• logo nu online
Home Nasional Warta Sejarah Khutbah Taushiyah Kuluwung Ubudiyah Daerah Keislaman Syariah Obituari Risalah Doa Tokoh Tauhid Profil Hikmah Opini Wawancara PWNU Ngalogat Ekonomi Lainnya
Jumat, 29 Maret 2024

Tokoh

Gus Miek, Kontroversi Sang Mursyid Tunggal

Gus Miek, Kontroversi Sang Mursyid Tunggal
gus miek
gus miek

Oleh M. Sakdillah

Pada Juni 2020, penulis berkesempatan sowan kepada KH Tijani Robert Saifun Nawas (Gus Robet). Dan, pada 2016, penulis juga pernah menemani Agus Thuba Topo Broto Maneges (Gus Tuba) berziarah di Cirebon. Pada perjumpaan dengan Gus Robet, penulis beserta rombongan mendapat tugas mencari makam KH Hamim Djazuli (1940-1993), selanjutnya ditulis Gus Miek, di Sumatera. Sebab, menurut Gus Robet, Gus Miek sudah empat kali wafat. Makam pertama berada di Jambi, makam kedua berada di desa Sariwangi (Sumatera Selatan), ketiga di Kalimantan Selatan, dan keempat berada di desa Tambak (Kediri). Ketika penulis berkesempatan ziarah ke makam KH Muslim Imampuro (Mbah Lim) di Klaten, mendapat cerita: makam Gus Miek terdapat pula di pondok Mbah Lim tersebut. Dan, memang, tampak sebuah papan nama bertuliskan Gus Miek di sisi selatan makam Mbah Lim. 

Ketika menemani Gus Tuba di Cirebon, penulis beserta rombongan mendapat tugas dari Gus Robet untuk mencari “Rijal Al-Ghaib Jaka Sembung” di gunung Cermai dan makam Syekh Ali Akbar. Makam Syekh Ali Akbar akhirnya dijumpai di sisi timur makam Pangeran Kemuning di Kuningan setelah bertanya kesana dan kemari. Sementara tugas untuk “memburu” Rijal Al-Ghaib di gunung Cermai terpaksa ditunda, karena tidak mungkin dilakukan untuk medan yang berat.

Terlepas dari cerita tersebut, untuk mengejar jejak Gus Miek memang seperti mendapati suara knalpot dan hembusan asap mobil yang melaju kencang. Seperti diceritakan oleh Gus Dur (KH Abdurrahman Wahid) dalam artikelnya “Sebuah Wajah Kerinduan". Gus Miek memang diliputi oleh cerita misteri. Jika ingin digali secara serius, cerita tersebut akan sangat banyak. Namun, masih sedikit yang mau menggalinya untuk menjadi cerita yang panjang. Penulis sendiri memang sudah lama mengenal nama Gus Miek sejak di pesantren. Pernah, ayah penulis yang pernah mesantren di Ploso kepada KH Djazuli Usman, pendiri dan ayah Gus Miek, bercerita, “Jika siang, Gus Miek tidur di gothakan-ku (kamar), kalau malam tiba Gus Miek mulai neracak di dedaunan pohon, entah pergi ke mana?”

Sebagai sesama wali Allah, tentu di antara mereka bisa saling tegur dalam tindakan. Cerita didapat di Pesantren Tahfidzul Qur’an Maunah Sari desa Bandar Kidul (Kediri). Gus Miek sering pula tinggal di pesantren itu. Suatu ketika, KH Mubassyir Mundzir (wafat 1989), sang pengasuh, mendapati Gus Miek berada di dalam kamar menjelang waktu sholat tiba. Seketika, KH Mubassyir Mundzir  membangunkan Gus Miek yang masih terlelap tidur, “Miek, kalau mau tidur jam segini jangan di sini! Dilihat para santri!” Sepontan, Gus Miek pun bangun dan menghindar dari penglihatan para santri yang hendak melaksanakan sholat.

Demikian pula, sekira tahun 1991, ketika Gus Miek bersama tim Semaan Al-Quran Jantiko Mantab melaksanakan “haul” Hadratussyekh KHM Hasyim Asy’ari di Pesantren Tebuireng. Prosesi khataman Al-Quran pada awalnya berjalan lancar dari pagi hingga sore. Namun, tiba giliran pembacaan Dzikrul Ghafilin (Pengingat bagi Orang-orang yang Lupa) dan doa penutup, tiba-tiba sound system yang digunakan meledak tersambar petir. Spontan, Gus Miek beristighfar dan bertawasul kepada Hadratussyekh. Sebagaimana diketahui, Hadratussyekh tidak suka kewafatannya dilaksanakan acara haul. Ia tidak suka pengkultusan terhadap dirinya. Dan, memang tidak pernah ada haul untuk Hadratussyekh.

Pro dan kontra bagi pelaku tasawuf (tarekat) memang selalu ada. Dan, hal itu tidak menutup kemungkinan bagi seorang Gus Miek. Hal demikian, karena masing-masing memiliki wilayah, posisi (maqam), dan tugas masing-masing. 

Namun demikian, dalam hal spiritual, Gus Miek memang teladan di bidangnya, terutama dalam menghayati Al-Quran. Orang-orang yang mengikuti Majelis Semaan Al-Quran Jantiko Mantab merupakan orang-orang pilihan. Sebab, tidak mudah bagi setiap orang untuk meninggalkan aktivitas kerja sehari-hari guna mengikuti semaan Al-Quran yang dimulai dari sejak usai sholat Subuh hingga Maghrib. Maka, tidak heran, jika Gus Miek kemudian dawuh (berkata), “Mengikuti semaan Al-Quran sebaiknya diresapi terlebih dahulu, baru berbicara berat ringannya.” 

