Tokoh OBITUARI

Mas Imam Aziz, Mentor yang Sabar dan Percaya

Jumat, 18 Juli 2025 | 09:00 WIB

Mas Imam Aziz, Mentor yang Sabar dan Percaya

Almagfurlah K.H. Imam Aziz. Foto: NUO

Sungguh tidak mudah menata ingatan dalam kata-kata, tentang orang yang pernah dekat dan dihormati. Saat mendapat kabar wafatnya Mas Imam Aziz dalam perjalanan pulang ke Bandung, serasa ada yang hilang. Ingatan saya mengelana ke Yogyarkta 2000-2006. Perlu menunggu seminggu untuk bisa memilih pengalaman terbaik bersama almarhum dan mengisahkannya di halaman ini, sekaligus menunggu badan pulih kembali.

 

Sayang nyaris tak ada foto yang berdua Mas Imam. Padahal banyak kegiatan yang kami jalani bersama. Memang, saat orang terdekat mendahului pergi, barulah kita menyadari hal-hal kecil seperti foto ini.

 

Sebulan setelah Muktamar Lampung, di awal 2022, Mas Imam mengajak saya untuk takziyah ke kediaman almarhum Atang Setiawan, Ketua LKHAM, salah satu jejaring Syarikat di Jawa Barat. Saya dijemput di pintu tol Buahbatu. Sepanjang jalan Mas Imam bercerita banyak. 

 

“Nih kaus untuk kamu. Saya baru sempat buat kaus setelah Muktamar selesai,” ujarnya sambil terkekeh, menyerahkan sebuah Kaus Muktamar Lampung.

 

“Sekarang ini mau menjelang Seabad NU, Ip. Ayo kamu nulis. Punya gagasan apa?” ia mulai melempar gagasannya. Saat itu belum terdengar ada rencana peringatan seabad NU sama sekali. Mas Imam memang selalu mendahului dan selalu berkait dengan literasi.

 

Saya melontarkan sejumlah gagasan yang akhirnya disepakati akan dirembuk dengan mengajak berbagai pihak, antara lain Mas Hairus Salim. Sekalipun project ini terhenti begitu saja, dorongan Mas Imam itu telah melentingkan saya jauh, menjadi narasumber program Menjadi Indonesia yang dikelola oleh NU Online TV dengan host Ivan Aulia Ahsan. Wawancara ini tayang pada 16 Februari 2025, dan sampai hari ini sudah dilihat oleh lebih dari 11.000 pemirsa. Jumlah yang tidak memalukan untuk tayangan di NUO. 

 

Awal Perjumpaan

Sekitar 2001, saya mulai bersua dengan Mas Imam selaku Ketua LKPSM NU Yogyakarta. Hanya PWNU Yogyakarta yang waktu itu menolak singkatan Lakpesdam, karena terdengar lebih militeristik. Saya membawa gagasan Pengenalan HAM untuk Anak-anak. Berbilang minggu saya menyempurnakan proposal itu Bersama Mas Taufiq yang menjabat bendahara dan piawai menata rencan anggaran belanja. Saya bolak-balok Bantul-Tompeyan. Saat itu saya tinggal di Melikan, tak jauh dari Masjid Agung Bantul. Sekalipun proposal itu belum jadi direalisasikan, karena intensitas saya ke Tompeyan, akhirnya membuat saya direkrut saat Syarikat mulai terbentuk. Saya kebagian tugas menjadi Redaksi pelaksana Majalah RUAS.

 

Salah satu pengalaman yang tak terlupakan di Tompeyan adalah menjadi Ketua Panitia Syukuran pernikahan Mas Imam dan Mbak Rindang. Kami menggunakan pendopo yang tak jauh dari kantor LKPSM dan mengundang beberapa pedagang angkringan plus pengamen jalanan. Syukuran yang merakyat dan meriah.

 

Pada dasaranya Mas Imam adalah mentor bagi semua anak-muda yang ada di lingkarannya. Saat ia merasa sudah cukup mengarahkan, ia akan melepas anak muda itu sepenuhnya. Bahkan bila perlu, dengan cara tak lagi membuka ‘komunikasi’. Ia percaya kalau kalau anak muda itu memang mampu, ia akan menuntaskan programnya.

 

Lalu kami pun khusyuk mengelola Syarikat dan berpindah kantor ke Sidikan. Saya pun bersama istri yang sedang menyelesaikan S2 di UGM, memilih kost tak jauh dari kantor Syarikat. Saya mengelola kiriman artikel yang masuk dari jejaring Syarikat. Sesekali turun ke lapangan untuk wawancara jika tokoh yang akan ditampilkan ada di Yogyakarta, seperti Buya Syafi'i dan Djoko Pekik. Fotografer kami, Mas Wafa, selalu sigap mengambil moment yang tepat. Jepretannya ciamik. Sayang saya kehilangan foto bertiga bersama Mas Imam dan Ben Anderson di depan Hotel Phoenix.

 

Suatu hari Mas Imam meminta saya untuk menulis bareng untuk majalah BASIS. Judulnya Soekarno-Islam, Pertemuan Marhaen dan Santri, dimuat dalam edisi No. 03-04, Tahun ke-50, 2001. Tak lama kemudian ia diminta harian Kompas untuk menulis tema yang sama.

 

“Yang Kompas aku tulis sendiri, Ip, karena honornya lebih serius,” ujarnya sambil tekekeh. Dan terbitlah tulisannya yang terkenal itu, Soekarno, Ketika Nasionalisme Letih.

 

Di hari lain, Mas Imam meminta saya untuk mengikuti Kursus Menulis Sejarah yang diadakan oleh Lembaga Studi Realino. Kursus inilah yang mengantarkan saya menekuni penulisan sejarah secara lebih mendalam. Saya berjumpa dengan sejumlah sejarawan dan budayawan senior yang menjadi narasumber. Selesai kursus bersama 15 sejarawan muda dari berbagai provinsi, saya berkesempatan menjadi Visiting Scholar di Michigan University (Januari-April 2004). Tulisan saya soal Ngalogat di Pesantren Sunda, ternyata dimintai oleh Henry C. Loir yang sedang menyiapkan buku Sadur, Sejarah terjemahan di Indonesia dan Malaysia. Pada 2009, saat bukunya terbit, tulisan saya ada terselip di antara tulisan puluhan pakar bahasa Indonesia dan Malaysia.

 

Begitulah. Sekalipun seminggu sebelum gempa Jogja 2006, saya dan keluarga pulang ke Bandung, hubungan kami masih tersambung. Saat berkesempatan ke Yogyakarta, saya usahakan sowan ke rumahnya di Turen tak jauh dari Pesantren Pandanaran, atau kami sengaja janjian untuk bersua di Jakarta.

 

Mas Imam wafat pada 12 Juli 2025 dan dimakamkan di komplek Pesantren Bumi Cendekia Yogyakarta. Selamat jalan, Mas Imam. Jasamu abadi.