• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 19 April 2024

Tokoh

Pria Gondrong dan Cerita Kekuatan Konsentrasi KH Adlan Aly 

Pria Gondrong dan Cerita Kekuatan Konsentrasi KH Adlan Aly 
Imam Ma'arif dan lukisan KH Adlan Aly karya Nabila Dewi Gayatri (Foto: NU Online Jabar/Abdullah Alawi)
Imam Ma'arif dan lukisan KH Adlan Aly karya Nabila Dewi Gayatri (Foto: NU Online Jabar/Abdullah Alawi)

Berdasarkan Ensiklopedia NU, pada 3 Juni lalu, merupakan hari lahir KH Adlan Aly. Ia merupakan Rais JATMAN NU Periode 1979-1990, salah seorang santri kesayangan Hadratussyekh KH Hasyim Asy’ari hingga diangkat jadi menantunya.  

Saya tak pernah bertemu dengan KH Adlan Aly. Hanya pernah membaca satu esai KH Abdurrahman Wahid (Gus Dur) di buku Kyai Nyentrik Membela Pemerintah. Namun parahnya saya lupa apa yang dituliskan Gus Dur tentangnya. Mau membaca lagi tentangnya, buku itu masih di tumpukan kardus. Butuh beberapa jam untuk mencarinya. 

Meski tak pernah bertemu dengannya, saya pernah melihat lukisan KH Adlan Aly pada sebuah pameran tunggal bertajuk Sang Kekasih karya pelukis Nabila Dewi Gayatri di Grand Sahid Jaya, 2017 yang dibuka Ketua Umum PBNU KH Said Aqil Siroj.

Pada pameran itu, puluhan kiai menghias beranda hotel. Sepertinya jarang sekali pameran model seperti itu. Karenanya, pada pameran selama seminggu itu, tiap hari saya datang melihat lukisan-lukisan dan orang-orang yang melihat lukisan. 
  
Sebelum pembukaan dimulai, saya memperhatikan orang-orang yang turut serta. Orang-orang seperti apakah mereka? 

Saya kemudian memergoki seorang pria berambut gondrong yang melihat satu per satu lukisan itu. Kemudian berhenti di hadapan lukisan Kiai Adlan Aly. Ia memotretnya beberapa kali. 

Karena mengenalnya, saya mendekatinya, mengobrol, bertanya kabar dan mencari tahu apa yang dilakukannya terhadap lukisan Kiai Adlan. 

Namun, dia bukan menjelaskannya, malah menunjukkan gambar hasil potretan dari kamera ponselnya. Kemudian tertawa lepas. Ketika saya bertanya kenapa tertawa, dia menjawab dengan tertawa. Ketika saya bertanya lagi, dia masih menjawab dengan tertawa juga. 

“Ini, ini lho, Kiai Adlan Aly,” kata pria berambut gondrong bernama Imam Ma’arif itu. 

Jawabannya benar-benar bukan jawaban karena siapa pun tahu bahwa itu Kiai Adlan Aly. Nama itu tertulis di bawah lukisan.  

Karena itulah, saya menegaskan kembali, terkait ulahnya memotret dan berdiri berlama-lama di hadapan Kiai Adlan Aly.  

Kemudian dia menceritakan bahwa dirinya pada tahun 80-an adalah salah seorang satrinya Kiai Adlan Aly di Pondok Pesantren Tebuireng, Jombang. Tak dinyana, pria gondrong itu pernah belajar menghafalkan Al-Qur’an langsung kepada kiai itu. Sayang sekali saya tak menggali soal hafalannya. Apakah waktu itu sampai 30 juz atau tidak. Saya fokus ke Kiai Adlan Aly.

“Dia kan kalau ngajar, ada sembilan atau orang enam orang berada di hadapannya. Kalau ada bacaan yang salah jari tangannya berbunyi, tek..., tek.... Jari tangannya mengetuk ke meja. Berarti salah,” katanya.  

Menurut dia, sampai saat ini masih tak mengerti kenapa ada orang yang mampu membagi konsentrasi secara akurat demikian. Kalaupun tak sebagai murid, ia akan mengakui kehebatan konsentrasi Kiai Adlan yang bisa menyimak beberapa santri yang membaca Al-Qur’an secara bersamaan. Padahal ayat yang dibaca berbeda. 

Menurut dia, waktu itu, tidak banyak yang santri yang diajari langsung Kiai Adlan. Kebanyakan ditangani santri senior murid Kiai Adlan. Sementara dia bersama beberapa temannya langsung ditangani Kiai Adalan, entah kenapa. 

Dia kemudian bercerita lagi. Suatu ketika, selepas maghrib, dirinya bersama sembilan temannya membacakan hafalan masing-masing. Tentu masing-masing dengan ayat berbeda. Tiba-tiba, tangan Kiai Adlan berbunyi. 

Imam tidak merasa bacaannya salah. Ia melanjutkan bacaannya. Tapi tangan Kiai Adlan berbunyi lagi. Ia melanjutkan lagi. Tapi lagi-lagi tangan Kiai Adlan berbunyi.   

“Tangan Kiai Adlan berunyi tiga kali dan saya tidak tahu letak kesalahannya. Saya membacakan surat Al-Baqarah akhir. Saya masih kecil, Tsanawiyah,” jelasnya. “Namanya orang takut, campur keringetan, kan jarang-jarang langsung kiai besar seperti dia,” lanjutnya. 

Lalu, karena dia masih melanjutkan bacaan, tanpa diduga, Kiai Adlan menarik kepalanya. Kemudian meludahi telinga Imam. 

Lalu ia diberi tahu santri lain agar mundur karena bacaannya keliru. 

“Ha…ha..ha..,” dia kembali tertawa mengenang peristiwa itu. 

“Gila lho, kiai bisa membagi konsentrasi sampai enam sembilan bacaan di waktu yang sama,” katanya. 

Penulis: Abdullah Alawi


Tokoh Terbaru