Taushiyah KOLOM KH ZAKKY MUBARAK

Bekal Menghadapi Hari Kiamat

Selasa, 19 Maret 2024 | 13:35 WIB

Bekal Menghadapi Hari Kiamat

(Ilustrasi: NU Online).

Ketika Rasulullah SAW sedang berada di tengah-tengah sahabatnya, tiba-tiba salah seorang dari mereka menyampaikan pertanyaan yang amat singkat: Wahai Rasulullah, kapankah datangnya hari kiamat? Ini merupakan pertanyaan yang telah banyak disampaikan oleh sahabat-sahabat yang lain. Nabi senantiasa menjawab pertanyaan mereka, bahwa tidak ada seorang pun yang mengetahui kapan datangnya hari kiamat, kecuali Allah SWT. Para malaikat tidak mengetahui hal itu, demikian juga para nabi dan rasul. 


Menghadapi pertanyaan yang satu ini Nabi menjawabnya dengan suatu pertanyaan juga: “Apa yang sudah kamu persiapkan untuk menghadapi hari kiamat itu”? Sahabat itu diam sambil menundukkan kepalanya, kemudian dia menjawab: “Aku tidak menyiapkan diri menghadapi hari kiamat itu dengan melaksanakan shalat, puasa, atau sedekah sebanyak-banyaknya. Shalat, puasa, dan sedekahku biasa saja, seperti sahabatmu yang lain. Akan tetapi aku sangat mencintai Allah dan rasul-Nya”. Mengomentari jawaban sahabat ini, Nabi menyatakan: “Engkau beserta orang-orang yang kamu cintai”. (HR. Bukhari, 5705).


Dari dialog ini dapat diambil kesimpulan bahwa bekal masa depan, termasuk hari kiamat, bisa dilakukan dengan hal yang sangat sederhana, yaitu mencintai Allah dan rasul-Nya. Apabila seseorang telah mencintai Allah dan rasul-Nya dengan cinta yang paling sempurna, maka orang itu akan senantiasa melaksanakan segala perintah Allah, menjauhi segala larangan-Nya, dan meneladani perilaku Rasulullah SAW. Itulah hakikat dari iman, Islam, dan ihsan. 


Term cinta dapat diartikan sebagai suatu gejala emosi yang bergelora dalam hati manusia, yang dibarengi dengan suatu keinginan dan hasrat yang tinggi kepada sesuatu. Berdasarkan tingkatannya, cinta itu memiliki tingkatan yang berbeda-beda, dari tingkatan yang paling rendah, seperti rasa cinta antar pemuda dan pemudi yang didorong oleh nafsu seksual, atau cinta-cinta lain yang berdasarkan keinginan hawa nafsu. 


Cinta tingkatan yang kedua adalah cinta aseksual seperti cinta dan kasih sayang terhadap sesama, mencintai keluarga, teman, dan handai taulan. Sedangkan cinta yang paling tinggi adalah cinta kepada Allah s.w.t. dan terhadap rasul-Nya. Cinta kepada Allah harus diutamakan dari cinta seseorang kepada apapun dan siapapun, termasuk kepada dirinya sendiri. 


قُلۡ إِن كَانَ ءَابَآؤُكُمۡ وَأَبۡنَآؤُكُمۡ وَإِخۡوَٰنُكُمۡ وَأَزۡوَٰجُكُمۡ وَعَشِيرَتُكُمۡ وَأَمۡوَٰلٌ ٱقۡتَرَفۡتُمُوهَا وَتِجَٰرَةٞ تَخۡشَوۡنَ كَسَادَهَا وَمَسَٰكِنُ تَرۡضَوۡنَهَآ أَحَبَّ إِلَيۡكُم مِّنَ ٱللَّهِ وَرَسُولِهِۦ وَجِهَادٖ فِي سَبِيلِهِۦ فَتَرَبَّصُواْ حَتَّىٰ يَأۡتِيَ ٱللَّهُ بِأَمۡرِهِۦۗ وَٱللَّهُ لَا يَهۡدِي ٱلۡقَوۡمَ ٱلۡفَٰسِقِينَ 


Katakanlah: "jika bapa-bapa, anak-anak, saudara-saudara, isteri-isteri, kaum keluargamu, harta kekayaan yang kamu usahakan, perniagaan yang kamu khawatiri kerugiannya, dan tempat tinggal yang kamu sukai, adalah lebih kamu cintai dari Allah dan Rasul-Nya dan dari berjihad di jalan-Nya, maka tunggulah sampai Allah mendatangkan keputusan-Nya". Dan Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang fasik. (QS. A-Taubah, 09:24).


Umar bin Khattab pernah menyatakan kepada Nabi SAW bahwa ia mencintainya melebihi segala sesuatu, kecuali dirinya sendiri. Nabi menjawab: Tidak, wahai Umar, sehingga engkau mencintaiku melebihi dari dirimu sendiri. Kemudian Umar menjawab: Demi Tuhan yang mengutusmu dengan kebenaran, sesungguhnya engkau lebih aku cintai, bahkan dari diriku sendiri. Nabi menyatakan: Sekarang, imanmu baru sempurna. (HR. Bukhari, 6142).


Dr. KH. Zakky Mubarak, MA, salah seorang Mustasyar PBNU