merenggut ribuan nyawa dan meluluhlantakan sebagian negeri ini merupakan kehendak Tuhan? Sebuah suratan takdir? Ataukah ini hanya sebagai kejadian alam semata saja?”

 

Dalam penelitian yang dipublikasikan di jurnal ResearchGate, bencana alam yang menimpa manusia merupakan qadha’ dari Tuhan Alam Semesta. Namun, di balik qadha’ tersebut ada fenomena alam yang bisa dicerna. Termasuk ikhtiar kita untuk menghindarinya sebelum bencana alam terjadi. Dalam suatu kejadian bencana alam ada kendali yang berada dalam kuasa manusia dan yang berada di luar kuasa manusia. 

 

Segala upaya yang dapat meminimalisir bahkan dapat meghindarkan dari bahaya dan risiko bencana alam ialah kendali yang berada dalam kuasa manusia. Peristiwa alam yang menghasilkan bencana alam tidak dapat dicegah atau pun dihilangkan. Namun, segala usaha menghindarkan interaksi antara peristiwa alam yang menimbulkan bencana alam dengan manusia, inilah yang termasuk diperhatikan ke dalam upaya manajemen dan mitigasi bencana alam. 

 

Menyelamatkan diri atau orang lain dari bahaya termasuk dalam kategori ikhtiar (usaha) yang wajib dilakukan. Seperti yang dikisahkan Umar bin Khattab RA menghindari suatu daerah yang sedang dilanda wabah penyakit. Ketika ditanya apakah perbuatan seperti itu tidak berarti menghindar dari takdir karena terkena penyakit adalah sebuah takdir yang jika Tuhan telah menetapkannya, maka manusia tidak akan bisa menghindar. Maka Umar bin Khattab RA menjawab bahwa ia menghindari suatu takdir untuk menuju takdir yang lain.   

 

Kisah tersebut menggambarkan bahwa fatalisme (pasrah) dalam situasi bencana alam adalah sikap yang tidak dibenarkan oleh Islam. Tuhan Alam Semesta melarang orang-orang yang beriman untuk putus asa ketika ditimpa bencana alam dan mengharuskan bersikap positif (husn al-dhann) terhadap pertolongan-Nya (wa la tai’asu min rauhillah). Dalam semangat yang sama walaupun dalam konteks yang berbeda, Nabi Muhammad SAW mengharuskan umat-Nya untuk memenuhi hak-hak keselamatan dalam diri, misalnya larangannya terhadap puasa wisal (bersambung tanpa buka) dan menyatakan bahwa badan dan mata manusia punya hak istirahat agar tetap dalam keadaan sehat wal afiat. Dalam makna yang lebih luas, ini berarti kewajiban untuk menyelamatkan nyawa manusia. 

 

Kalaulah bicara bencana ini merupakan kehendak Tuhan, lalu di mana sifat Tuhan sebagai Yang Maha Penyayang dan Pengasih diwujudkan bagi umat-Nya? Bukankah bencana yang merenggut ribuan nyawa, yang menyebabkan ribuan anak menjadi yatim dan piatu bila ditinggalkan oleh kedua orang tuanya, tidaklah mencerminkan sifat tersebut? Atau sebaliknya orang tua kehilangan anaknya. 

 

Dalam pemahaman kebanyakan manusia, sifat Maha Penyayang dan Pengasih ini senantiasa diidentikan dengan limpahan kesenangan, rezeki yang banyak, kesehatan, kedudukan, dan segala bentuk kesenangan lainnya. Saat mendapatkan limpahan kesenangan tersebut, dengan serta-merta kita menyimpulkan bahwa Tuhan Yang Maha Penyayang dan Pengasih.  

Sebaliknya, kalau segala kesusahan menimpa, seperti bencana yang tiada henti, kelaparan, kehilangan orang-orang yang kita sayang, kehilangan harta benda, dengan cepat pula kita menyimpulkan bahwa Tuhan, tidaklah adil. Bahkan, mungkin dalam benak kita muncul prasangka bahwa Tuhan, jahat dan kejam. Naudzubillah. 

 

Berbicara masalah itu, maka kita akan berbicara bagaimana hubungan sebuah bencana dengan Tuhan. Sebagai pencipta alam semesta juga sangat mudah untuk menjadikan alam ini hancur lebur, baik dengan mendatangkan bencana alam kepada seganap penduduk, atau dalam bahasa lain kita sebut dengan takdir. Walaupun takdir itu sebenarnya mengiringi usaha manusia itu sendiri. 

 

Mendalami pembahasan ini ada sebuah ayat pada Qs. Al-A'raf: 96 yang patut untuk ditelaah terlebih dahulu, “Sekiranya penduduk negeri-negeri beriman dan bertakwa, niscaya Kami akan membukakan untuk mereka berbagai keberkahan dari langit dan bumi. Akan tetapi, mereka mendustakan (para rasul dan ayat-ayat Kami). Maka, Kami menyiksa mereka disebabkan oleh apa yang selalu mereka kerjakan.”

 

Memaknai ayat di atas, bahwasanya Tuhan akan membiarkan berkah atau rezeki kepada suatu penduduk negeri jika penduduk tersebut benar-benar beriman dan jauh dari kemiskinan. 

 

Sesungguhnya, bencana tidak terjadi begitu saja. Tuhan alam semesta tidak sewenang-wenang memerintahkan bumi terhampar rata atau laut menerjang. Dalam beberapa ayat-Nya. Menjelaskan bahwa bencana terjadi ketika hukum Tuhan dilanggar oleh manusia, ketika umat manusia telah melampaui batas, menyelami kisah seperti bencana banjir yang ditimpakan dalam kisahnya umat Nabi Nuh atau kehancuran yang ditimpakan kepada umat Nabi Luth. 

 

Dari apa yang dikisahkan para nabi-nabi dan peristiwa yang sedang dialami sekarang tersebut, jelas bahwa sebagaimana dijelaskan dalam Al-Quran, hanya orang yang berimanlah yang selamat. Sedangkan bagi orang yang senantiasa membuat kerusakan di muka bumi, termasuk yang mengingkari adanya Tuhan, dimusnahkan. Wallahu a’lam bish -shawab 

 

Referensi: 

Wusqa, Urwatul. (2016). Sistem Manajemen Bencana dalam Syariat Islam. Diakses pada 24 November 2022, dari https://www.researchgate.net/publication/314081232_Sistem_Manajemen_Bencana_dal
am_Syariat_Islam


Opini Terbaru