• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Ngalogat

Halal Bihalal dan Taubat Nasuha

Halal Bihalal dan Taubat Nasuha
(Ilustrasi: ubrain.net)
(Ilustrasi: ubrain.net)

Oleh KH Zakky Mubarak

Masih dalam suasana syiar Idul Fitri, halal bi halal dan silaturraihm mewarnai kehidupan umat Islam di bulan Syawal. Bulan Syawal pengertiannya menurut bahasa adalah peningkatan. Maksudnya bahwa umat Islam setelah ditempa sebulan penuh dalam Ramadhan yang mulia, diharapkan dapat meningkatkan amal ibadahnya di bulan Syawal dan bulan-bulan berikutnya.

Dalam halal bi halal dan bersilaturrahim, kita saling berkunjung atau menghadiri suatu acara, di sana kita berikrar saling memaafkan atas segala kesalahan yang mungkin dilakukan, baik disengaja atau tidak disengaja. Halal bi halal, bahasa Arab made in Indonesia itu pengertian yang sebenarnya adalah: al-’Afwu bi al-’Afwi, (maaf dengan maaf). Kita memaafkan kesalahan orang lain, dan kita pun mohon maaf dari segala kesalahan kepada mereka.

Selain berhalal bi halal dengan sesamanya, dengan teman atau handai tolan, setiap orang Islam juga diperintahkan agar senantiasa bertaubat, memohon ampunan dan maghfirah kepada Allah s.w.t.. Kita sering berbuat kesalahan dan kekhilafan. Manusia dinamai insan karena ia sering bersalah dan lupa, demikian juga hati disebut kalbu karena sering dilanda kebimbangan. Karena itulah manusia muslim diperintahkan agar senantiasa bertaubat kepada Allah dari segala dosa dan kekhilafannya.

Nabi s.a.w, adalah Rasul yang bersifat ma’shum, terpelihara dari berbuat dosa senantiasa bertaubat, memohon ampunan kepada Allah dalam setiap hari lebih dari tujuh puluh kali, apalagi kita sebagai manusia biasa. Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya aku memohon ampunan kepada Allah setiap hari lebih dari tujuh puluh kali”. (Hadis Shahih, riwayat al-Bukhari: 5832). Dalam haditsnya yang lain beliau bersabda: “Wahai sekalian manusia bertaubatlah kamu dan memohonlah ampun kepada Allah, karena sesungguhnya aku bertaubat dalam satu hari sebanyak seratus kali”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 4871).

Bertaubat kepada Allah merupakan kewajiban bagi setiap pribadi Muslim pria atau wanita. Apabila kesalahan atau dosa yang dilakukan seseorang hanya kepada Allah, maka taubatnya harus memenuhi tiga persyaratan: (1) Harus meninggalkan dosa atau kesalahan tersebut. (2) Menyesali perbuatan dosa yang terlanjur dilakukannya. (3) Berniat secara bersungguh-sungguh untuk tidak mengulangi lagi perbuatan dosa tersebut. Dan apabila kesalahan atau dosa tersebut berkaitan dengan hak adamy atau hak sesama manusia, maka taubatnya akan diterima dengan tiga persyaratan di atas dan ditambah dengan syarat yang keempat yaitu: Menyelesaikan urusan dengan sesamanya, baik urusan utang piutang, hak masing-masing, atau kesalahan-kesalahan yang pernah dilakukan dengan cara memohon maaf kepadanya. Apabila syarat-syarat tersebut telah terpenuhi, maka taubatnya akan diterima oleh Allah s.w.t., karena Ia Maha Penerima taubat bagi hamba-Nya.

Mengenai keharusan bertaubat terhadap segala dosa yang dilakukan, Allah s.w.t. berfirman: “...Dan bertaubatlah kamu sekalian kepada Allah, wahai orang-orang yang beriman agar kamu beruntung”. (QS. al-Nur, 24:31). Bertaubat dan beristighfar merupakan dua hal yang tidak boleh terlepas dari kehidupan manusia Muslim, karena keduanya merupakan kriteria dan akhlak yang terpuji bagi orang-orang yang bertakwa.

