Ngalogat

Menyembuhkan Luka Bersama; Sebuah Peta Perjalanan

Selasa, 2 September 2025 | 07:17 WIB

Menyembuhkan Luka Bersama; Sebuah Peta Perjalanan

Menyembuhkan Luka Bersama; Sebuah Peta Perjalanan. (Ilustrasi: Freepik).

Anatomi Konflik di Ruang Publik: Membaca Esensi di Balik Demonstrasi
Beberapa hari terakhir, ruang publik kita dipenuhi oleh riuh suara dan visual dari demonstrasi besarbesaran. Di tengah hiruk pikuk spanduk dan orasi yang saling bersahutan, mudah bagi kita untuk terjebak pada narasi permukaan: siapa melawan siapa, apa tuntutannya, dan siapa yang diuntungkan.


Namun, untuk memahami peristiwa ini secara jernih, kita perlu melakukan investigasi ke jantung persoalan, ke esensi konflik itu sendiri.


Konflik Sebagai Energi Sosial
Secara ilmiah, konflik bukanlah sebuah anomali, melainkan energi sosial yang netral. Ia lahir dari adanya tegangan atau kesenjangan antara das sollen (apa yang seharusnya terjadi/harapan) dengan das sein (apa yang senyatanya terjadi/realitas).


Demonstrasi bukanlah konfliknya, melainkan pelepasan energi dari tegangan tersebut. Semakin besar kesenjangan yang dirasakan oleh sebuah kelompok dalam masyarakat, baik soal keadilan, ekonomi, maupun kebijakan semakin besar pula energi potensial yang terakumulasi. Melihat demonstrasi hanya sebagai "masalah" adalah seperti melihat demam hanya sebagai penyakit, padahal ia adalah gejala dari infeksi yang lebih dalam.


Lensa Pertahanan, Kebangsaan, dan Kemanusiaan
Untuk membedah fenomena ini secara strategis, kita perlu menggunakan tiga lensa yang berbeda namun saling berkaitan:


1. Lensa Pertahanan dan Keamanan: Dari sudut pandang negara, agregasi massa dalam jumlah besar adalah sebuah variabel yang menguji resiliensi sistem. Aparatus keamanan tidak membaca narasi tuntutan, melainkan mengkalkulasi potensi eskalasi dan dampaknya terhadap stabilitas nasional. Tugas utamanya adalah memastikan energi konflik tersebut tidak meluap menjadi kekacauan yang merusak aset vital negara dan tatanan sosial. Ini adalah perspektif yang logis dan niscaya dalam kerangka menjaga kedaulatan.


2. Lensa Nilai Kebangsaan: Demonstrasi adalah ujian paling nyata bagi kohesi sosial kita. Di sinilah nilainilai kebangsaan seperti Bhinneka Tunggal Ika diuji. Apakah ruang publik mampu menampung perbedaan pendapat yang tajam tanpa merobek tenun persatuan? Atau sebaliknya, apakah perbedaan itu justru dimanfaatkan untuk menegaskan perpecahan? Di titik inilah pertarungan sesungguhnya terjadi: antara hak demokrasi untuk bersuara dengan tanggung jawab menjaga rumah bersama bernama Indonesia.


3. Lensa Nilai Kemanusiaan: Inilah lensa yang paling sering terlupakan. Di balik angka statistik massa dan analisis geopolitik, ada ribuan individu dengan kisah, harapan, dan keresahannya masing-masing. Esensi dari banyak konflik sosial bukanlah perebutan kekuasaan, melainkan perjuangan untuk mendapatkan kembali dignitas atau martabat kemanusiaan. Rasa tidak didengar, rasa diperlakukan tidak adil, dan rasa masa depannya terancam adalah bahan bakar utama dari energi konflik. Mengabaikan dimensi ini berarti kita hanya melihat keramaian, bukan manusianya.


Transendensi Spiritual: Jalan Pulang dari Persimpangan
Jika kita terus berkutat pada lensa pertahanan dan kebangsaan semata, kita hanya akan berputar dalam siklus aksi-reaksi. Jalan keluar yang mencerahkan justru terletak pada transendensi kemampuan untuk naik ke level kesadaran yang lebih tinggi.


Secara spiritual, konflik yang termanifestasi di luar sesungguhnya adalah cerminan dari ketidakseimbangan di dalam diri kita secara kolektif. Ia memaksa kita untuk bertanya: bagian mana dari masyarakat kita yang sedang sakit? Suara siapa yang belum kita dengar dengan tulus?


Jalan menuju solusi bukan dengan memenangkan pertarungan, melainkan dengan menyembuhkan luka bersama. Ini membutuhkan keberanian untuk melampaui ego kelompok dan kehendak untuk berdialog secara otentik. Di sinilah nilai spiritual menjadi sangat rasional: hanya dengan empati kita bisa memahami, dan hanya dengan pemahaman kita bisa menemukan solusi yang adil dan berkelanjutan.


Seperti yang pernah dikatakan oleh Jalaluddin Rumi: "Di luar gagasan tentang benar dan salah, ada sebuah padang lapang. Aku akan menemuimu di sana."


Aip Saiful Mubarrok, salah seorang pengurus Lakpesdam PWNU Jawa Barat