Mualif
Kolomnis
Detik meniti, menit tak henti beranjak pergi, hari pun merayap meninggalkan sejarah perjalanan manusia. Tiada terasa Muharram, bulan yang di munculkan sebagai penanggalan baru umat Muslim sedunia mulai mengintip pertanda tahun ini akan segera berlalu pergi.
Bisa kita lihat, sudah berlalu lalang pamflet persiapan momen berganti nya tahun Hijriyah mulai menghiasi berbagai beranda medsos terutama di keluarga besar kementerian Agama RI.
Baca Juga
Islam dalam Pengertian yang Lebih Luas
Sebenarnya, momen ini bukan lah hanya sekedar momen penggantian spanduk di depan masjid lalu dilupakan di keesokan hari. Muharram adalah panggilan untuk berhijrah. Namun, yang unik bulan ini bukanlah hanya hijrah dari yang buruk ke yang baik, dari yang baik menuju yang lebih baik, melainkan jauh lebih mencakrawala makna nya yaitu hijrah nya era di tengah derasnya arus digital.
Kini, manusia sedang dipaksa untuk berubah sebab teknologi yang melesat begitu cepat. Hari ini kita belajar satu sistem, esoknya sudah menjadj usang. Hari ini kita kenal satu aplikasi, lusa sudah digantikan dengan yang jauh lebih pintar. Bahkan, sekarang pintar bukan monopoli yang hanya di sematkan kepada manusia, tetapi yang di buat oleh manusia saat ini justru menjadi bersaing dengan manusia itu sendiri. Iya, sekarang kecerdasan bisa direkayasa. Muncullah AI, kecerdasan buatan yang dengan pongahnya mengklaim bisa menggantikan peran manusia. Bisa menulis, bisa berbicara, bisa menyusun khutbah, bahkan bisa meniru suara tokoh agama, dan di sinilah mulai gawat.
Manusia perlahan-lahan kehilangan kebiasaannya yang paling manusiawi, yaitu berpikir. Otak menjadi pemalas. Apa-apa tinggal tanya AI. Apa-apa tinggal “ketik lalu tunggu.” Akhirnya, kita tidak belajar, kita hanya mengumpulkan jawaban. Kita tidak merenung, kita hanya mengulang apa yang disediakan oleh mesin. Bahkan, kita mulai percaya bahwa semua yang keluar dari teknologi pasti benar. Tanpa disaring, tanpa dipertanyakan.
Inilah zaman di mana kita harus siap berhijrah. Bukan hanya berpindah tempat, tapi berpindah cara berpikir. Berhijrah dari kebodohan digital menuju kebijaksanaan spiritual. Karena kita tidak mungkin mundur, kita tidak mungkin bersembunyi dari teknologi. Kita hanya bisa menyesuaikan diri dan memastikan bahwa kita tidak terseret oleh gelombang yang kita sendiri tak pahami dasarnya.
Masalahnya, ini bukan cuma soal teknologi. Ini soal cara beragama. Banyak orang hari ini belajar agama dengan cara instan. Lihat video satu menit, langsung bilang, “Ah, ternyata selama ini saya salah.” Dengar potongan ceramah yang diedit dramatis, langsung merasa tercerahkan. Padahal, segala yang tidak punya sanad dalam ilmu apapun, dalam agama apapun, dalam informasi apapun, bisa menyesatkan.
Hijrah di era modern ini seperti menyetir di jalan "tol digital”. Bayangkan kita sedang menyetir mobil di jalan tol yang sangat canggih. Jalannya lurus, mulus, dan penuh papan petunjuk digital. Kita tinggal injak gas, semua terasa cepat dan mudah. Bahkan ada fitur autopilot, tinggal duduk manis, mobil jalan sendiri. Inilah teknologi zaman sekarang. Serba otomatis. Serba instan.
Tapi di balik kenyamanan itu, ada bahaya yang menanti. Jika kita tidak tahu ke mana arah sebenarnya, kita bisa tersesat jauh tanpa sadar. Karena terlalu nyaman, kita tidak lagi periksa peta. Kita tidak tanya arah. Kita hanya ikut arus lalu lintas digital, cepat, ramai, tapi belum tentu benar.
