• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Kamis, 2 Mei 2024

Tokoh

Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidlowi: Perempuan Tangguh Muslimat NU

Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidlowi: Perempuan Tangguh Muslimat NU
Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidlowi,
Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidlowi,

Oleh M. Sakdillah

Secara pribadi, penulis tidak kenal dekat dengan Nyai Hj. Aisyah Hamid Baidlowi, selanjutnya ditulis Nyai Aisyah, ketika diminta untuk menulis artikel ini. Namanya sempat lepas dari perhatian penulis. Tidak seperti kakaknya, KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur), adiknya, KH Salahuddin Wahid (Gus Solah), atau Nyai Lily Chodijah Wahid yang populer dan sering memberikan pernyataan terbuka di media massa. 

Padahal, Nyai Aisyah adalah sosok yang paling berjasa langsung di balik keberlangsungan Pondok Pesantren Madrasatul Quran, selanjutnya ditulis PPMQ, Tebuireng Jombang, tempat penulis menempuh pendidikan pesantren. Namun tidak terlambat, kiprahnya dalam kepemimpinan PP Muslimat NU Periode 1995-2000 tidak dapat diragukan lagi atas komitmennya sebagai bagian penting dari Bani Wahid Hasyim dan Bani Baidlowi.

Secara pribadi, penulis lebih mengenal sosok suaminya, KH Hamid Baidlowi, karena sering pulang ke Tebuireng untuk memantau perkembangan dan mengawasi pembangunan pondok. Dia sosok dermawan yang telah membiayai ribuan santri penghapal Al-Quran di PPMQ. Tidak saja biaya operasional pesantren, melainkan juga pembangunan gedung-gedung asrama, rumah para asatidz, madrasah, dan mesjid yang megah. Ketidakkenalan terhadap nama Nyai Aisyah karena jarang terlihat pulang ke Tebuireng serta sematan-sematan nama yang sering kali mirip sehingga menimbulkan keraguan penulis untuk membuka-buka catatan dan bertanya-tanya tentang dirinya. Tak pelak, setelah menemukan jawaban, Nyai Aisyah dimakamkan di PPMQ, keraguan itupun sirna.

Penulis di sini belum dapat menggambarkan secara detil keterlibatan Nyai Aisyah di ranah politik dan organisasi NU yang pasti seru di zaman peralihan Orde Baru ke Reformasi. Penulis hanya bisa menggambarkan situasi keluarga Nyai Aisyah di Tebuireng, tempat proyeksi besar sedang digagas. Proyeksi dalam bidang pendidikan Al-Quran yang diasuh oleh adik iparnya, Nyai Ruqoyyah, bersama suaminya, KHM Yusuf Masyhar (cucu menantu kesayangan yang mendampingi Hadratussyekh KHM Hasyim Asy'ari di saat kritis menghadapi Agresi Belanda pada 1947).

Sisi Selatan Pulau Jawa
Secara kekerabatan, hubungan keluarga Nyai Aisyah dan suaminya terbilang sangat dekat. Dari segi silsilah bisa disebutkan demikian, Aisyah binti Abdul Wahid Hasyim bin Muhammad Hasyim Asy’ari, sementara suaminya adalah Hamid Baidlowi bin Aisyah binti Muhammad Hasyim Hasyim Asy’ari. Masing-masing terhitung masih cucu Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari.

Setidaknya, suatu keberuntungan besar telah mendapat kesempatan mengurai kisah singkat tentang Bani Wahid Hasyim dan Bani Baidlowi ini. Karena, sedikit banyak, telah membuka cakrawala pemahaman penulis tentang KH Ahmad Baidlowi Asro (1898-1955), Pengasuh Pesantren Tebuireng Periode 1951-1952 dan salah satu Rais Syuriah PBNU. KH Ahmad Baidlowi telah mewakili gerakan NU yang massif dari sisi selatan pulau Jawa serta kiprah dan pengaruh Bani Baidlowi yang meluas di Kebumen, Banyumas, Purbalingga, dan Purwokerto. Sisi paling bergejolak dan tak terkontrol bila dibandingkan dengan daerah-daerah lain seperti Cirebon, Pati, Rembang, Tuban, Surabaya, atau Jombang. Tempat kisah-kisah tentang sejarah NU menyemarak. Padahal, dari sisi selatan pulau Jawa, mulai dari Banyuwangi, Blitar, Malang, Tulungagung, Trenggalek, Pacitan, Yogyakarta, Purworejo, Kebumen, Banyumas, Tasikmalaya, hingga Bandung telah memunculkan tidak sedikit nama-nama besar dan berpengaruh seperti KH Nurkholifah (Mbah Putih) Trenggalek, Syekh Mahfudz Termas, Syekh Nahrowi Muhtarom Banyumas, KH Saifuddin Zuhri, hingga Ajengan Ruhiyat Cipasung. 