Taubat hendaknya dilakukan dengan bersungguh-sungguh dan menghindari sikap yang tidak baik, seperti mengulangi lagi perbuatan dosa atau mempermainkan taubat kepada Allah. Al-Qur’an menjelaskan: “Dan mohonlah ampun kepada Tuhanmu, kemudian bertaubatlah kepada-Nya. Sesungguhnya Tuhanku Maha Penyayang lagi Maha Pengasih”. (QS. Hud, 11:90). Dalam ayat lain disebutkan: “Wahai orang yang beriman, bertaubatlah kepada Allah dengan taubat nasuha (taubat yang sesungguhnya)…" (QS. al-Tahrim, 66:8).

Allah s.w.t. senang menerima hamba-Nya yang bertaubat dari dosa dan kesalahan-kesalahan yang telah dilakukannya. Dalam hadis yang bersifat metaforis, Nabi s.a.w. bersabda: “Sesungguhnya Allah membentangkan tangan-Nya di waktu malam untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di siang hari, dan membuka tangan-Nya di siang hari untuk menerima taubat orang yang berbuat dosa di malam hari. (keadaan seperti itu terus berlangsung) hingga matahari terbit dari ufuk barat”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 4954). Sehingga matahari terbit dari ufuk barat maksudnya keadaan itu berlangsung selama-lamanya sampai hari kiamat. Dalam hadis lain disebutkan: “Siapa yang taubat kepada Allah sebelum matahari terbit dari ufuk barat, maka Allah menerima taubatnya”. (Hadis Shahih, riwayat Muslim: 4872).

Taubat dan istighfar setiap orang senantiasa diterima oleh Allah dalam keadaan bagaimanapun. Mereka yang muda dan bergairah, bertaubat kepada Allah ataupun mereka yang tua renta, semuanya diterima oleh Allah dengan keridhaan-Nya. Hanya mereka yang terlambat dalam bertaubat sehingga nafasnya sampai tenggorokan, maka taubatnya tidak diterima. Nabi s.a.w. menjelaskan: “Sesungguhnya Allah menerima taubat seorang hamba selama nafasnya belum sampai tenggorokan”. (Hadis Hasan, riwayat al-Tirmidzi: 3460).

Demikian senangnya Allah s.w.t. menerima taubat dari seorang hamba, sehingga Nabi s.a.w. mengumpamakan dalam salah satu haditsnya yang panjang lebar dan bersifat metaforis. Diceritakan ada seorang musafir kelana yang meninggalkan keluarganya dan kampung halamannya, kemudian melakukan perjalanan amat jauh. Berhari-hari dia menelusuri padang pasir, bukit berbatu, hutan, jurang dan jeram. Musafir kelana itu ditimpa musibah, dalam perjalanan tersebut ia tersesat, sehingga tidak menemukan jalan untuk kembali. Musafir itu tampaknya sudah jatuh ditimpa tangga, sudah terkena musibah, tertimpa musibah lagi, waktu ia berputus asa karena tersesat itu, ia pun tertidur sejenak. Waktu ia membuka matanya kembali, dilihatnnya kudanya telah hilang, padahal dalam kuda itu terdapat bekal dan pakaiannya.

Musafir itu akhirnya menunggu berhari-hari tidak makan dan tidak minum sehingga badannya kurus kering dan tenaganya lunglai. Dalam kesedihan yang luar biasa ia pun tertidur kembali. Ketika ia siuman dari tidurnya, dijumpainya di depan matanya kuda yang hilang itu lengkap dengan bekalnya. Karena gembira luar biasa, musafir kelana itu mengucapkan sesuatu sehingga terjadi “salah ucap”. Ia mengatakan: “Wahai Allah sesungguhnya Engkau adalah hamba-Ku dan aku adalah Tuhanmu”. Ucapan itu sampai terbalik saking gembiranya. Demikian kata Nabi, perumpamaan bagaimana senangnya Allah menerima hamba-Nya yang bertaubat, bagaikan musafir kelana yang menemukan kembali kudanya yang telah hilang. (Terjemahan bebas dari Hadis Shahih, riwayat Muslim: 4932).

Penulis adalah Rais Syuriyah PBNU
 


Ngalogat Terbaru