• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Ngalogat

Abah Noer dalam Kenangan Buya Husein

Abah Noer dalam Kenangan Buya Husein
Almarhum Abah Noer Muhammad Iskandar dan Buya Husein Muhammad. (Foto: Istimewa/Desain: M Iqbal)
Almarhum Abah Noer Muhammad Iskandar dan Buya Husein Muhammad. (Foto: Istimewa/Desain: M Iqbal)

Oleh KH Husein Muhammad
Waktu mondok di Pesantren Lirboyo Kediri, aku satu kelas dengan Kiai Nur Muhammad Iskandar dan Kiai Ayik Muhammad al Hasani. Yang pertama biasa dipanggil Gus Nur dan yang terakhir dipanggil Ayik yang artinya sayid atau Habib. 

Saat imtihan, aku jadi sekretaris panitia, Gus Nur jadi ketua, dan Ayik sebagai wakil. Teman-teman menyebut kami Trio Muhammad. Husein Muhammad, Noer Muhammad dan Ayik Muhammad.

Kami sangat akrab, saling bercanda ria dan saling ngenyek, mengejek. Kami bertiga pernah menjadi rais dalam musyawarah. Kedua sahabat itu memang lebih pintar daripadaku.

Tamat dari Lirboyo, aku lanjut ke PTIQ, Gus Nur meneruskan di pesantren. Sementara Ayik lanjut kuliah di IAIN Yogya, dan kemudian mendirikan sejumlah sekolah dan Perguruan Tinggi.

Waktu aku tingkat tiga atau semester lima, Gus Nur masuk juga kuliah di PTIQ. Nah, waktu Mastama (Masa Taaruf Mahasiswa) PTIQ, aku yang memelonconya. Aku kan senior. Waktu dia terlambat datang untuk upacara, aku panggil. Aku bilang, 

"Ayo, push up tujuh kali." He he he. Padahal sewaktu di pesantren, aku harus memanggilnya Gus dan posisinya seperti senior.

Selama di PTIQ, aku pernah menjadi ketua Dewan Mahasiswa, bersaing dengan Musni Umar, sekarang Prof. Dr dan rektor Universitas Ibnu Khaldun. 

Gus Nur, sambil kuliah aktif ceramah dan khutbah. Beliau tipe mubalig konservatif keras. Ia jadi penceramah pop dan sangat laris. Namanya melejit. Tiap pagi mengisi pengajian di radio. Ia mengurus masjid Al-Mukhlishin di Pluit. Aku sering diajak ke rumahnya yang masih sederhana. Aku bersama almarhum Kiai Muntaha Azhari, menulis khat kaligrafi untuk menghiasi masjid itu. Waktu ia merintis bangun pesantren di Kedoya, Kebon Jeruk, aku diundang diminta mendoakan di dalam bangunan yang masih belum berdiri. 

Hubungan aku dengannya tak pernah putus sampai hari ini, saat beliau wafat (13/12). Banyak kenangan bersamanya, baik saat di pesantren, di kampus PTIQ, maupun sesudah beliau jadi ulama besar dan pengasuh 11 pesantren di banyak tempat. Bila berkunjung ke rumahnya, aku dihormati dan dijamu meriah. Bila aku pulang, Kiai Noer memberi "amplop" cukup bagus dan tebal. 

Pertemuan terakhir, saat aku menjadi narasumber di acara Kaderisasi Ulama yang diselenggarakan oleh Lakpesdam PBNU di Pesantrennya. Kami saling melepas kangen, berpelukan dan menangis bersama. Saat itu beliau masih dalam kondisi pemulihan dari sakitnya yang cukup lama dan masih harus cuci darah 2 kali dalam seminggu. Waktu aku pamit, Kiai Noer memberiku hadiah sarung yang bagus dan mahal.

Kiai Noer seorang kiai dan mubalig hebat. Orang baik dan dermawan. Ghafarallah lah wa Rahimah wa Ja'ala al-Hannah Matswah. Kepada keluarga yang ditinggalkan, semoga tetap sabar dan ikhlas.

Penulis adalah Pengasuh Pesantren Daaruttauhid Arjawinangun Cirebon.


Editor:

Ngalogat Terbaru