Ketika berziarah ke makam Sunan Ampel di Surabaya, Gus Miek bisa bertawasul hingga lima ratusan kali membaca surat Al-Fatihah. Dalam hal membaca surat Al-Fatihah ini, Gus Miek memang memiliki kualifikasi dan frekuensi tersendiri. Kapanpun dan dimanapun, orang yang hendak bertemu dengan Gus Miek dianjurkan untuk membaca surat Al-Fatihah sebanyak-banyaknya, meskipun secara jasad Gus Miek sudah wafat. Begitu pula dalam hal adab berziarah, Gus Miek bisa mlaku ndhodhok (duduk berjalan seperti tradisi di keraton) sejak dari pintu gerbang makam. Cerita ini didapat di pemakaman KH Sholeh Darat Semarang. Dan, adab Gus Miek demikian itu di setiap makam yang diziarahi olehnya. Hal yang berbeda dengan peziarah-peziarah milenia seperti zaman sekarang yang menganggap ziarah sebagai wisata religi, bukan sebagai ritus dan laku yang harus dilalui dengan susah payah perjuangan.

Dari Gus Miek dan Gus Dur, ada banyak makam orang-orang sholeh (wali) yang kemudian terbuka dan dikenal oleh masyarakat awam, terutama makam para penghafal Al-Quran. Sejarah pun mulai berubah ketika makam-makam tersebut terbuka. Sebagaimana Gus Dur berpendapat, makam Sunan Kalijaga sesungguhnya berada di Senori Tuban, bukan di Kadilangu sebagaimana asumsi umum. Pun, makam Sultan Hadiwijaya (Jaka Tingkir) terdapat di Pringgoboyo Lamongan, bukan berada di Butuh Sragen. Pendapat demikian merupakan sanepan (simbolik) bagi orang Jawa yang memiliki makna ambigu, bisa benar dan bisa salah. Kecuali, bagi orang yang benar-benar menjalani ritus dan laku tersebut.

Di antara para wali tersebut memiliki pertalian hubungan ruhani. Bahasa yang paling gampang untuk dimengerti adalah pertalian frekuensi. Karena memilki frekuensi yang sama, mereka dapat mengenali antara satu dengan yang lain. Tidak dikenali seorang wali kecuali oleh sesama wali, demikian ungkapan yang sering terdengar. Untuk saling mengenal tersebut, mereka selalu coba meningkatkan frekuensi melalui media-media zikir. Sejak pertama, Gus Miek membuka pengajian yang dikenal dengan sebuatan Jama’ah Anti-KO (Jantiko). Suatu majelis yang dinamakan dengan ritual “moloekatan”. Tidak tidur malam, mengurangi makan, hemat bicara, serta kenikmatan dunia lainnya. Selain kegiatan Jantiko tersebut, Gus Miek membangun komunikasi batin untuk menyamakan frekuensi dengan bersilaturahim kepada kia-kiai sepuh yang sudah dikenal pada zamannya, seperti KH Abdul Hamid bin Abdullah Umar Pasuruan atau dikenal dengan sebutan Mbah Hamid (wafat 1985), KH Nahrowi Dalhar Watucongol (1870-1959), atau KH Mubassyir Mundzir sendiri. Melalui kemunikasi batin dan silaturahim tersebut akhirnya terbentuk persaudaraan dalam frekuensi.

Perkenalan antara Gus Miek dan KH Ahmad Siddiq Jember (1926-1991), Rais Syuriah PBNU Periode 1984-1991, telah menyatukan visi dan frekuensi yang sama dalam kegiatan dan membangun persaudaraan ruhani di antara keduanya. Persaudaraan tersebut melalui media Majelis Semaan Al-Quran Jantiko Mantab yang digabung dengan pembacaan Dzikrul Ghafilin. Kegiatan pengajian yang menyita waktu lama, bahkan dari satu tempat ke tempat yang lain dalam periode masa yang panjang. Persaudaraan antara KH Ahmad Siddiq dan Gus Miek juga diwujudkan ke dalam sebuah pernikahan di antara putera-puteri keduanya yang melahirkan seorang keturunan laki-laki, Gus Robet.

Malam larut menjelang waktu Subuh. Gus Robet tampak tersenyum puas manakala telah menyelesaikan pemberian ijazah Dzikrul Ghafilin. Ia memandang dengan penuh tatapan lembut. Ia bertanya kepada penulis, “Sekarang di mana?”

Penulis menjawab, “Sedang ikut Pak Anu.” (Nama tak bisa disebutkan di sini).

“Kenapa ikut Pak Anu?” tanyanya, memberi isyarat.

Pertemuan yang penuh makna. Mengenal para kekasih Allah Ta’ala, orang yang benar-benar dekat, memberi satu wawasan: frekuensi batin itu memang perlu agar tidak gampang lupa. Satu hal yang dapat pula diambil kesimpulan: wali pun juga manusia, dengan kemanusiaannya dia bisa dicintai dan diteladani. Hari itu, 5 Juni 1993, perhatian masyarakat tertuju ke Tambak Ngadi Kediri. Satu daerah di selatan Pondok Pesantren Al-Falah, tempat KH Ahmad Siddiq bersama para penghafal Al-Quran dimakamkan. Langit kembali menangis, mengiringi kewafatan wali besar yang turut menjaga keselamatan negeri. Sebab, tugas seorang wali tidak hanya di bidang keruhanian, melainkan juga menjaga keselamatan umat dan negeri.
 


Tokoh Terbaru