Ngalogat

Merdeka Versi Kelas Menengah: Dari Latte Art ke Laporan Anggaran

Sabtu, 16 Agustus 2025 | 13:14 WIB

Merdeka Versi Kelas Menengah: Dari Latte Art ke Laporan Anggaran

Ilustrasi. (Foto: AI)

Oleh KH Yayan Bunyamin

Di awal kemerdekaan, para pejuang mengangkat bambu runcing. Sekarang, generasi penerusnya mengangkat gelas kopi susu oat milk, memotretnya dengan kamera portrait mode, lalu menambahkan caption “Dirgahayu Indonesia” sebelum menyeruputnya. Bambu runcing melawan penjajah, latte art melawan kantuk di rapat Zoom.

Kelas menengah hari ini punya cara unik merayakan kemerdekaan. Mereka hafal sejarah Proklamasi 17 Agustus 1945, tapi juga hafal harga kopi di tiga aplikasi delivery yang berbeda. Mereka bisa debat sengit tentang ketahanan pangan nasional, sambil pilih-pilih avocado toast yang organic, cruelty-free, dan gluten-free (walau tidak tahu gluten itu apa).

 

Merdeka bagi kelas menengah adalah bisa pesan GrabCar tanpa lihat tarif surge, bisa liburan ke Bali tanpa khawatir kartu kredit terblokir, dan bisa belanja flash sale tanpa takut alamat pengiriman nyasar.

 

Tapi di balik semua itu, ada tantangan kemerdekaan baru: cicilan rumah yang lebih panjang dari umur pacaran, pajak progresif yang semakin kreatif, dan harga cabe yang kadang lebih bikin shock daripada plot twist drama Korea.

 

Dulu, kemerdekaan berarti bebas dari penjajah bersenjata. Sekarang, kemerdekaan berarti bebas dari “biaya administrasi” misterius di struk belanja. Kalau Bung Karno dulu berkata, “Beri aku 10 pemuda, niscaya kuguncangkan dunia,” mungkin generasi sekarang akan berkata, “Beri aku diskon 10%, niscaya kuguncangkan keranjang belanja.”

 

Dan jangan salah, kelas menengah punya andil besar menjaga kemerdekaan—meski bentuknya kadang absurd. Mereka rela antre dua jam demi kopi viral, tapi tak rela antre 15 menit untuk bayar pajak. Mereka sanggup mencicil smartphone 24 bulan, tapi mengeluh kalau BPJS naik Rp3.000.

 

Namun, di balik tawa itu, kita sadar: kemerdekaan bukan hanya soal simbol, tapi soal kesempatan. Kesempatan untuk hidup layak tanpa terjebak utang, untuk sekolah tanpa harus jual sawah, dan untuk punya waktu bercengkerama dengan keluarga tanpa lembur sampai pagi. Kesempatan untuk memilih masa depan, bukan sekadar memilih metode pembayaran di e-commerce.

 

Kalau kelas menengah bisa menyadari ini, mungkin kemerdekaan akan terasa lagi seperti dulu—hanya saja kali ini tanpa bambu runcing, tapi dengan Wi-Fi yang stabil, ongkir gratis, dan saldo e-wallet yang cukup untuk beli harapan.

 

Merdeka, pada akhirnya, bukan hanya di spanduk merah putih, bukan di caption media sosial, dan bukan pula di potongan harga 17%.

 

Merdeka adalah ketika kita tak lagi takut kehilangan pekerjaan karena integritas, tak ragu bersuara karena kebenaran, dan tak malu mengulurkan tangan untuk saling menguatkan.

 

Merdeka adalah saat kita bisa menukar rasa cemas dengan rasa percaya, menukar ego dengan empati, dan menukar “aku” menjadi “kita”.

 

Karena kemerdekaan yang sejati bukan ketika kita bebas memilih rasa kopi, tetapi ketika setiap orang bebas memilih rasa hidupnya tanpa kelaparan, tanpa ketakutan, dan tanpa kehilangan harga diri.

 

Karena merdeka itu bukan sekadar "free ongkir" di aplikasi belanja, tapi "free takut" untuk bermimpi dan bersuara"

 

_Dini hari, antara harga cabe dan harga diri sama-sama naik_

 

Penulis adalah Direktur Aswaja Center NU Tasikmalaya