Jalur selatan pulau Jawa ini bisa dikatakan sebagai jembatan spiritual (tarekat Syadziliyah dan Syattariyah) Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari yang jarang diceritakan. KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) secara khusus menurut salah satu sumber cerita pernah menjadikan Makam Prabu Harian Kancana di pulau Nusa Larang Situ Lengkong Panjalu Ciamis sebagai petilasannya. Di samping, terdapat makam Syekh Muhyi Pamijahan, murid Syekh Abdurrauf Singkil atau Syiah Kuala, yang menyebarkan tarekat Syattariyah di Jawa.

Keluarga yang Kompak
Suatu saat, KHM Yusuf Masyhar, selanjutnya ditulis Kiai Yusuf, masih sering bolak balik mengurusi perdagangan sapi dari Jombang ke Jakarta. Ia kemudian diminta oleh kakak iparnya, KH Hamid Baidlowi, berhenti dari aktivitas yang menyita waktu tersebut dan berkonsentrasi mengurusi Pesantren Tebuireng. KH Hamid Baidlowi merasa iba melihat adik iparnya harus berjuang sendiri mencari biaya bagi santri-santrinya, di samping juga harus menjaga hapalan Al-Qur'annya.

Pada mulanya, Kiai Yusuf mengajar di mesjid Pesantren Tebuireng. Ia mendiami rumah KHA Wahid Hasyim yang hijrah beserta keluarganya ke Jakarta, karena menjabat sebagai Menteri Agama. Kiai Yusuf menerima santri-santri yang hendak menghapal Al-Quran. Kala pertama, mereka disebut santri-santri Madrasah Huffadh pada 15 Desember 1971 atas inisiatif sembilan kiai; diantaranya adalah KH Manshur (ayah KH Abdul Aziz Manshur) Paculgowang, KH Kholil Sukopuro, KH Sobari Bogem, KH Adlan Aly Cukir, KH Mahfudh Anwar Seblak, KH Ya’kub Bulurejo, KH Syansuri Badawi Tebuireng, KHM Yusuf Masyhar, serta KHM Yusuf Hasyim (Pengasuh Pesantren Tebuireng Periode 1965-2006). 

Sejak 1982, PPMQ resmi berdiri dengan menempati kediaman KH Ahmad Baidlowi yang terletak di sisi timur Pesantren Tebuireng. Setelah kembali dari Baghdad, Gus Dur adalah yang meletakkan fondasi kurikulum PPMQ yang berorientasi memadrasahkan Al-Quran, slogannya adalah Hamil Al-Qur’an lafdhan wa ma’nan wa ‘amalan (hafal lafal Al-Quran beserta makna dan pengamalannya).

Memang, rerata santri-santri PPMQ hanya mengenal sosok KH Hamid Baidlowi yang bisa dibilang kaya raya sampai tujuh turunan. Keterlibatan Nyai Aisyah hampir jarang tampak, meskipun jasanya tak bisa dilepaskan dari kesuksesan PPMQ. 

Dilihat dari sejarah pendirian PPMQ, kekompakan memang sudah tumbuh sejak pertama berdiri. Mulai dari perumusan konsep pendidikan Tahfidz Al-Quran yang disesuaikan dengan kurikulum madrasah salaf, hingga pembagian tugas (jobs description) yang rapi. Siapa yang memimpin, siapa yang mengatur, siapa yang mengawas, siapa yang melaksanakan, dan siapa yang menggalang pendanaan; semua diselesaikan melalui musyawarah keluarga. Dan, tidak jarang melibatkan kiai-kiai sepuh dan santri-santri senior. Secara organisasi, PPMQ berjalan tertib dan program-programnya terencana. 

