• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ngalogat

Surat Lebaran Mahbub Djunaidi dari Penjara yang Dibacakan Putrinya Saat Pemakaman

Surat Lebaran Mahbub Djunaidi dari Penjara yang Dibacakan Putrinya Saat Pemakaman
Mahbub Djunaidi (Foto: NU Online)
Mahbub Djunaidi (Foto: NU Online)

Pada tahun 1977, tokoh pers nasional yang merupakan aktivis NU, H. Mahbub Djunaidi, dipenjara rezim Orde Baru tanpa pengadilan. Disinyalir pada tahun itu, selain melalui tulisannya, Mahbub termasuk orang yang menginginkan suksesi kepemimpinan nasional. Artinya, ia ingin agar Suharto lengser.

Isu suksesi makin marak memasuki tahun 1978, tahun bersidangnya MPR hasil Pemilu 1977. Meskipun demikian, suksesi itu tak berhasil dan Suharto berhasil mempertahankan kekuasaannya sampai ia mengundurkan diri secara resmi pada 21 Mei 1998. 

 

Mahbub Djunaidi, menjelang tahun 1980-an, merupakan salah seorang politikus Partai Persatuan Pembangunan (PPP). Ia aktif keluar-masuk kampus memenuhi undangan mahasiswa untuk memberikan ceramah dan menyampaikan makalah sambil menyematkan isu suksesi. 

Akibat kegiatannya itu,  penulis novel Dari Hari ke Hari dan penerjemah beberapa buku tersebut, ditahan yang berwajib selama hampir setahun. Di dalam penjara di Nirbaya, ia menyelesaikan sebuah novel, Angin Musim, yang membidik politik Indonesia dari sudut pandang seekor kucing.  

Said Budairy, sejawat Mahbubd Djunaidi di koran Duta Masyarakat dan di Pergerakan Mahasiswa Islam Indonesia (PMII), bersaksi bahwa sejumlah tokoh waktu itu mau menjadi penjamin bagi penahanan Mahbub di luar. Tapi pihak yang berkuasa tidak mau beringsut dari sikapnya sehingga usaha tersebut gagal. 

Gara-gara mendekam di penjara, kesehatan Mahbub Djunaidi menurun drastis. Ia kemudian dipindahkan ke Rumah Sakit Gatot Subroto. 

 

Pada lebaran tahun itu, penulis berjuluk "pendekar pena" tidak bersama keluarganya karena masih dalam penjara. Ia berkirim surat kepada keluarganya.

Belasan tahun kemudian, surat yang bersifat keluarga itu dibacakan salah seorang anaknya, Fairus, ketika Mahbub wafat tahun 1995 di pemakaman Assalam, Bandung. 

Berikut petikan surat tersebut: 

Alangkah bahagianya papa berlebaran bersamamu semua, walaupun tidur berdesakan di lantai. Ketahuilah, kebahagiaan itu terletak di dalam hati, bukan pada benda-benda mewah, pada rumah mentereng dan gemerlapan. Benda sama sekali tak menjamin kebahagiaan hati. Cintaku kepadamu semuanya yang membikin hatiku bahagia. Hati tidak bisa digantikan oleh apapun juga. Papa orang yang sudah banyak makan garam hidup. Hanya kejujuran, kepolosan, apa adanya yang bisa memikat hatiku. Bukan hal-hal yang berlebih-lebihan.

Penulis: Abdullah Alawi


Ngalogat Terbaru