Ngalogat

Tanah Air, Takwa dan Tanggung Jawab Menanam: Memaknai Kemerdekaan dari Sajadah ke Sawah

Jumat, 15 Agustus 2025 | 06:00 WIB

Tanah Air, Takwa dan Tanggung Jawab Menanam: Memaknai Kemerdekaan dari Sajadah ke Sawah

Tanah Air, Takwa dan Tanggung Jawab Menanam: Memaknai Kemerdekaan dari Sajadah ke Sawah. (ILustrasi: Freepik).

حُبُّ الْوَطَنِ مِنَ الْإِيْمَانِ


Cinta tanah air adalah bagian dari iman. Bukan sekadar semboyan di dinding madrasah, tetapi syarah dari laku panjang para ulama pesantren. Karena bagi mereka, nasionalisme bukan sekadar orasi, melainkan konsekuensi dari iman yang membumi.


Di tanah inilah kita sujud. Di airnya, wudhu disucikan. Maka mencintai tanah air bukan hanya tanggung jawab politik, tapi juga tanggung jawab spiritual. Dan ketika tanah itu dirampas oleh kerakusan, dan airnya dirusak oleh ketamakan, itu bukan sekadar kejahatan ekologis, tetapi pengkhianatan kepada tempat sujud kita sendiri.


Di usia 80 tahun kemerdekaan, kita tidak bisa hanya membicarakan bendera dan parade. Kita harus bertanya ulang: Apakah rakyat telah benar-benar merdeka dari kelaparan? Apakah negeri ini bisa memberi makan dirinya sendiri? Jika jawabannya belum, maka kemerdekaan itu masih luka. Dan kita tahu, kedaulatan yang lapar adalah kedaulatan yang rapuh.


Bangsa yang tidak mampu memberi makan rakyatnya sendiri, sedang membuka pintu bagi penjajahan baru, penjajahan oleh pasar global, oleh korporasi pangan, oleh kuasa harga dari luar negeri. Karena hari ini, imperialisme tak selalu datang dengan tentara. Ia datang lewat impor yang menekan, dan harga beras yang tak bisa kita kendalikan sendiri.


Kalangan pesantren sejak dulu sudah tahu: mencintai tanah air tidak cukup dengan menyanyikan lagu perjuangan. Ia harus diwujudkan dalam kerja: dengan menanam, menyiram, memanen, dan membagikan hasilnya dengan adil.


Maka dalam konteks hari ini, Hubbul Wathon minal Iman menuntut bentuk paling nyata: ketahanan pangan. Kita butuh santri yang bisa menghafal Al-Qur’an sambil memetik cabai. Kita perlu kiai yang mampu memberi fatwa sekaligus menjaga irigasi dari serbuan proyek tambang. Karena agama tidak pernah alergi pada ladang.


Bahkan Nabi ﷺ sendiri bersabda, “Tidaklah seorang Muslim menanam tanaman, lalu ada burung, manusia, atau binatang memakannya, kecuali itu menjadi sedekah baginya.” (HR. Bukhari dan Muslim).


Jadi, ketahanan pangan bukan cuma urusan pertanian. Ia adalah bagian dari dzikir kolektif kita sebagai bangsa agar perut rakyat tidak kosong, agar ladang tetap suci dari kerakusan. Kita terlalu sering memuliakan yang berseragam, hingga lupa pada mereka yang memakai caping dan memanggul cangkul. Padahal: tidak semua pahlawan membawa senjata, sebagian membawa cangkul dan benih palawija.


Mereka tak tertulis di buku sejarah, tetapi tertulis dalam rahmat Tuhan, karena mereka memberi makan bangsa ini tanpa pernah meminta nama mereka dipanggil di mimbar kehormatan.


Maka mari kita rayakan kemerdekaan tahun ini tidak hanya dengan kembang api, tetapi dengan kesadaran baru: Bahwa mencintai tanah air berarti menjaga tanah dan air itu sendiri. Dan bahwa jihad hari ini bisa berupa bekerja di ladang, membangun koperasi petani, menanam padi dengan cinta, agar anak cucu kita tidak mewarisi tanah yang tandus dan bangsa yang lapar.


Untuk Tanah dan Iman:
Kami tahu merdeka belum sepenuhnya sempurna,
tapi kami percaya bangsa ini bisa sembuh oleh cinta yang bekerja, bukan sekadar suara.


Karena tanah air bukan hanya warisan para pejuang di masa lalu,
tapi amanah yang harus kami tanam hari ini, meski dengan peluh, luka, dan haru.


Inilah saatnya menyatukan kembali apa yang lama dianggap terpisah: sajadah dan ladang, dzikir dan kerja, iman dan pangan. Karena kita tidak hanya ingin menjadi bangsa yang merdeka, tapi juga bangsa yang berdaulat dan berdaya—dengan cinta yang terus bekerja, dari pesantren hingga sawah, dari sujud hingga panen.


KH Yayan Bunyamin, Ketua MDS Rijalul Ansor