Nyai Aisyah lahir pada 4 Juni 1940 di Jombang sebagai puteri kedua KHA Wahid Hasyim dan Nyai Hj. Solichach Munawwaroh. Sejak usia tiga tahun, ia sudah diboyong ke Jakarta, karena aktivitas dan tugas ayahnya yang padat pada masa pemerintahan Jepang. Ia kembali ke Jombang untuk menempuh pendidikan dasarnya di pesantren, karena situasi tidak normal. Setelah situasi kembali normal, Nyai Aisyah kemudian diboyong ayahnya kembali ke Jakarta pada 1950.

Namun, kemesraan keluarga Bani Hasyim tersebut tidak berlangsung lama. Pasca Muktmar NU ke-19 di Palembang pada 1952 yang memutuskan NU menjadi partai politik, keterlibatan KHA Wahid Hasyim sebagai ketua Partai NU semakin intensif dan jarang berada di rumah. Nyai Aisyah sebagai puteri kedua mendapat peran yang berat untuk menjaga adik-adiknya, terutama ketika ditinggal wafat ayahnya pada 1953. Ia sering berperan sebagai ibu yang mengayomi adik-adiknya. Dari sini, ia tumbuh sebagai perempuan tangguh, penuh disiplin, dan mengayomi. Bersama adik-adiknya, Nyai Aisyah mendapat pendidikan agama secara langsung dari kakeknya, KH Bisri Syansuri (1886-1980), pendiri Pondok Pesantren Denanyar Jombang dan Rais Aam PBNU Periode 1972-1980. Maka, tidak heran, jika kemudian Nyai Aisyah mendapat pesan untuk selalu ingat kepada NU. Secara khusus, ia mendapat pesan untuk menjaga Muslimat NU.

Karir khidmatnya di NU bermula dari Ketua Fatayat Wilayah DKI Jakarta Periode 1959-1962. Di usia yang masih sangat muda, ia menjabat sebagai bendahara PP Fatayat di samping mulai terlibat pula di PP Muslimat. Dengan rasa tanggung jawab yang besar terhadap keluarga dan organisasi, Nyai Aisyah terus mendapat dukungan setelah menikah dengan suami yang sukses sebagai pengusaha. Kiprahnya membangun kemandirian ekonomi dan kesehatan warga Muslimat NU terlaksana dengan baik.

Berkat kegigihannya untuk memajukan perempuan Indonesia, Nyai Aisyah pun terpilih sebagai Ketua Kongres Wanita Indonesia (KOWANI) Periode 1990-1995. Di bidang politik, ia menjabat sebagai Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) RI selama tiga periode (1997-2009). Ia adalah perempuan yang membidani lahirnya Undang-Undang Perhajian Nomor 17 tahun 1999. Melalui UU tersebut, ia menginginkan perhajian dikelola secara transparan dan menjadi payung hukum pertama perhajian di Indonesia.

Tepat di Hari Perempuan Internasional, Nyai Aisyah wafat pada Kamis, 8 Maret 2018, di Jakarta, sekira waktu 12.50, siang. Jenazahnya dibawa pulang ke Tebuireng dan dimakamkan di sisi suaminya. Kini, mereka terbaring di tempat yang sama di PPMQ. KH Syansuri Badawi, KHM Yusuf Masyhar, KH Hamid Baidlowi, dan Nyai Hj. Ruqoyyah Yusuf adalah nama-nama yang menjadi bagian penting keluarga Al-Qur’an di Tebuireng. Kesuksesan Nyai Aisyah dan suaminya tentu merupakan kombinasi pasangan yang ideal; memiliki cita-cita perjuangan; gairah yang tinggi; dan, saling melengkapi sehingga dapat menjadi inspirasi besar, khususnya bagi generasi perempuan NU dan Indonesia. Seseorang dapat mengambil perannya sesuai dengan “maqam”nya masing-masing di hadlirat Ilahi. 


Tokoh Terbaru