KH Wawan Kurniawan adalah sosok tauladan bagi warga Cipancar khususnya serta warga Sumedang pada umumnya. Beliau pendiri dari Pondok Pesantren Al-Istiqamah serta Yayasan Al-Istiqamah Cipancar Sumedang Lahir di Cipancar pada tanggal 12 Agustus 1953 bertepatan dengan tanggal 2 Dzulhijah 1372 H. Beliau kembali ke Hadrat Yang Mahakuasa, pada tanggal 8 Juni 2024, bertepatan dengan 1 Dzulhijah 1445 H.
Hal yang istimewa, dari sisi penanggalan Masehi beliau beliau meninggal 8 Juni, bertepatan dengan tanggal wafatnya Rasulullah pada tanggal 8 Juni 632 Masehi. Namun walaupun begitu, yang dijadikan patokan dalam haul pertama adalah penanggalan hijriah pada tanggal 1 Dzulhijah 1446 H, bertepatan dengan hari Rabu, 28 Mei 2025. Maksud diadakannya haul ini, seperti diungkap KH. Muhsin selaku Ketua Panitia, sebagai ungkapan rasa cinta terhadap beliau. Ilmu yang didapat dari beliau bertambah keberkahannya, serta mengingatkan pada semua agar meneruskan perjuangannya.
Ada peribahasa, gajah mati meninggalkan gading, seorang manusia mati meninggalkan nama yang akan dikenang sepanjang sejarah. Butir-butir kenangan itu terjadi karena khidmahnya terhadap agama dan negara, serta pengabdiannya yang tulus untuk kemajuan umat. KH. Wawan Kurniawan telah membuktikan bahwa kehidupannya telah beliau dedikasikan untuk mencapai tujuan-tujuan luhur tersebut. Hampir bisa dipastikan bahwa seluruh warga Cipancar menjadi saksi atas khidmah beliau yang tiada batas, baik untuk memajukan agama maupun kehidupan masyarakat pada umumnya.
Terlahir dari keluarga santri Bapak Elen serta Ibu Ninih Sarnih, sedari usia muda, dalam penuturannya kepada penulis, KH. Wawan Kurniawan adalah produk dari godogan KH Masduqi Ali dari Pondok Pesantren Miftahul Muta'allimin yang terletak di Babakan Ciwaringin Cirebon. Dari KH Masduqi Ali, beliau belajar ilmu alat, nahwu dan sharaf, Al-Qur'an, hadits, dan fiqih. Kemudian beliau juga mematangkan ilmu dalam bidang nahwu serta sharaf ke Pondok Pesantren Kudang yang didirikan KH Muhammad Toha di Garut. Juga menjadi santri KH Burhanul Aqil di Pondok Pesantren Miftahul Huda, Al-Azhar, Manonjaya, Tasikmalaya.
Mengawali kegiatan mengajar dari sebuah madrasah pada tahun 1982, serta kemudian mengalami arus perubahan dari mulai masa-masa pengajian yang selalu dipenuhi oleh para remaja pada tahun 1980-an sampai awal 1990-an ketika era TV swasta mulai menjamur, KH Wawan Kurniawan bertahan dengan model yang beliau laksanakan. Para santri belajar nahwu sharaf, Al-Qur'an, hadits, serta berbagai literatur kitab kuning. Desa Cipancar, bagi KH Wawan Kurniawan adalah laboratorium pondok rohani, karena dari mulai anak-anak, remaja, serta kalangan orang tua, mayoritas adalah murid-murid beliau.
Beliau seseorang yang terkenal sangat apik dalam masalah fiqih adalah sosok kharismatik. Tutur katanya selalu halus, dan tidak pernah memarahi murid-muridnya. Menikah dengan Ibu Nyai Koyemah serta dikaruniai tiga orang anak, Tuti Sayidah, Muhammad Hilman Firdaus serta Siti Nurlaila Mubarokah, di lingkungan NU Kabupaten Sumedang, beliau adalah sosok yang sangat dihormati. Beliau meninggal dalam posisi sebagai Rais Syuriah MWCNU Sumedang Selatan.
Pada setiap hari Selasa sampai akhir hayatnya, beliau menyampaikan pengajian Kitab Tafsir Munir karya Syaikh Nawawi al-Bantani di Mesjid Agung Sumedang dengan peserta para ulama serta merupakan peninggalan dari ulama kharismatik Sumedang, KH. Muhammad Syatibi.
Dodo Widarda, salah seorang dosen di Fakultas Ushuluddin UIN Sunan Gunung Djati Bandung
Terpopuler
1
Amalan 10 Hari Pertama dan 6 Hari Istimewa di Bulan Dzulhijjah
2
Ansor Depok Dukung Camat Non-Muslim Pertama, Christine Desima: Simbol Toleransi Kota Depok
3
Kunjungi ITB, PWNU Jabar Bahas Penguatan Karakter dan Akses Pendidikan bagi Santri
4
KH Amin Said Husni Ingatkan Pengurus NU Harus Betul-Betul Mengurus dan Bukan Sekadar Hadir di Rapat
5
PCNU Cianjur Terima Kunjungan BRI: Bahas Penguatan Ekonomi dan Program Sosial
6
Kemenag Umumkan 1.223 Peserta Lolos Seleksi Nasional ke Universitas Al-Azhar 2025, Download di Sini
Terkini
Lihat Semua