• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 26 April 2024

Ngalogat

Menziarahi Sang Pangeran Terbuang

Menziarahi Sang Pangeran Terbuang
Menziarahi Sang Pangeran Terbuang
Menziarahi Sang Pangeran Terbuang

“…. qu’on vint voir sa miserable demeure,” demikian Pangeran Hendrik melaporkan kepada bapaknya, Raja Willem II, saat berkunjung ke ruang tahanan Pangeran Diponegoro di Benteng Fort Rotterdam, 7 Maret 1837.


Tempat yang menyedihkan, sebagaimana digambarkan Pangeran Hendrik tersebut, begitu terasa ketika saya berkunjung ke benteng yang kini dijadikan sebagai museum dan kantor Balai Pelestarian Cagar Budaya Sulawesi Selatan itu.


Selama di Rotterdam tersebut, Diponegoro ditempatkan di ruang seluas 336 M2 yang terdiri dari tiga lantai. Ruangan tersebut kini disebut gedung N di bastion Bacan. Jika merujuk pada denah yang dibuat oleh J. Wilbur Wright dari Oxford (1985), bangunan tersebut ditandai dengan kode A5. Berada di pojok kanan pintu masuk benteng.


Di lantai bawah, gedungnya melengkung setengah lingkaran. Tingginya sekitar dua meter. Pintu masuknya lubang kecil yang mengharuskan menunduk. Ada pula pintu besar yang tertutup pintu besi. Cukup panas dan pengap situasinya.


Di ruang inilah, sang pemimpin perang Jawa ini, menulis babad-nya yang terkenal dan ditetapkan sebagai warisan dunia. Babad yang mengisahkan perjalanan hidupnya.


Saat memasuki ruangan yang tak sembarang orang bisa masuk ini, terdapat meja dan kursi. Di atas meja juga dibubuhi replika naskah. Melihat itu, bayangan saya langsung terbawa pada lukisan khayali koleksi Snouck Hurgronje yang kini tersimpan di Perpustakaan Leiden dengan Codex Orientalis 7398.


Pengasingan sang pangeran di Tanah Ugi itu, dalam catatan Peter Carey; Kuasa Ramalan (KPG Jilid 2, 2012), tidak terlepas dari gejolak yang terjadi di Eropa. Saat itu, Belanda terlibat peperangan di Belgia dengan pasukan nasionalis setempat yang menuntut kemerdekaan. Pasukan yang dibantu Perancis itu, berhasil memukul mundur Belanda setelah berperang sekitar dua tahun lamanya (1830-1832).


Situasi di Eropa yang demikian, menimbulkan kekhawatiran pada benak Komisaris Jenderal Hindia Belanda Van den Bosch. Ia takut situasi di Eropa yang tak menguntungkan Belanda itu ditumpangi oleh Inggris di Hindia Belanda. Inggris dengan berbagai potensinya bisa jadi akan memanfaatkan keberadaan Diponegoro di pengasingan untuk melawan Belanda.


Setelah melalui berbagai pertimbangan, akhirnya Van den Bosch memutuskan untuk memindahkan lokasi pengasingan Diponegoro. Sejak ditangkap di Magelang pada 28 Maret 1830, sang pangeran dibawa ke Batavia. Tak seberapa lama, pada 3 Mei, ia bersama para pengikutnya, dibawa dengan kapal Pollux ke Manado.


Setelah menelusuri laut Jawa, Madura hingga ke Flores, kapal tersebut berbelok menuju ke perairan Sulawesi. Mendarat pada 12 Juni 1830 di Manado setelah berlayar tak kurang dari 39 hari. Di sini, Diponegoro ditempatkan di Benteng Nieuw Amsterdam yang selesai dibangun pada 1705.


Di Manado, Diponegoro tinggal hampir tiga tahun lamanya. Kemudian, atas alasan di atas, Van den Bosch memindahkan sang pangeran ke Makasar. Melalui pengiriman yang dirahasiakan, ia dan sedikit pengikutnya diangkut menggunakan kapal bernama Circe. Butuh 21 hari, ia menyusuri perairan barat pulau Celebes itu hingga tiba di Fort Rotterdam. Tepatnya pada 20 Juni-11 Juli 1833.


Sang pangeran diperlakukan cukup ketat selama tinggal di Fort Rotterdam dibandingkan dengan di Manado. Peter Carey menulis (hal. 877):


“…. sang pangeran maupun para pengikutnya tidak diizinkan berada di luar tembok Benteng Rotterdam ….. tidak ada yang boleh mengunjungi …. tidak menjalin hubungan dengan pribumi setempat yang serdadu, pembantu atau orang yang diasingkan serta anggota tenaga paksa yang bertugas di dalam benteng.


Melalui surat dekrit rahasia yang dikeluarkan oleh guberbur jenderal pada 11 Mei 1849, diputuskan sang pangeran mendapat hukuman hingga wafat di balik tembok benteng yang dibangun oleh Speelman tersebut. Diponegoro pun menjalani hukuman tersebut dengan penuh kegetiran hingga akhir hayatnya.


Akhirnya, pada hari Senin, 8 Agustus 1855. Saat mentari sepenggala naik, 06.30, salah satu pengikut sang pangeran tergopoh mendatangi kediaman gubernur. Mengabarkan jika sang pemimpin perang Jawa itu telah wafat.


“…. disebabkan oleh merosotnya kekuatan jasmani akibat usia tua,” demikian keterangan pada surat kematian sang pangeran yang ditandatangani oleh tiga orang pejabat terkait.


Sebagaimana wasiatnya, jasad putra Raden Ayu Mangkorowati itu, dimakamkan di Kampung Melayu, Makasar. Di samping makam putranya yang kedua, Raden Mas Sarkumo, yang wafat pada Maret 1849.


Makam tersebut bertahan hingga istri sang pangeran, Raden Ayu Retnoningsih, wafat pada 8 Januari 1885. Makam sang pangeran dipindahkan ke pemakaman umum utama Kampung Melayu yang baru dibuka oleh Belanda seluas 52 meter persegi. Di makam yang dikenal saat ini tersebut, sang pangeran bersanding dengan istri terakhirnya. Dibalut pualam putih besar. Di kelilingi oleh makam-makam kecil dari keturunannya yang lahir di Makasar.


Saat berziarah ke sana, saya mendapat pitutur dari juru kunci, Raden Hamzah Diponegoro. Sebuah nasehat yang patut untuk diresapi.


“Jika tak tersambung dengan para leluhur, niscaya apa yang kau dapat akan mudah luntur.”


Penulis: Ayung Notonegoro


Ngalogat Terbaru