Ibnu Sirin pernah berkata, “Sesungguhnya ilmu ini adalah agama. Maka perhatikan dari siapa kalian mengambil agama kalian.” (Shahih Muslim, Muqaddimah). Tapi sekarang, agama diambil dari potongan Yotube Shorts. Dari akun yang tidak jelas siapa gurunya. Dari AI yang bahkan tidak pernah sujud.
Agama bukan sekadar informasi. Agama adalah cahaya, dan cahaya itu diturunkan melalui hati yang bersambung kepada Nabi. Bukan dari mesin yang diisi data seenaknya. Sayangnya, di zaman ini, orang merasa cukup beragama dengan mengandalkan kecepatan akses. Bukan lagi kedalaman makna.
Teknologi itu netral. Ia bisa membawa manfaat, bisa juga membawa kerusakan. Tapi yang berbahaya adalah ketika manusia tidak punya kendali atas penggunaannya. Saat AI menggantikan otak, saat mesin menggantikan guru, saat agama dipotong-potong agar sesuai selera pribadi, di situlah fitnah besar mengintai. Bukan karena AI-nya jahat, tapi karena manusianya malas menyaring dan lemah dalam membimbing.
Padahal, kita sebagai generasi yang lebih dahulu mengenal dunia sebelum hadirnya perangkat dan AI, punya tanggung jawab lebih.
Kita harus menyesuaikan diri dengan generasi muda, iya. Kita harus paham cara berpikir mereka, iya. Tapi bukan berarti kita ikut-ikutan dalam semua gaya mereka. Kita harus tetap menjadi pengarah, bukan ikut terombang-ambing. Kita harus menjadi rem di tengah kegilaan informasi.
Seperti kata Imam Malik rahimahullah, “Tidak akan baik akhir umat ini kecuali dengan apa yang membuat baik generasi pertamanya.” (Asy-Syifa, Qadhi ‘Iyadh).
Kalau generasi awal belajar agama dengan sabar, berguru langsung kepada ulama, bersanad sampai Rasulullah, maka kita pun harus menjaga tradisi itu. Jangan sampai kita menjadi generasi yang fasih bicara agama tapi tanpa dasar.
AI bisa membantu, tapi tidak bisa menggantikan. Teknologi bisa meringankan, tapi tak bisa menggantikan proses ruhani. Kita boleh pakai AI untuk membuat catatan, merangkum buku, bahkan mencari referensi. Tapi jangan sampai iman kita juga direkayasa. Jangan sampai ilmu kita juga artifisial.
Di tengah derasnya teknologi, kita butuh arah. Butuh peta. Butuh bimbingan. Dan tugas kita adalah menanamkan itu pada generasi setelah kita. Bukan hanya dengan nasihat, tapi dengan cinta. Cinta yang diwujudkan dalam pendampingan. Dalam membangun pondasi. Agar anak-anak kita, adik-adik kita, para pemuda kita tidak gampang terpengaruh oleh fitnah zaman, tidak mudah percaya pada suara mesin, tidak cepat menyimpulkan hanya dari potongan yang tidak lengkap.
Imam Al-Ghazali pernah menulis, “Tujuan dari ilmu bukanlah untuk banyak bicara, tetapi untuk memperbaiki jiwa.” (Ihya’ Ulumuddin). Maka biarkan teknologi mempercepat hidup, tapi jangan sampai ia memperdangkal jiwa. Kita harus terus belajar, terus mengajar, dan terus menjaga agar hijrah kita, termasuk di ranah digital, adalah hijrah yang membawa berkah.
Mualif S. Kom. I, Ketua MWCNU kecamatan Sukaresmi Cianjur
Terpopuler
1
Angkatan Pertama Beasiswa Kelas Khusus Ansor Lulus di STAI Al-Masthuriyah, Belasan Kader Resmi Menyandang Gelar Sarjana
2
LD-PWNU Jawa Barat Gelar Madrasah Du'at ke-IV, Fokus Pengkaderan Da'i di Era Digital
3
PBNU Serukan Penghentian Perang Iran-Israel, Dorong Jalur Diplomasi
4
Isi Kuliah Umum di Uniga, Iip D Yahya Sebut Media Harus Sajikan Informasi ‘Halal’ dan Tetap Diminati
5
Pengembangan Karakter Melalui Model Manajemen Manis
6
Diskusi Imam Al-Ghazali di Istana: Siapakah Ulama Itu?
Terkini
Lihat Semua